Mendidik Anak Lewat Film

Dalam arus informasi yang demikian derasnya, televisi menjadi buah simalakama bagi dunia pendidikan.Ketika si kecil belajar demokrasi dan kebersamaan lewat film. Menimbang baik-buruk pengaruh televisi terhadap anak-anak memang tidak semudah mematikan tombolnya. Dalam arus informasi yang demikian derasnya, televisi menjadi buah simalakama bagi dunia pendidikan, terutama bagi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).


Begitulah hasil penelitian Zamris Habib dengan makalahnya yang diberi judul Industri Film Anak Indonesia dalam rangkaian acara pekan film anak Indonesia, KidsFfest 2009 di Jakarta akhir Juli lalu. “Film anak-anak yang beredar saat ini sebagian besar tidak cocok untuk konsumsi anak-anak. Keresahan para orang tua biasanya dilandasi penilaian film tersebut dianggap tidak mendidik dan kurang menunjukkan pendidikan moral,” ungkap Zamris.

Zamris juga memaparkan penelitiannya bahwa film yang paling berpengaruh saat ini adalah Doraemon dan Crayon Sinchan. Banyak atau sedikit, kata Zamris, tokoh Doraemon dan Sinchan telah menemani anak selama bertahun-tahun. Menurut Zamris, industri film lokal masih belum banyak memproduksi karya yang cocok untuk pendidikan anak yang berpijak pada kebudayaan lokal. Pakar komunikasi pendidikan ini menambahkan, “Padahal, di zaman informasi seperti sekarang ini, film punya peranan sebagai agen pendidikan yang punya demand besar.”

Untuk menjawab kebutuhan akan film yang cocok untuk anak-anak itulah, Nia Dinata (sutradara dan produser film) bersama teman-temannya menggelar acara KidsFfest 2009 atau dengan nama populernya Festival Film Anak Goelali 2009, yang sekaligus untuk memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli lalu.

Acara Goelali sendiri dihelat pada 17-26 Juli silam, dengan beragam mata acara mulai dari seminar (seperti yang sudah dijelaskan tadi di atas), workshop, story telling, dan juga pemutaran 25 film dari 18 negara. Film yang diputar di antaranya Geng: The Adventure Begins (Malaysia), The Happiness of Kati (Thailand), The Letter for the King (Belanda), Mia & The Migoo (Prancis), Niko & The Way to the Stars (Finlandia), dan Teo’s Voyage (Meksiko).

Barangkali inilah ajang yang pertamakali melibatkan anak-anak sebagai subyek dan obyek sekaligus. Anak tidak hanya hadir sebagai penonton (pasif), yang mendapat “rekomendasi” judul film dari para orang tua dan guru. Selain acara dibuat menghibur, ada pesan edukasi yang ingin disampaikan dari sekadar festival tahunan ini.

Selama festival, anak-anak menjadi juri untuk memilih film mana yang mereka suka. Merekalah yang menentukan film mana yang terpilih jadi yang terbaik.

Anak-anak diajarkan proses membuat film dengan handycam“Saya ingin anak-anak juga terlibat, tidak hanya menonton tapi menilai, mana yang dia suka. Unsur hiburan itu penting, melihat kenyataan minimnya jumlah produksi film anak. Tapi unsur pendidikan seperti ini mewakili pendidikan demokratis. Karena sewajarnya, anak juga mempunyai hak akan hiburan,” tutur Nia Dinata pada Berita Indonesia.

Begitu juga untuk mata acara pemeran (exhibition), anak-anak diberi keleluasaan untuk mengikutsertakan karya gambar mereka dengan tema “Karakter Film Imajinasiku”, dan sekaligus menjadi juri penentu karya favorit mereka lewat voting. Seluruh karya yang masuk (sesuai kriteria) dipamerkan secara bersama di Museum Bank Mandiri, Jakarta, selama festival berlangsung.

Selain itu, masih ada acara yang melibatkan proses edukasi anak secara langsung. Anak-anak diajak melihat langsung proses pembuatan cerita, animasi dan proses pembuatan film secara menyenangkan di sekolah mereka. “Yang sangat diharapkan setelah festival ini, anak akan terangsang pengetahuannya secara teknis dan kepekaan humaniora mereka. Apalagi dengan workshop untuk film animasi, bukankah film jenis itu yang sangat disukai mereka?” tambah Vivian Idris, yang juga menjadi salah satu pencetus Goelali. Salah satu film yang paling menonjol selama putaran pertama Festival Goelali ini adalah film Meraih Mimpi, sebagai karya pertama film animasi 3D di Indonesia. Film berdurasi 80 menit ini digarap (nyaris) 100 persen oleh tangan dan modal sendiri. Film yang diproduksi oleh Infinite Frameworks (IFW), sebuah studio animasi yang berpusat di kota Batam ini mempercayakan Philip Mitchel sebagai sutradara. Film yang diadaptasi dari buku cerita bergambar anak berjudul Sing to the Dawn, karya Minfung Ho rencananya juga akan diputar di sejumlah negara seperti Singapura, Korea, dan Rusia. Untuk di Indonesia sendiri, secara reguler akan bisa ditayangkan mulai awal September mendatang.