Pondok Pesantren: sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Pendahuluan
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

Pengertian Kurkulum

Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. 

PERANAN MUSIK DALAM PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI

Fenomena krisis moral masyarakat di Indonesia, akhir-akhir ini dirasakan semakin menguat dan merambah ke segenap lapisan masyarakat. Menurut analisis perilaku sosial, fenomena tersebut merupakan salah satu bukti yang menunjukkan tidak terbinanya aspek rasa, budi dan ruhani masyarakat tersebut

Pengembangan Model Pembelajaran Bidang Studi Pendidikan Agama Islam untuk Meningkatkan Akhlak Siswa SMU di Tanjab Barat

Penelitian ini berangkat dari pemikiran akan perlunya pembelajaran PAI yang berkualitas dan dapat membentuk siswa yang berakhlak mulia, terutama pada tingkat SMU. Hal tersebut didasarkan atas analisa terhadap pelaksanaan PAI di sekolah yang cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan konatif volutif, yaitu kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama shingga dapat membentuk siswa yang berkhlak mulia.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penerapan Matematika Siswa Sekolah Dasar

Salam,.....Penelitian tentang pendekatan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penerapan matematika siswa SD dilatar belakangi oleh rendahnya kualitas proses dan hasil belajar matematika siswa SD. Rendahnya hasil belajar tersebut kemungkinan diakibatkan karena kurangnya kemampuan penguasaan konsep matematika di Sekolah Dasar. Guru dalam pembelajaran matematika masih terlalu mekanistik dan strukturalistik, serta kurang memberikan keterkaitan antara materi pelajaran matematika dengan lingkungan kehidupan siswa, sehingga siswa kurang mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan matematika yang dimilikinya dengan kehidupan sehari-hari. 

Contoh Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal SD

Peningkatan relevansi pendidikan merupakan salah satu dari empat strategi pokok pengembangunan pendidikan nasional. Pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan relevansi pendidikan, antara lain melalui pengembangan kurikulum muatan lokal, namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum muatan lokal masih perlu ditingkatkan dan disempurnakan. Untuk kepentingan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan menyempurnakan kurikulumnya, menambah fasilitas dan sumber belajar, maupun meningkatkan kemampuan guru.

Kontribusi Faktor-faktor Internal Terhadap Keberhasilan Belajar Pada Mata Kuliah Materi Pendidikan Agama Islam (Studi Deskriptif Analitik pada Mahasiswa STAI An-Nadwah Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat)

PENOMENA: Salah satu mata kuliah yang berfungsi membentuk sikap professional guru Pendidikan Agama Islam adalah mata kuliah Materi Pendidikan Agama Islam. Secara teoretis, keberhasilan mahasiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran mata kuliah ini ikut ditentukan oleh karakteristik mahasiswa itu sendiri, di antaranya berupa gaya belajar, sikap dan kebiasaan belajar serta aktivitas yang mereka lakukan dalam merespon strategi pembelajaran yang digunakan dosen dalam perkuliahan. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menemukan besarnya konstribusi gaya belajar, sikap dan kebiasaan belajar serta kualitas pembelajaran terhadap keberhasilan belajar mahasiswa pada mata kuliah Materi Pendidikan Agama Islam di STAI An-Nadwah Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk membentuk perilaku dan kepribadian individu sesuai dengan prinsip-prinsip dan konsep Islam dalam mewujudkan nilai-nilai moral dan agama sebagai landasan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Akan tetapi, dalam realisasinya di lapangan menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, baik dalam proses maupun hasil pembelajaran siswa.

Khalifah Bani Abas (Masa Kemajuan Islam)

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya.

Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dekonstruksi Arkeologi Konsep Dakwah

Dalil Aqli Menjawab Pergeseran Tatanan Sosioantropologi
A. Pendahuluan
Muhammad ketika dalam usia muda merenungi tentang
masyarakat suku Qurays yang begitu kejam dengan mengubur hiduphidup
bayi perempuan yang baru lahir, dengan pembesar suku Qurays
yang cenderung bersikap eksploitatif terhadap orang-orang yang level
sosialnya jauh dibawahnya atau yang memiliki klan keluarga dari kalangan
menengah kebawah. Disamping itu, Muhammad juga sangat
menyesalkan perilaku masyarakat Qurays yang gemar sekali menghaburhamburkan
harta yang mereka miliki untuk mendapatkan kesenangan
sementara, judi, mabuk, kejahatan seksual dan varian patologi sosial
lainnya. Muhammad mengalami kebimbangan, tentang apa yang harus
dia lakukan, tentang apa yang bisa ia lakukan ketika kejahatan semacam
itu terus menggerogoti masyarakat Qurays tanpa henti. Meskipun dia dari
kalangan klan tertinggi di suku Qurays (Bani Hasyim), namun ia resah
melihat keluarganya yang berlaku kurang santun terhadap sesama.
Setengah abad kemudian, Muhammad telah berhasil melepaskan
belenggu yang membuatnya resah lima puluh tahun sebelumnya,
sebelum Allah mengangkatnya menjadi wakil-Nya di dunia. Dia tidak lagi
meresahkan tentang perilaku saudaranya yang dulu bertindak kurang
santun terhadap sesama.
Lepas dari kehidupan Muhammad dengan kisah eksotiknya itu,
dalam catatan sejarah, penulis China bernama It Sing menyebutkan
bahwa pada abad ke-7, dia melihat di salah satu tempat di nusantara
dengan berpakaian ala orang Timur Tengah melakukan gerakan-gerakan
aneh. Analisis penulis, dia adalah ‘musafir’ yang mencoba menyebarkan
Islam di Nusantara yang datang dari Arab Saudi, entah di zaman khulafaur
rasyidin atau diera Dinasti Ummayyah. Namun karena dalam catatan
sejarah, saat itu, ternyata tidak ada bukti orang lokal beragama Islam,
maka dapat dikatakan misi ‘musafir’ tersebut gagal.
Beberapa abad kemudian, tepatnya saat Islam Global dibawah
kendali Ottoman Empire yang berpusat di Turki, Khalifah dari Ottoman
Dynasti ini mengutus beberapa ulama besar di eranya untuk
menyebarkan Islam diseluruh belahan dunia. Salah satu yang datang ke
Indonesia adalah ulama besar bernama Jalaludin Arraniri, yang kemudian
di kenal dengan nama Ar Raniri. Missionaris ini pertama kali tiba di Aceh
dan melakukan penyebaran agama Islam disana, hasilnya, Ar Raniri
dengan perjuangan panjangnya bahkan mampu mendirikan kerajaan
Islam pertama di nusantara, Samudera Pasai.
Juga ada sedikit cerita yang banyak terjadi di Nusantara jauh
sebelum Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan. Disebutkan konon
pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu kala, terutama kerajaan besar di
era Hindu ataupun Budha, Sriwijaya, Malaka, Majapahit, ataupun
Pajajaran, telah terjadi perdagangan internasional, ekspor dan impor
antara kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain adalah hal yang
biasa terjadi, dan bahkan menjadi penopang ekonomi dalam negeri
kerajaan. Konon kabarnya, tidak hanya dari utara hingga china yang
beradgang di nusantara, tetapi juga para pedagang dari timur tengah ikut
serta berdagang di Nusantara. Baik dari Gujarat, India, Persia dan lainnya.
Para pedagang, khusunya yang beragama Islam, ikut serta
menyebarkan agama dengan relasi bisnis mereka di Nusantara, namun
tidak dapat maksimal. Contoh misalnya, di zaman pasca era runtuhnya
Majapahit, Kadipaten Tuban di bawah Adipati Wilwatikta menjadi
‘kerajaan kecil’ dengan bandar perdagangan internasional yang luas.
Relasinya tidak hanya pedagang Tiongkok yang banyak bertempat di Lao
Sam (Lasem, Pati) dan Sam Poo Toa Lang (Semarang), namun juga
3
pedagang dari Gujarat dan tanah Timur Tengah lainnya. Di zaman
Pemerintahan Adipati Wilwatikta ini, memiliki seorang juru bicara
kerajaan (penerjemah bahasa) dari Benggala, India yang fasih berbahasa
melayu, Arab dan Urdu. Dia bernama Syaikh Habibullah Al masawa,
seorang Islam.
Sebagai seorang salah satu pembesar kerajaan, posisi Syaikh
Habibullah Al Masawa sangat strategis, setara dengan Patih, setingkat
dibawah raja. Namun dengan jabatan yang tingginya itu, ternyata orang
sebesar ini tidak mampu menyebarkan Islam di kerajaan yang
masyarakatnya beragama Hindu, tak satupun pengikut dia dapatkan,
kecuali Harun, seorang pedagang minuman yang datang bersamanya dari
Malaka.
Ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Sunan
Kalijogo, hanya berbekal seperangkat alat wayang, mengarang-ngarang
cerita pewayangan semaunya sendiri, menciptakan pakem baru, dengan
hanya bernyanyi-nyanyi menciptakan lagu-lagu yang tidak begitu
menarik, berpakaian ala orang desa, tidak bergaya ningrat, bahkan tak
sepeserpun dia pernah membawa uang untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya, ternyata dia mampu menyebarkan Islam hingga pelosok
tanah Jawa dengan kebudayaannya yang beragam.
Sengja penulis awali tulisan ini dengan prolog cerita-cerita yang
demikian, yang penulis anggap ini adalah model-model dakwah, dan
untuk kemudian membandingkan satu model dakwah dengan model yang
lainnya. Dan pada prolog ini adalah pijakan dasar sebagai bahan analisis
pada pembahasan selanjutnya agar lebih ‘merakyat’ pembahasannya,
mudah dipahami dan tidak terikat dengan dalil ilmiah yang begitu
membingungkan, namun outputnya adalah itu-itu saja.
Dengan cerita itu pula, meskipun referensi dari buku-buku tidak
disebutkan mengenai ceritanya, karena dalam cerita tersebut didapatkan
dari kisah tutur tinular ketika penulis masih di madrasah diniyah serta
sedikit referensi yang diambil dari Arus Balik-nya pak Pram, penulis tidak
akan menjustifikasi keabsahan satu model untuk kemudian mengkafirkan
model dakwah lainnya yang tidak memiliki sifat adaptif.
Tentang judul makalah ini, sengaja penulis mengambil sedikit
konsepsi pemikiran Michael Foucault, salah satu pengkaji mengenai
postmodernisme. Arkeologi dan geneologi adalah, menurut Foucault, hal
yang digunakan sebagai sebuah alat perkara terhadap berkembangnya
fenomena pengetahuan.
Dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan
mengembangkan diri selama ini Kategori-kategon konseptual macam "kegilaan",
"seksualitas", "manusia", dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu
sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa
mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk
"mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agenagen
kekuasaan1 itu. Dan kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif
melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru),
toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai
pembebasan, melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya
pengawasan (surveillance), lewat "penormalan", regulasi dan disiplin (I, Pierre
Riviere...; Discipline and Punish; Power/ Knowledge).2
Berangkat dari teori menggugat pengetahuan gaya
postmodernisme Foucault ini, penulis menempatkan dakwah sebagai
1 Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan
pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual
kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu
direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi
dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam pengetahuan, tetapi
pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.
2 I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar mata
kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung.
5
salah satu objek pengetahuan yang akan ‘digugat’ melalui berbagai
metodologi pada nantinya. Penggunaan dekonstruksi lebih mengarah
pada konsepsi dakwah konvensional yang hari ini cenderung kurang
begitu efektif. Ada dekonstruksi, kemudian mengalami rekonstruksi untuk
mencapai ketepatan penggunaan dan kecerdasan bersikap. Demikian
dialektika dakwah harus berjalan.
B. Tentang Sosiologi dan Antropologi
Suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah
kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal
ini berarti adanya fungsi yang lebih matang antar bagian-bagiannya. Hal
ini berarti adanya organisasi fungsi yang lebih matang antara bagianbagian
organisme tersebut, dan integrasi yang lebih sempurna pula.
Secara Evolusioner, maka tahap organisme tersebut akan semakin
sempurna sifatnya. Dengan demikian maka organisme tersebut ada
kriterianya yakni kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Kriteria mana
akan dapat diterapkan dalam masyarakat. Evaluasi sosial dan
perkembangan sosial pada dasarnya berarti bertambahnya diferensiasi
dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari
keadaan homogen ke keadaan yang heterogen. Demikian kurang lebih
Herbert Spencer (1820-1903) memberikan ulasan mengenai sosiologi.
Sedikit memberikan gambaran mengenai sosiologi, sedikit pula
mengutip apa yang pernah penulis baca di salah satu karya terbaiknya
bapak sosiologi, Auguste Comte (1798-1857), bahwa menurutnya
setidaknya ada dua hal mendasar ketika mendefinisikan mengenai
sosiologi, yakni sosiologi sebagai social statistics sosiologi merupakan
sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara lembagalembaga
kemasyarakatan dan sosiologi sebagai Social dynamics
meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan
mengalami perkembangan sepanjang masa.
Pertama, sosiologi sebagai social statistic memberikan gambaran
jelas bahwa sosiologi merupakan satu pisau analisis untuk mengetahui
pola relasi serta efek relasi antar lembaga-lembaga sosial. Ada beberapa
catatan penting dalam hal ini, bahwa relasi antar lembaga sosial
merupakan titik tekan utama dalam upaya membedah mengenai
sosiologi. Tentang bagaimana masing-masing lembaga sosial ini
berkomunikasi hingga membangun pola sosial tertentu. Koneksi lembaga
sosial akan menjadi penting mengingat melalui koneksi, dengan model
apapun, dapat diketahui tentang fungsi kedua sosiologi, sebagai social
dynamics untuk membedah perjalanan lembaga sosial dalam pasang
surutnya menghadapi pola sosial yang terbangun.
Inti dasarnya demikian mengenai sosiologi, dalam hal ini, penulis
tidak ingin membedah secara lebih alam mengenai sosiologi, karena
penulis yakin, membedah secara panjang tentang sosiologi berarti akan
pula terlibat dalam konflik teori sosiologi yang terkadang berbenturan.
Penulis hanya mengambil sedikit teori sebagai pisau analisis untuk
membedah grand theme yang akan dibedah nantinya.
Kemudian, ada sedikit tambahan mengenai sosiologi, tentang
bidang apa saja yang menjadi lahan dalam kajian sosiologi, pada wilayah
mana sosiologi menancapkan taringnya untuk ambisinya membedah
koneksi lembaga sosial dan analisis perkembangan lembaga sosial.
Catatan Emile Durkheim (penulis The Elementary Form of Religion Life
dari Prancis), yang juga diklaim sebagai bapak sosiologi, membagi wilayah
garap sosiologi dalam tujuh kategori, yakni sosiologi umum yang
mencakup kepribadian individu dan kelompok manusia, sosiologi agama,
sosiologi hukum dan moral yang mencakup organisasi politik, organisasi
sosial, perkawinan dan keluarga, Sosiologi tentang kejahatan, Sosiologi
ekonomi, demografi yang mencakup masyarakat perkotaan dan
pedesaan, dan sosiologi estetika.
7
Kemudian, dalam hal ini, dari sekian banyak para sosiolog, penulis
akan mengambil teori Auguste Comte tentang tiga tahapan
perkembangan pemikiran manusia sebagai pisau analisis sosial yang akan
digunakan sebagai alat bedah grand theme makalah ini, sedikit
penjelasan mengenai tahapan perkembangan pemikiran manusia, bahwa
Comtee memandang pikiran manusia sebagai titik tolak awal pergeseran
tatanan sosial, berangkat dari pemikiran manusia, perkembangan sosial
dan budaya masyarakat terbentuk.
Dari kerangka dasar ini, kemudian ia membagi pemikiran manusia
kedalam tiga tahapan pemikiran. Yang pertama adalah tahapan pemikiran
teologis, pada tahapan ini, masyarakat (atau individu dalam masyarakat)
beranggapan meletakan setiap benda yang ada bersifat sama dengan
manusia, memiliki esensi, eksistensi jiwa dan kekuatan. Manusia
beranggapan benda-benda tersebut, dengan masing-masing eksistensi
serta unsur yang berbeda, digerakan oleh kekuatan besar yang posisinya
berada beberapa tingkat diatas kemampuan kekuatan manusia, kekuatan
ini bergerak sebagai unsur penyebab tergeraknya alam semesta.
Kedua, Comte memberikan penjelasan mengenai tahapan
pemikiran yang ia sebut sebagai tahapan metafisis, pada tahapan ini
manusia masih percaya adanya gejala-gejala alam yang disetting oleh
kekuatan besar yang berada diatas manusia, meskipun pada beberapa sisi
sosial, tahapan pemikiran genre kedua ini telah terjadi pergeseran kearah
lebih maju.
Ketiga, adalah tahapan sosial yang membawa manusia menuju
zaman pencerahan, yakni tahapan rasional/positif, dimana disini,
menurut Comtee, merupakan awal mula terbentuk dan berkembanganya
ilmu pengetahuan sebagai awal pencerahan menuju kemerdekaan
berfikir.
Setelah tercipta tatanan sosial di masyarakat, sebagai tolak ukur
dari maju mundurnya tatanan tersebut dapat dilihat dari peradabannya,
lebih spesifiknya lagi, budayanya. Sehingga dalam hal ini, akan menjadi
hal yang tidak terpisahkan ketika berbicara mengenai sosiologi akan
berkaitan erat dengan antropologi, sebagai representasi ilmu budaya,
yang sederhananya dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis atas relasi
lembaga-lembaga sosial. Antropologi, meskipun didalamnya juga
mengkaji tentang unsur lain, menempatkan budaya pada bahasan utama
yang paling strategis untuk diperbincangkan.
Tentang kajian lainnya secara luas, baik sosiologi ataupun
antropologi, dalam makalah ini tidak akan dijelaskan luas mengenai hal
ini, karena kedua konsentrasi pengetahuan ini hanya akan digunakan
sebagai pisau analisis yang akan digunakan sebagai media mengupas
persoalan dakwah ditengah pergeseran tatanan masyarakat dari berbagai
sisi. Pembatasan dalam makalah ini, pergeseran lebih ditekankan dalam
wilayah sosial dan antropologis, khususnya budaya dan agama.
C. Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia consisted of many islands, tribes, customs and
traditions, cultures, and several kinds of religion. Their diversity, like
“zamrud of khatulistiwa” and “mutu manikam” decorated Indonesian
Archipelago, and God has granted to be given to Indonesian people.
Indonesia as a nation which is daily life relied on divinity and humanity
always strove for the attainment of implementing and understanding of
religion tenet according to their belief and faith without any threat and
compulsion from others. Since Indonesia has existed and liberated,
Bhinneka Tunggal Ika is a symbolization of Indonesian’s integrity and it is
brought on unity to them. Most of Indonesians are moslems, then it is
natural if their life can not be separated from Islamic values which
pervaded and covered every part of life. This is kind of materialization
9
that should be perpetuated. (Picktchall, 1993: 26-29).
Di negara-negara dengan penduduk yang besar dan kompleks,
seperti Indonesia dan Amerika Serikat, kenyataan multikultural adalah
suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak keberadaannya, perbedaan
dalam tatanan sosial adalah keniscayaan. Perbedaan dalam keyakinan,
adat-istiadat, ras hingga perbedaan pada hal yang sifatnya prinsipil
mengarahkan tatanan sosial pada kenyataan multikulturalisme. Sehingga
ada sedikit problem apabila ada analisis yang mendalam mengenai
berbagai hal, yakni tidak berlakunya konsep universalitas atau genarilisir
persoalan sebagai pengejawantahan kebersamaan dalam perbedaan.
Terlepas dari itu, bahwa dengan anugerah multikuturalisme di
Indonesia khususnya, penyikapan sosial terhadap ini memerlukan
rumusan baru yang berdasarkan atas kenyataan seperti ini, dimana
rumusan ini harus dapat mewakili kepentingan berbagai lembaga sosial
yang ada di masyarakat tanpa mengalienasi satu dan mendominasikan
yang lain. Teori tirani minoritas dan dominasi mayor akan lebih bijak
apabila tidak diterapkan.
Kenyataan munculnya perbedaan didalam sistem sosial, membuat
komunikasi lembaga-lembaga sosial yang ada harus menemukan bentuk
koneksi yang tepat, karena biasanya perbedaan yang ada adalah hal yang
prinsipil dalam lembaga sosial tersebut. Misalnya perbedaan dalam
beragama dan berkeyakinan, perbedaan adat istiadat atau bahkan
perbedaan warna kulit (rasdikriminasi/apartheid). Hal-hal yang prinsipil
semacam ini, adalah sangat rawan konflik, apalagi biasanya, perbedaan
pandangan dalam hal prinsip, individu dalam komunitas akan lebih
militan dalam mempertahankan keyakinannya serta menyatakan vonis
salah terhadap keyakinan yang lain. Kondisi ini apabila disulut, akan
membuat konflik besar, dan unintendid consequence yang muncul
selanjutnya adalah perpecahan.
Untuk menjaga perpecahan, solusi atas setiap problem sosial yang
muncul harus mendapatkan perhatian khusus yang ditimbang dari
kepentingan umum yang mewakili semua lembaga sosial yang ada tanpa
memberatkan yang satu dan mempermudah yang lain. Semua golongan
harus terayomi secara penuh.
Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan.3 Secara
etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), isme (lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu
terkandung penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus
merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.
Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui
(Politics of Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di
persamamakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu
konsep yang dipunyai oleh oleh lainnya. Karena multikulturalisme itu
adalah sebuah idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan
derajat manusia dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat
dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Kenyataan multikulturalisme di Indonesia memang sangat rawan
konflik, dapat disaksikan mengenai persetruan panjang antara Suku
Madura dengan Suku Dayak di Sampit, Kalimantan, perang antar agama
di Ploso, Perang desintegrasi di Maluku, Aceh dan Papua serta sederet
konflik lainnya atas nama multikulturalisme.
Dampak nyatanya, sebagaimana pernah terjadi di tahun 1999,
desintegrasi bangsa menjadi jawaban yang paling tepat dalam hal ini.
3Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, dalam
symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002
11
Timor Timur (ketika masih bergabung dengan Indonesia) memisahkan diri
dan membentuk sistem pemerintahan sendiri. Demikian pula yang
sedang menyerukan kemerekaan atas diri mereka di Papua ataupun
Maluku.
Perbedaan lain, di negara bangsa Indonesia terkait dengan tema
ini, adalah ketika memperbincangkan mengenai agama dan kepercayaan
yang sangat berragam. Kenyataan banyaknya agama memungkinkan
runcingnya hubungan antar beragama. Sehingga dalam jauh waktu
kedepan, agresi antar agama kemungkinan menjadi kenyataan yang tidak
dapat dielakkan karena pada dasarnya, apabila melihat sejarah
antropologis, peran agama menjadi hal yang paling prinsipil dan paling
sensitif untuk disentuh.
D. Kritik Atas Konsep Dakwah Konvensional
Setidaknya ada beberapa konsep dakwah konvensional yang
sering kali dapat disaksikan dalam kenyataan riil dilingkungan masyarakat
Indonesia, misalnya dialogis, pengajian, pendidikan dan dakwah dengan
tinakan. Namun, sebagaimana digambarkan pada pendahuluan diatas,
berbagai cara dapat dilakukan dalam upaya dakwah di masyarakat,
namun ketidakberhasilan terkadang menjadi hal yang biasa terjadi,
kekuarangefektifan model dakwah, berpengaruh kuat terhadap sistem
sosial yang terjadi, sehingga seiring dengan pergeseran tatanan sosial,
maka seharusnya bergeser pula model dakwah sesuai dengan konteks
zaman yang sedang berjalan.
Karena, lagi-lagi jabatan tinggi dalam sistem sosial bukan
merupakan jaminan, kecerasan tinggipun bukan berarti berbanding lurus
dengan keberhasilan dakwah, kealiman yang khusu’ juga bukan berarti
menjadi penyokong utama keberhasilan upaya penyebaran agama serta
mungkin kekayaan yang banyak tidak dapat diartikan menjadi hal yang
paling mungkin masyarakat dapat dicerdaskan.
Oleh sebab itulah, perlu ada semacam internal correct dari dalam
diri masing-masing pihak yang terkait dengan aktivitas dakwah, tidak
semua yang dilakukan atau yang dimiliki menjai jawaban riil atas
kebutuhan spiritual publik. Apa yang sekiranya masih kurang, apa yang
masih dapat disempurnakan, pada sisi mana yang kurang dan pada
ruangan mana suatu konsep ditempatkan. Pada wilayah eksternal,
kekejaman antar dai juga sering kali muncul, misalnya telah tersebar
berita akhir-akhir ini, bahwa banyak di antara para ahli ilmu dan para
praktisi dakwah yang melakukan cercaan terhadap saudara-saudara
mereka sendiri, para dai terkemuka, mereka berbicara tentang
kepribadian para ahli ilmu, para dai dan para guru besar. Mereka lakukan
itu dengan sembunyi-sembunyi di majlis-majlis mereka. Adakalanya itu
direkam lalu disebarkan ke masyarakat. Ada juga yang melakukan dengan
terang-terangan pada saat kajian-kajian umum di masjid. Cara ini bertolak
belakang dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.
Ini merupakan pelanggaran terhadap hak privasi sesama muslim,
bahkan ini terhadap golongan khusus, yaitu para penuntut ilmu dan para
dai yang telah mengerahkan daya upaya mereka membimbing dan
membina masyarakat, meluruskan aqidah dan manhaj mereka,
bersungguh-sungguh dalam mengisi sebagian kajian dan ceramah, serta
menulis buku-buku yang bermanfaat.
Bahwa perbuatan ini bisa merusak hati masyarakat awam dan
golongan khusus, bisa menyebarkan dan menyuburkan kebohongan dan
isu-isu sesat, bisa menjadi penyebab banyaknya menggunjing dan
menghasud serta membukakan pintu-pintu keburukan bagi jiwa-jiwa
yang cenderung menebar keraguan dan bencana serta berambisi
mencelakakan kaum mukminin secara tidak langsung.
Bahwa banyak pernyataan dalam hal ini yang ternyata tidak ada
13
hakikatnya, tapi hanya merupakan asumsi-asumsi yang dibisikkan setan
kepada para pengungkapnya.
Hasil ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkaraperkara
yang menuntut ijitihad, maka pencetusnya tidak dihukum dengan
pendapatnya jika ia memang berkompeten untuk berijtihad. Jika ternyata
itu bertentangan dengan yang lainnya, maka seharusnya dibantah dengan
cara yang lebih baik, demi mencapai kebenaran dengan cara yang paling
cepat dan demi mejaga diri dari godaan setan dan reka perdayanya yang
dihembuskan di antara sesama mukmin. Jika itu tidak bisa dilakukan, lalu
seseorang merasa perlu untuk menjelaskan perbedaan tersebut, maka
hendaknya disampaikan dengan ungkapan yang paling baik dan isyarat
yang sangat halus. Tidak perlu menghujat atau menjelek-jelekkan, karena
hal ini bisa menyebabkan ditolak atau dihindarinya kebenaran. Disamping
itu, tidak perlu menghujat pribadi-pribadi tertentu atau melontarkan
tuduhan-tuduhan dengan maksud tertentu, atau dengan menambahnambah
perkataan yang tidak terkait.4
Kutipan diatas, menurut referensi itu tidak akan gunakan sebagai
kritik, namun penulis menggunakan kritik yang dilontarkan oleh Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai alat kritik, atau meminjam
istilahnya Ibn Rusyd (Avverous) sebagai Kritik atas Kritik.
Adalah kurang begitu efektif hari ini apabila model dakwah yang
digunakan hari ini masih sama seperti apa yang dilakukan Nabi, Sahabat,
thabi’in, tabi’in tabi’in atau dizaman pasca itu. Tatanan masyarakat hari
ini telah bergeser, dari yang pada awalnya masih primitif hingga sekarang
yang masyarakat telah tidak hanya mengenal peradaban, tetapi bahkan
menciptakan peradaban baru, sehingga akan lebih tepat dan efektif
apabila model yang selama ini digunakan sebagai media dakwah akan
lebih baik ketika diadakan penelitian ulang (evaluation) agar benar-benar
4 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode Koreksi Antar Dai,
http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB
efektif dalam penerapannya.
E. Dalil Aqli dan Point of View
Auguste Comtee, pada keterangan diatas memberikan penjelasan
ringkas mengenai perkembangan pemikiran manusia, yakni teologis,
mistisism dan positivism. Ini mungkin akan tepat apabila digunakan
sebagai pisau analisis penjelasan dalam catatan ini.
Pertama masyarakat teologis, zaman ini dalam asumsi penulis
berada pada kurun waktu jauh sebelum peradaban manusia menyentuh
sebagai kekuatan pergeseran sosial. Masa ini, pendeknya, dapat
dikatakan masa prehistory dimana masyarakat pada saat itu meletakan
alam memiliki kekuatan yang tersembunyi dan digerakan oleh satu
kekuatan yang lebih besar.
Dalam catatan sejarah, animisme dan dinamisme pernah menjadi
ajaran kepercayaan dan agama resmi yang menguasai belahan dunia,
aliran kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda alam yang dinilai
sakral dan ajaran kepercayaan kelanggengan hidup dan penghormatan
terhadap arwah leluhur menjadi agama yang berlaku dimana-mana,
meskipun ketika berbicara mengenai ritus, masing-masing komunitas
akan berbeda satu dengan yang lainnya, namun pada dasarnya tetap
sama, yakni animisme dan dinamisme.
Animisme dan dinamisme menjadi contoh terpenting gaya
masyarakat teologis. Hal yang membuatnya adalah bahwa dinamisme
cenderung menempatkan benda-benda sakral memiliki kekuatan yang
tinggi yang mampu memberikan kekuatan tertentu kepada manusia,
apabila tidak mendapatkan penghormatan, maka akan berbalik
mencelakakan manusia.
Pada era ini, apabila diterapkan di Indonesia, adalah zaman ketika
agama Kapitayan menguasai nusantara di zaman suku Negrito menjadi
15
penduduk pertama nusantara jauh sebelum kedatangan imigran dari
provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Logikanya, menghadapi masyarakat
semacam ini, maka perlu trik khusus untuk memberikan masukan
(dakwah) kepada mereka.
Strateginya adalah, karena Islam adalah agama yang kompleks,
maka tinggal bagaimana mengemas, sisi ritus Islam yang cenderung
teologis mistis digunakan sebagai media agar mereka dapat masuk dalam
ruangan Islam. Misalnya, disini konsep ijtihad tidak masuk, tetapi yang
‘laku’ di mereka adalah cerita-cerita tentang malaikat, jin dan syaitan,
kisah Iblis dan berbagai perangkat gaib yang lain.
Pada tingkatan pemikiran manusia yang kedua, yakni di zaman
manusia mencapai tahapan pemikiran mistisisme, maka penerapan
dakwahnya juga harus dikemas sedemikian rupa hingga dapat diterapkan
di tengah-tengah komunitas yang dituju dengan mudah.
Penulis, lagi-lagi akan mengasumsikan periode ini seperti zaman
permulaan sejarah, dimana manusia telah mulai mengenal tulisan,
mengenal peradaban, mengenal sistem sosial, menetap dan berhubungan
satu dengan yang lain, namun mistisisme dan magician tetap masih ada
dalam pemikiran alam sadar dan alam bawah sadar mereka.
Contoh misalnya, mereka hampir sama dengan peradaban di
zaman kerajaan-kerajaan kuno di nusantara, yang mereka telah
beragama, namun ekspresi ritus keagamaan masih kental dengan suasana
gaib. Kasusnya, seperti yang dapat disaksikan hari ini adalah Kristen Jawa
dan Islam Jawa. Mereka telah memiliki agama, keyakinan kebenaran
spiritual atas pencarian mereka, namun tradisi gaib masih mengikat
mereka dalam tatanan sosialnya. Kepercayaan terhadap benda-benda
bertuah, kepercayaan terhadap kekuatan gunung, kekuatan laut, batu
besar dan pohon tua masih ada.
Sedekah laut, dalam tradisi masyarakat Jogja di bulan Sya’ban
dapat dijadikan contoh. Nyadran yang kental dengan suasana mistis
menjadi bagian yang tidak terelakan dari fenomena beragama. Satu sisi
mereka telah beragama, namun pada sisi yang lain, kepercayaan
terhadap jimat, keris, batu bertuah, tombak, batu besar, laut, gunung dan
pohon besar masih diekspresikan melalui Sedekah Laut, Sedekah Gunung,
Nyepuh dan lainnya masih menjai ritus yang sakral untuk mereka.
Strategi dakwah yang digunakan kepada mereka adalah melalui
pengenalan adanya kekuatan makhluk gaib yang berada di dunia, tentang
kehidupan Jin, Iblis dan Malaikat, tentang masing-masing tugas mereka
dan tentang bagaimana memberikan pernyataan sikap kepada makhluk
halus. Ini jauh akan lebih bisa mereka terima dibandingkan apabila
memperbincangkan mengenai kajian tafsir kitab suci.
Terakhir, dalam pandangan Comtee, adalah Positivisme, dimana
inilah tatanan pemikiran masyarakat yang paling dia idealkan. Disini
perkembangan pengetahuan adalah waktu yang paling tepat.
Penggunaan logika sadar atas alam bawah sadar merupakan poin
penting.
Apabila dikaitkan dengan Indonesia, maka posisi ini adalah posisi
para pengkaji, mahasiswa ataupun kaum cendekiawan. Dimana mereka
akan lebih tertarik untuk memperdebatkan wacana keislaman
dibaningkan harus bercerita mengenai makhluk halus dan temantemannya.
Strategi dakwahnya adalah dengan menggulirkan wacana
ijtihad, pemikiran keagamaan dan pengembangan fiqh sosial.
Itu sedikit penjelasan apabila menggunakan pisau analisis seperti
yang dikenalkan oleh Comtee. Inti dari semua itu adalah, berdakwah
harus melihat konteks masyarakat, siapa masyarakatnya, apa habitual
action-nya, dari golongan mana, arah minatnya kemana hingga pada latar
belakang keluarganya.
Disamping hal itu, dalam teknisnya, penulis lebih menawarkan
17
model dakwah yang esensial (substansial) dibanding dengan konseptual
formalis. Artinya, lebih dapat bermanfaat menggunakan media yang
sedang up to date untuk berdakwah dengan konsep dakwah yang
substansi dakwahnya terkemas dalam bingkai lain (implisit) dibanding
secara terbuka.
Sederhananya, dalam study kasus di masyarakat, apabila dakwah
menggunakan media televisi, maka dakwah akan lebih mengena melalui
cerita film yang dikemas dengan sarat pengetahuan keagamaan dan laku
religius dibandingkan dengan hanya menonton tayangan ceramah live di
televisi.
F. Penutup
Penulis harap ini mampu menjadi referensi, penulis sangat yakin
bahwa ketidaksempuranan pada sisi penulisan ataupun konsep pemikiran
menjadi bagian panjang makalah ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan,
semoga bermanfaat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam study ini.
Referensi
19
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Metode Koreksi Antar Dai,
http://www.almanhaj.co.id, Senin, 12 April 2004 10:36:29 WIB
Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, makalah dalam
symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali,
16-21 Juli 2002
I. Bambang Sugiharto, Foucault dan Postmodernisme, Makalah mengajar
mata kuliah Filsafat di Universitas Parahyangan, Bandung.

PERKEMBANGAN SEJARAH KEILMUAN ISLAM KLASIK DAN PENGARUHNYA

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Ibnu Khaldun , Sejarah adalah salah satu disiplin ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi. Dalam hakikat sejarah, terkandung pengertian observasi dan mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujud serta pengertian dan pemgetahuan tentang substansi, essensi dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.Sejarah membuat kita paham akan hal-ikwal bangsa-bangsa terdahulu, yang merefleksikan diri dalam perilaku kebangsaan mereka, sejarah membuat kita mengetahui biografi, jejak historis, kebijaksanaan para pemimpin jaman dulu . Sehingga menjadi sempurnalah faedah dalam memcari solusi masalah agama dan dunia .

Sejarah Khilafah Bani Umayyah

Sejarah Khilafah Bani Umayyah: Konstruksi Kekuasaan, Oposisi, dan Politik Luar Negeri
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Angkatan 2008.


A.Sejarah Politik dalam Perkembangan Bani Umayyah: Sebuah Pengantar
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.
Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior (Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis, sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang melatarbelakanginya.
Dalam diskursus politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan sosial-politik pada era tersebut (Ralliby, 1960)2.
Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi kesinambungan antara sejarah dan masa depan.
Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak dalam peristiwa tersebut. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa tersebut, yaitu peristiwa tahkim3
Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah. Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa “history is story of great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang besar)4.
Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu sentralistik serta istana-sentris.
Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.
Dalam hal ini, kami akan memfokuskan diri untuk membahas kontruksi sosial-politik pada era Umayyah yang berlangsung dari tahun 661 M – 750 M.
B.Garis Besar Sejarah Bani Umayyah
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik internal antara beberapa faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi ummum mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a., kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat krisis kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan golongan Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik dari Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang menjadi gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons gerakan yang dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force di Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan gagasan untuk bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari kekuasaan dan akan menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan khalifah Ali radhiyallahu ‘anhu menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdusshams dan muhajirin yang termasuk golongan awal masuk Islam serta terlibat dalam hijrah ke Abissinia (Sirah Ibnu Ishaq: 219)5. Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan merupakan panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era Khalifah Umar bin Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat karena mengubah sejarah pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera melepaskan kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan melepaskan kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan, menyatakan bahwa Khalifah yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah6, maka sebagai konsesi Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman, dan Nejd (Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir di bawah Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut menimbulkan implikasi lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi tiga: Syiah, Khawarij, dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok pertama kemudian bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi berafiliasi kepada kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada perkembangannya, kelompok Khawarij melakukan tindakan takfir kepada tiga tokoh umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin Al-Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh ketiga orang tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di Kufah, selepas Shalat Subuh.
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacuum of power di tubuh umat Islam. Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali, tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat perjanjian dengan Muawiyah. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan Muawiyah untuk menjadi khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at (Manshur, 2003)7.
Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga akhirnya ia berhasil mengonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi era baru bagi pergantian kepemimpinan di tubuh umat Islam ada waktu itu. Berikut deskripsi kepemimpinan khalifah di era Bani Umayyah.
a.Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Beliau adalah putera dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang masuk Islam pasca-fathul makkah. Muawiyah sebagai putera Abu Sufyan kemudian terlibat dalam serangkaian aktivitas penaklukkan di era Khalifah Abu Bakar dan Umar, serta menjadi gubernur di Syam pada era Khalifah Utsman. Pada era tersebut, beliau berkedudukan tetap di Damaskus (sekarang ibukota Suriah).
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu., kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri-khas Syam, dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya, seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
Namun, dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia (Manshur, 2003)8.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan menunjuk Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota.
b.Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Khalifah Yazid merupakan putera dari Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahunpada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat bai’at kepada Yazid beserta warga hijaz secara keseluruhan. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, pengikut Ali melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai Khalifah. Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau tentara kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial. Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.
Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Abdullah bin Zubair adalah putera dari Zubeir bin Awwam, seorang sahabat nabi yang juga adalah golongan awal masuk Islam (Sirah Ibnu Ishaq: 171)9. Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar, puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berkontribusi penuh sebagai penjamin rahasia dan pemberi bekal kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam ketika berhijrah. Posisi ayahnya sangat dihormati di kalangan muhajirin, dan ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada perang Jamal. Posisi Abdullah bin Zubair menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid sebelum kematiannya.
Khalifah Yazid meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
c.Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Berbeda dengan ayahnya, ia bukan seseorang yang berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak banyak literatur yang membahas tentang Khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah hanya selama enam bulan, karena kelemahan posisinya secara politis, dan menyerahkan tampuk kepemimpinan pada Marwan bin Hakam.
d.Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah penasehat Khalifah Utsman dan turut berada di barisan Muawiyah ketika awal-awal dinasti Umayyah dan konflik dengaan Ali. Masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik yang patut dicatat adalah menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di daerah Hijaz, Nejd, dan Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut. Abdullah bin Zubeir telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah serta menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz.
Khalifah Marwan bin Hakam masih belum dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubeir secara penuh. Khalifah Marwan wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
e.Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan oleh Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani Umayyah yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair yang menguasai Hijaz.
Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat menguasai kota Mekkah, benteng pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah bin Zubair. Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan secara otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyah pada satu kepemimpinan.
Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang tegas, perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata moneter dunia Islam, antara lain diperkenalkannya Dinar dan Dirham yang dicetak oleh pemerintah pada waktu itu. Tata administrasi dan birokrasi pemerintahan juga dipertegas, antara lain dengan dibentuknya berbagai lembaga pemerintahan yang kemudian mengatur urusan-urusan umat Islam.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga memiliki kontribus dalam penyebaran Islam. Politik Luar Negeri yang berbasis pada penyebaran Agama Islam ke luar daerah juga menuai hasil yang cukup signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori negara Uzbekistan serta Kazakhstan.
Pasukannya juga meneruskan penyebaran Islam ke TImur, antara lain ke Balokhistan (Khurasan sebelah Timur), Sind, dan Punjab (sekarang Pakistan). Prestasi lain, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga merencanakan penyebaran ke Eropa dengan penunjukan Musa bin Nushair sebagai gubernur Afrika Utara dan menyiapkan armada untuk menyeberang ke Andalusia, menghadapi kekaisaran Gothik yang berada di daerah tersebut. Namun, rencananya belum berhasil direalisasikan.
Beliau wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun.
f.Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, telah terjadi kemapanan politik yang mengakhiri periode transisi. Gerakan-gerakan oposisi dan kelompok penekan telah dipadamkan sehingga kekuatan Khalifah Walid cukup kuat. Dengan adanya kemapanan ini, kebijakan Khalifah Walid lebih berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan pelaksanaan politik luar negeri dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki.
Pada era ini, tekanan dari penduduk Hijaz telah mereda dan tidak lagi mengancam eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi diberi kebebasan untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan khalifah Walid lebih berorientasi pada ekspansi dan pengembangan sayap dakwah Islam ke wilayah-wilayah lain. Khalifah Al-Walid memiliki bangunan sumber daya yang cukup kuat untuk melaksanakan politik luar negerinya tersebut.
Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami momentumnya tersendiri/ tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba, Granada dan Toledo yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa Gothik yang memerintah wilayah Spanyol dan Portugal.
Khalifah Walid bin Abdul Malik juga berhasil menyebarkan Islam sampai ke India di bawah kepemimpinan Muhammad bin Qasim. Kemenangan pasukan Islam di Punjab kemudian memberi peluang untuk masuk ke India yang sangat kental kekuatan Hindunya. Muhammad bin Qasim kemudian berhasil memasuki India hingga menguasai Delhi yang kelak menjadi raison d’etre kekuatan Islam di India.
Walid bin Abdul Malik menjadi seorang Khalifah yang dikenal luas oleh publik internasional sebagai pemimpin yang disegani. Khalifah Walid berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol serta mulai menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari struktur militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah pada waktu itu. Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari berhasilnya pasukan Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal kekuatan Gothik masih begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu besar kuantitasnya.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan internal selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyat. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah.
g.Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Menjelang saat terakhir pemerintahannya beliau memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya. Umar bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya adalah seorang ulama. Hal inilah yang menyebabkan posisinya cukup kuat di kalangan ulama Mekkah dan Madinah, di samping faktor nasab beliau yang juga merupakan cucu dari Khalifah Umar bin Khattab.
Pada era pemerintahannya, penaklukan Romawi menemui kendala. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
h.Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Hepi Andi Basthoni dalam sebuah bukunya bahkan membandingkan figur keulamaannya dengan kepemimpinan yang merupakan warisan dari kakek beliau, Umar bin Khattab10.
Beliau adalah cucu dari Khalifah Marwan bin Hakam (dari Bapak beliau, Abdul Aziz bin Marwan) dan sepupu dari Sulaiman bin Abdul Malik. Berbeda dari khalifah sebelumnya yang memiliki karakter politisi, karakter yang melekat pada diri beliau adalah karakter keulamaan. Hal ini yang menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah dengan kesederhanaan yang melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan beliau sangat singkat, hanya dalam dua tahun.
Akan tetapi, prestasi beliau dalam dua tahun pemerintahan tersebut sangat berarti dalam kepemimpinan Bani Umayyah. Beliau mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh Bani Umayyah.
Sebuah cerita yang dilukiskan oleh Hepi Andi pada bukunya cukup untuk menyadarkan kita akan pentingnya kesederhanaan. Pada cerita yang diambil pada sebuah atsar tersebut, terlihat bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai oleh Baitul Mal untuk keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak beliau datang ke kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam berbagai kitab Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
Sehingga, wajar jika banyak yang menyebut beliau sebagai Umar II, yang memang mewarisi sikap sederhana dari Khalifah Umar bin Khattab. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, beliau segera menegaskan sebuah komitmen dan frame kebijakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam lebih baik daripada menambah perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah pada beberapa kelompok yang sempat bertikai dengan khalifah sebelumnya.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, beliau berhasil menjalin hubuingan baik dengan kelompok Syi’ah dan Khawarij yang pada saat itu telah memulai langkah untuk menjadi sebuah faksi teologis di Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai gubernur Hijaz memudahkan rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah, ditambah dengan figure keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian beliau. Selain itu Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab dan keadilan atas semua golongan yang berada di bawah naungan Islam dijamin asal adanya jaminan sosial dengan jizyah dan zakat yang dibayarkan secara teratur.
Beliau meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun dengan meninggalkan keteladanan dan keadilan bagi segenap umat Islam.
i.Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Periode ini merupakan awal dari kemunduran Bani Umayyah. Khalifah Yazid III tidak dapat melanjutkan keteladanan yang dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Bibit-bibit disintegrasi mulai muncul dengan pertentangan-pertentangan pada faksi-faksi politik dan etnis yang ada pada masa itu.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan dan beliau wafat pada usia 40 tahun.
j.Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Beliau terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib dari Mekkah yang didukung oleh golongan Mawali dan Ajam serta menjadi sebuah ancaman yang sangat serius.
Dalam perkembangan selanjutnya,kekuatan baru ini mampu mengonsolidasi diri untuk kemudian menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbasiyah.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran. Namun, karena gerakan oposisi terlalu kuat, Khalifah tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mematahkannya. Gerakan Abbasiyah –kekuatan oposisi tersebut—kemudian menjadi kekuatan laten yang mengancam eksistensi pemerintahan. Namun, mereka tidak melakukan show of force pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Hubungan perdagangan dengan Eropa dibuka. Wilayah Eropa juga berhasil ditaklukkan, sampai ke pegunungan Pyrennia dan mencapai perbatasan Perancis. Pasukan umat Islam di bawah pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi dari Cordoba, ibukota kekhalifahan Islam di Spanyol berhasil mencapai pegunungan Pyrennia dan bergerak ke selatan, menuju Sisilia.
Namun, pasukan Islam terhenti di Tours, sebelah Selatan Bordeaux. Pada pertempuran di Tours yang legendaris (bahkan di kalangan non-muslim), pasukan Islam dikalahkan oleh Charles Martel, pemimpin Perancis yang pada waktu itu menguasai wilayah Perancis sekarang sehingga kekuatan Islam terhalang untuk menyebarkan pengaruh ke sebelah barat. Kendati demikian, Sisilia dan Italia selatan berhasil dikuasai. Pada era khalifah Utsmaniyah, pasukan Islam bahkan dapat menguasai wilayah Balkan sampai Kossovo dan mencapai perbatasan Yunani-Italia.
Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisilia pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan.
k.Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh Khalifah Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Beliau menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang.
Masa pemerintahan Khalifah Walid bin Yazid berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
l.Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Masa pemerintahann Khalifah Yazid III penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Tidak banyak literatur yang menggambarkan situasi politik dan pemerintahan ketika beliau memerintah. Beliau wafat dalam usia 46 tahun.
m.Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh legitimasi politik yang cukup di lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak.
Di sisi lain, kekuatan gerakan Abbasiyah yang diorganisasi oleh Abul Abbas As-Saffah juga semakin terkonsolidasi. Klimaksnya, beliau menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Atas tekanan yang dihadapi, beliau dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Khalifah Ibrahim memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
n.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Pada awalnya, beliau adalah seorang gubernur di salah satu wilayah yang dikuasai oleh Bani Umayyah. Delegitimasi politik yang dialami oleh Khalifah Ibrahim serta keadaan yang sudah cukup mengkhawatirkan menyebabkan beliau akhirnya dibai’at sebagai khalifah.
Pemberontak dapat ditumpas oleh beliau, tetapi ternyata Khalifah Marwan tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya. Gerakan Abbasiyah kemudian mengonsolidasi diri dan mulai melancarkan serangkaian serangan ke Damaskus yang telah lemah. Marwan ibn Muhammad akhirnya berhasil dikudeta oleh kelompok Abbasiyah.
Beliau melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus dan akhirnya sampai ke Mesir. Khalifah Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan kudeta ini, berakhirlah kedaulatan Bani Umayyah dan terjadi transformasi kepemimpinan ke Bani Hasyim yang dipimpin oleh Abul Abbas As-Saffah, keturunan dari Abbas bin Abdul Muttalib, paman Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi Was Salam.
C.Konstruksi Negara Bani Umayyah
1.Konstruksi Kekuasaan
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.
Implikasi pertama yang menyertai konstruksi monarki ini adalah berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya. Hal ini berbeda dengan kondisi di era Khulafaur Rasyidin, ketika ternyata sanggahan seorang ibu kepada Khalifah Umar berkaitan dengan kebijakan dan anjuran untuk menurunkan mahar nikah dari para pemuda berhasil membuat Khalifah Umar merevisi kebijakannya. Ketika itu, Al-Qur’an dan perintah Rasulullah menjadi sumber kebijakan yang paling utama.
Implikasi kedua adalah sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan (Ralliby, 1963: 220)11. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.
Implikasi keempat adalah kekuasaan ada pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.
2.Konstruksi Oposisi dan Kelompok Penekan
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.
Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pascapembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.
Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.
Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena. Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar.
Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
3.Konstruksi Politik Luar Negeri
Dari awal era Khulafaur-Rasyidin, konstruksi politik luar negeri didasarkan atas upaya untuk dakwah dan menyebarkan Islam secara ekspansif dengan kekuatan yang dimiliki. Begitu pula dengan orientasi dan dasar politik luar negeri Bani Umayyah. Spirit dakwah dan penyebaran Islam melalui jalur kekuasaan menjadi sebuah hal yang tak terelakkan dalam politik luar negeri Bani Umayyah.
Secara geopolitik, posisi Arab pada era Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Salam terletak di antara dua buah kekaisaran yang saling memperebutkan pengaruh: Persia dan Romawi. Pergumulan kedua kekaisaran ini diabadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum. Dengan posisi ini, Arab sebenarnya sangat rawan terhadap penetrasi atau aneksasi dari kedua kekaisaran yang begitu kuat.
Namun, kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang kuat berhasil menaklukkan Persia. Khalifah Umar juga mengirim pasukan ke Mesir dan Palestina serta mendesak kedudukan Romawi di dua tempat tersebut. Bargaining position umat Islam mulai muncul dan berlangsung sampai era awal Bani Umayyah.
Khalifah Muawiyah melanjutkan penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.
Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Terjadi universalisasi peradaban Islam yang sejalan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (Ridha, 2004: 85)12.
Bertambah luasnya territorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.
Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.
D.Mengurai Konsepsi Daulah: Simpulan Analisis
Dari analisis di atas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1.Sejarah dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya, yaitu konflik horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali sebagai Khalifah pada waktu itu. Momentum perseteruan terjadi pada Perang Shiffin, ketika pasukan dua golongan bertemu. Perang ini diakhiri dengan peristiwa Tahkim yang menandai pembagian kekuasaan antara Muawiyah dan Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2.Dinasti Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah mengalami dinamika dan pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor yang menjadi pemutus kebijakan tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan Dinasti. Ketika Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga menjadi kuat. Begitu pula sebaliknya ketika Khalifah yang berkuasa lemah, kedaulatan pun juga terancam. Faktor aktor sejarah menjadi hal yang begitu dominan pada era ini
3.Bani Umayyah telah membangun konstruksi politik yang sedemikian besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun dengan mekanisme kerajaan atau monarki, sehingga berimplikasi pada bergesernya pola orientasi kekuasaan, sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang berdampak pada absolutisasi kebijakan Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam pembuatan keputusan, serta munculnya lingkaran elit yang berbasis istana dengan dominasi kelompok-kelompok di sekeliling Khalifah.
4.Konstruksi Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas Khalifah dengan dua aktor utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Gerakan Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan Khalifah yang begitu kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak dapat dikalahkan dengan mudah dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan.
5.Konstruksi politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran Islam melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan territorial kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di ujung selatan. Dengan demikian, kekuatan politik luar negeri dibangun atas kolaborasi hard dan soft power yang terbangun atas relasi yang saling mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas).
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (Bandung: Rosda, 2005, cetakan ketiga).
Ralliby, Osman. Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintag, 1963).
Carlyle, Thomas. On Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History (London, Oxford University Press, 1963).
Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq: Buku Tertua tentang Sejarah Nabi Muhammad, pent. Dewi Candraningrum (Surakarta: Muhammadiyah University Press).
Manshur, Fadhil Munawwar. Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Jurnal Humaniora Vol. XV, No. 2/2003.
Basthoni, Hepi Andi. Belajar dari Dua Umar (Bogor: Al-Bustan, 2005)
Ridha, Abu. Negara dan Cita-Cita Politik (Bandung: Syaamil, 2004).
http://id.wikipedia.org/wiki/bani_umayyah
Ditulis dalam Sejarah Islam : Masa Kenabian-Modern era of Islam

End... Wasalam Tungkal tanjab barat

LOGIKA IJITIHAD: Definisi dan perkembangannya dalam khazanah pemikiran islam

Berbicara mengenai ijtihad memang menarik. Ijtihad salah satu sumber inspirasi guna memacu islam menyesuaikan dirinya dengan percepatan zaman. Tanpa ijtihad sama artinya mengembalikan kehidupan era millenium ini sesuai dengan seribu empat ratus tahun lalu. Mungkin umat islam perlu memikirkan unta (lagi) sebagai ganti mobil dan kereta api selain sebagai alat transport yang ramah lingkungan juga sesuai dengan sunnah nabi yang senantiasa hilir mudik dengannya[1].

Diskriminasi: Pengaruhnya terhadap anak-anak dan orang tua

Islam menawarkan pendidikan yang baik dan sesuai dengan fitrah manusia. Pendidikan ini bisa terlaksana dalam lingkungan keluarga. Karena lingkungan keluarga adalah basis pertama bagi setiap manusia di mana manusia dari sana bisa belajar nilai-nilai agama. Anak adalah amanat besar kedua orang tua yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Telah dipesankan kepada kedua orang tua yang memiliki anak lebih dari satu untuk berlaku adil di hadapan mereka dan menjauhi pilih kasih dan diskriminasi. Rasulullah saw bersabda: “Berlaku adillah di antara anak-anak kalian dalam memberi, sebagaimana kalian juga suka mereka berbuat adil terhadap kalian dalam menghormati dan menyayangi”.[1]

Penyimpangan Sosial: Apa Tugas Orang Tua Dihadapan Anak-Anaknya

By.Muhammad Efendi Bustani, S.Sos.I
Wahai saudaraku, anak adalah harta yang paling berharga yang dititipkan oleh Allah  SWT kepada kita, untuk dimanfaatkan dengan baik, untuk dijaga dan dididik dengan baik penuh dengan tanggungjawab dab syukur.
Firman Allah: Peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka...!!!

Peran lingkungan keluarga dalam membentuk kepribadian anak

Lingkungan memiliki peran penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Khususnya lingkungan keluarga. Kedua orang tua adalah pemain peran ini. Peran lingkungan dalam mewujudkan kepribadian seseorang, baik lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa dipungkiri khususnya lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. 

Puasa dan Pendidikan Budi Pekerti

PROSES pendidikan tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, tapi juga hendaknya melakukan transfer of values. Proses pendidikan tidak sekadar memperkuat kecakapan kognitif semata, tapi juga mampu mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia. Dengan proses pendidikan yang dapat mengembangkan seluruh potensi individu manusia, maka dihasilkan kualitas yang prima. Proses pendidikan memang seyogianya tidak sekadar mengembangkan dimensi akal. Dimensi hati, sikap, dan perilaku hendaknya diperhatikan dalam proses pendidikan. Pendidikan juga mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Untuk menjadi individu manusia yang unggul dan berkarakter dalam menghadapi kehidupan kini dan masa depan, pembangunan budi pekerti dalam proses pendidikan merupakan keniscayaan.

Mengugah Batin Pemuda

SUASANA batin yang menghinggapi kaum muda pada tahun 1928 silam adalah suasana batin rakyat. Ketertindasan akibat kekuasaan kolonial ketika itu begitu menyengsarakan penduduk di negeri ini. Banyak rakyat menderita, tak kuasa sekadar mendapatkan ruang hidup sebagai manusia yang merdeka. Atas kenyataan yang terjadi, kaum muda tak tinggal diam dan berusaha merefleksikan perjuangan sebelumnya. Suasana batin rakyat adalah suasana batin kaum muda sehingga muncullah inisiatif menggelar Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928.

Sebelum Kongres Pemuda II, kaum muda pun sudah bertekad untuk mencari jalan keluar dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme penjajah lewat Kongres Pemuda I pada 20 April-2 Mei 1926. Namun, takdir sejarah menghendaki tahun 1928 sebagai momentum lahirnya wajah Indonesia secara lebih nyata. Refleksi atas perjuangan mengusir penjajah yang terkotak-kotak sebelumnya menyadarkan kaum muda untuk menyatukan batin antarberbagai pergerakan dari barat hingga timur Indonesia . Batin kaum muda yang merupakan representasi dari kondisi batin rakyat akhirnya menjadi kekuatan dahsyat dengan sumpah setianya; satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia .

Sebentar lagi peristiwa bersejarah itu akan menginjak usia yang ke-80 tahun. Sumpah Pemuda yang terus diperingati tentu harapannya tak sekadar membangkitkan romantisme semata. Dalam hal ini, seperti dahulu kaum muda berhimpun ingin menciptakan Indonesia yang bangun jiwanya dan bangun badannya, kini pun kaum muda perlu memiliki ruh yang sama. Jika dahulu keterikatan kaum muda bertujuan mengenyahkan kolonialisme penjajah dari tanah persada, kaum muda juga dituntut serupa berperan sesuai konteks zamannya.

Tentu saja pentingnya kesadaran kaum muda sebagai pilar kebangunan bangsa perlu ditumbuhkan. Kesadaran bahwa kaum muda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda. Dengan kata lain, bagaimana Indonesia di masa depan adalah bagaimana kaum muda berpikir saat ini (Fahri Hamzah, 2007). Kaum muda memang dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya memajukan negeri yang dipijaknya.

Kaum muda yang menggagas Sumpah Pemuda 1928 lalu pastinya merupakan kaum intelektual yang termasuk kelas menengah. Sebagai kaum terdidik, mereka merasa terpanggil nurani dan jiwanya terhadap kenyataan negeri yang kian mencekam akibat penjajahan. Suasana batin mereka menyatu dengan suasana batin rakyat yang tertindas. Pendidikan kaum muda ketika itu tak terlepas dari kebijakan Politik Etis Hindia Belanda meskipun secara tak kasat mata juga dimaksudkan untuk mendukung eksitensi kekuasaan penjajah. Namun, kaum muda intelektual saat itu tak begitu saja mudah disetir sesuai selera Belanda. Di antara mereka ada yang masih peduli dan merasa sebagai bagian dari “nyawa” Indonesia dan menjadi kaum intelektual organik—meminjam istilah Gramschi. Konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928, cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa (Safari Daud, 2006).

Tentu saja sebagian di antara kaum muda terdidik saat itu tak semuanya mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa. Ada di antara mereka yang justru menjadi bagian dari kekuasaan penjajah. Suasana batin rakyat yang penuh penderitaan tidak menjadi suasana batin mereka. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial (Ismatillah A Nu’ad, 2008).

Karena itu, mengaktualisasikan spirit Sumpah Pemuda di era kini, kaum muda perlu terpanggil melakukan pengabdian dan menjadi agen transformasi sosial. Tampilnya kaum muda yang menyemarakkan kontestasi pemilihan presiden ataupun menjadi anggota legislatif 2009 setidaknya layak diapresiasi. Paling tidak, fakta itu menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan di negeri ini tidaklah macet sama sekali. Di tengah dominasi kaum tua, kaum muda ternyata masih bisa menunjukkan taringnya. Namun demikian, tujuan kaum muda itu selayaknya perlu menjadi perenungan. Jikasanya tampilnya kaum muda sekadar meraih kekuasaan, maka harapan perubahan di republik ini sekadar impian di negeri dongeng. Memang pilihan ada di tangan kaum muda, apakah menjadikan kekuasaan sebagai—meminjam Alfan Alfian—tujuan utama (ultimate goal) ataukah tujuan antara (intermediate goal). Apakah majunya kaum muda itu merefleksikan suasana batin rakyat saat ini?

Harapannya, kaum muda menjadikan kekuasaan sebagai intermediate goal; tujuan utama kaum muda lebih jauh lagi adalah menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan bangsa dan negara. Atau sebagaimana amanat konstitusi, kekuasaan digunakan untuk mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, kaum muda saat ini perlu menyatupadu dalam batin rakyat yang masih kekurangan dan hidup dalam keterhimpitan. Kolonialisme penjajah sudah berlalu di negeri ini, tapi kemiskinan adalah musuh bersama yang mesti dienyahkan. Keterbelakangan dan kebodohan harus segera diatasi demi terwujudnya Indonesia yang bermartabat. Kondisi batin rakyat yang terpuruk dalam ketidakberdayaan selayaknya menjadi batin kaum muda untuk kemudian bergerak menuntaskan perubahan. Pertanyaannya, apakah suasana batin kaum muda seperti suasana batin dirasakan rakyat? Jika tidak, kaum muda belum saatnya untuk memimpin! Wallahu a’lam.

Sumpah Pemuda dan Pendidikan

Pada tahun ini kita memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kondisi ketercekaman akibat penindasan kaum penjajah menyadarkan para pemuda untuk bertindak segera. Penjajahan Belanda ketika itu tidak bisa ditolerir karena menyebabkan jutaan rakyat menjerit pilu. Untuk itu, kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Jakarta . Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia ” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.

Menjadi Guru Adalah Panggilan Hidup

TENTU tak berlebihan jika dikatakan masa depan anak-anak berada di pundak guru. Anak-anak yang sedang tumbuh berkembang bisa diarahkan kemana pun oleh guru yang mengajar dan mendidik di sekolah. Peran guru dalam memberikan jalan hidup bagi anak-anak tentu saja menegaskan sebuah makna yang tak sederhana. Guru tak sekadar masuk kelas dan mengajar, tapi juga dituntut mampu memberikan cahaya bagi anak-anaknya untuk bersinar di hari depan.
Untuk melihat sosok guru, kita bisa menyimak sosok guru Bu Muslimah dalam “Laskar Pelangi”. Bu Muslimah menjadi guru karena panggilan hidup. Tak menjadi soal berapa materi yang didapatkan dengan mengajar di sebuah sekolah reot SD Muhammadiyah Gantong, Belitong. Dengan jumlah murid yang tak sesuai dengan jumlah ideal dalam satu kelas, Bu Muslimah tetap menunjukkan spirit guru yang mengajar, mengarahkan, membimbing, dan mendidik. Karena panggilan jiwa, Bu Muslimah tak memiliki pikiran selintas pun untuk pindah sekolah yang lebih menjanjikan. Bu Muslimah mampu memotivasi sepuluh anak dalam “Laskar Pelangi”, melihat potensi-potensi mereka untuk dijadikan energi keberhasilan.
Menjadi guru dengan penuh pengabdian sebagaimana Ibu Muslimah memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Di seantero Indonesia ini, sosok guru seperti Bu Muslimah sebenarnya tidaklah sedikit. Masih banyak sosok lain di luar Bu Muslimah yang memiliki pengabdian luar biasa untuk membesarkan anak-anak didiknya. Di pulau-pulau terpencil, di sudut-sudut desa, ataupun pelosok jauh tak terjangkau mata, sosok guru yang memiliki pengabdian dan menjadi guru karena panggilan hidup boleh jadi tak pernah kita bayangkan sedikit pun.
Disadari atau tidak, kehadiran guru dalam pendidikan anak-anak melampaui pentingnya penggunaan internet yang saat ini sudah mewabah hingga masuk sekolah. Anak-anak sebagai manusia memerlukan pendekatan manusiawi oleh sosok guru yang tak bisa digantikan oleh benda apapun. Maka, tak salah jika guru dalam leksikon Jawa diakronimkan dengan ungkapan “digugu lan ditiru”. Guru harapannya bisa dipegang kebenaran kata dan bisa diteladani perilakunya. Dari guru, anak-anak belajar akan makna hidup, motivasi, semangat, dan mentalitas. Gurulah yang melahirkan sosok-sosok besar yang berpikir dan bertindak besar dalam kehidupan. Kesadaran itulah yang mengilhami Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan khasnya. Ada juga Ki Hajar Dewantara yang ingin mendidik anak-anak bangsa melalui Taman Siswa-nya. Saat ditahan di Bengkulu, Soekarno pun mengajari anak-anak sejumlah pelajaran dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Pernah juga Jendral Soedirman menjadi kepala sekolah di SD Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Selain mereka, masih banyak tokoh-tokoh bangsa yang merelakan hidup sebagai guru yang mengabdi demi terlahirnya anak-anak bangsa yang bernurani, cendekia, sekaligus memiliki kemandirian dan kemerdekaan.
Pilihan menjadi seorang guru tentu tidak sekadar materi yang ingin didapatkan. Guru bukanlah politisi yang terus berburu popularitas atau mencari status sosial terhormat di masyarakat. Menjadi guru adalah panggilan hidup untuk mewujudkan peradaban yang bermartabat. Melalui tangan-tangan guru, anak-anak bangsa tumbuh menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada tugas penting di sini yang menjadikan guru tak sekadar profesi sebagaimana profesi lainnya. Guru adalah sosok yang memainkan peran untuk memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani—meminjam Driyarkara. Motivasi dan tujuan luhur inilah yang seyogianya mendasari siapa pun ketika membulatkan langkah menjadi guru.
Pungkasnya, menjadi guru adalah panggilan hidup. Menjadi guru adalah jalan juang yang menyimpan kemuliaan. Di tangan guru, eksistensi bangsa dan negara dipertaruhkan. Menjadi guru adalah sebuah bentuk keberanian untuk membawa anak-anak bangsa menuju cita-cita. Menjadi guru adalah sebuah bentuk pengorbanan demi terlahirnya manusia Indonesia yang mampu belajar dari masa lalu, berinteraksi dengan masa kini, dan mampu beradaptasi dengan masa depan. Tegasnya, menjadi guru adalah kemuliaan untuk tidak meninggalkan generasi lemah di negeri yang kita cintai ini. Guru adalah aktor penting pendidikan yang—meminjam Ki Hajar Dewantara—akan menuntun segenap kekuatan kodrat anak-anak bangsa agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Maka, sebuah keniscayaan jika saatnya menjadi guru karena panggilan hidup. Guru yang tulus mengabdi tanpa henti. Guru yang memang layak disebut pahlawan karena berharap ridha dan pahala Tuhan. Wallahu a’lam.

Korupsi, Mentalitas dan Pendidikan Anak

BERITA-berita mengenai kasus korupsi senantiasa mencuat dan menampilkan watak sebenarnya dari elite pejabat. Perilaku korupsi di negeri ini memang telah menyatupadu dalam denyut nadi birokrasi dan karenanya tuntutan pemberantasan korupsi tidaklah seketika dapat dirasakan keberhasilannya. Dibutuhkan proses panjang untuk memberantas korupsi sebagaimana perilaku korupsi tertanam di negeri ini dalam rentang waktu yang panjang pula.

Keluarga dan Pendidikan Anak

Persoalan anak-anak pada zaman kini lebih kompleks ketimbang di zaman lampau. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Anak tidak sekadar menjadikan guru di kelas sebagai sumber belajar, tapi juga setiap teknologi informasi menjadi sumber belajar yang sering kali lebih efektif daripada sumber belajar berupa manusia (orang tua/guru). Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif ataupun negatif yang tentu saja mampu membentuk sikap dan perilaku anak.

Tentu saja, imbas positif dari teknologi informasi menjadi harapan segenap pihak. Namun, adanya perilaku negatif yang dilakukan anak sudah tidak dimungkiri lagi, bahkan perilaku itu memprihatinkan. Kita sering kali menyaksikan berita kriminal yang justru dilakukan anak-anak seusia sekolah, seperti pencurian, pemerkosaan, dan lainnya. Kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak sekolah tidak sulit lagi dicari di era kini. Ada anak yang belajar kekerasan dari televisi sehingga kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. Dari tontonan, ada anak laki-laki seusia SD-SMP berani melakukan pencabulan terhadap anak perempuan yang masih balita. Begitu pun perilaku seks bebas dilakukan anak-anak usia sekolah, tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa. Pastinya, perilaku kurang mulia lainnya masih cukup banyak yang dilakukan anak-anak.

Menyaksikan fenomena tersebut sering kali yang menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolah dikatakan tidak mampu mendidik siswa-siswanya secara baik. Anggapan seperti itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya tepat. Artinya, pihak keluarga selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Pasalnya, pendidikan anak tidak mutlak berada di tangan sekolah, tapi juga keluarga. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa abai terhadap kondisi anak.

Pihak keluarga jelas merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Selain pendidikan formal, ada pendidikan yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi, sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau dimana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan. Pendidikan anak memang menjadi sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral.

Disadari atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah justru telah menggejala dewasa ini. Lemahnya peran keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, kata Deni Al-Asy’ari (2007), tidak terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata. Orang tua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai anak-anaknya menempuh bangku sekolah, orang tua sudah merasa bangga dan tugasnya selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tidak bisa mengembangkan kualitas anak seutuhnya tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Harus jujur diakui jika tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan setiap semester membuat guru lebih menonjolkan pengembangan kecerdasan kognisi. Itu artinya pengembangan kecerdasan emosi, sosial, dan moral anak di bangku sekolah sedikit didapatkan.

Pentingnya pendidikan dalam keluarga ini seyogianya menyadarkan orang tua untuk dapat menjalin komunikasi seintensif mungkin. Perilaku kurang mulia anak sering kali diakibatkan kondisi kehidupan keluarganya yang tidak stabil. Di era kini, orang tua sering kali lebih disibukkan urusan mencari uang sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak-anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Keluarga sudah saatnya menjadi tempat keluh kesah bagi anak ketika menghadapi permasalahan di dunia luar.

Pungkasnya sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana pun, tak bisa dimungkiri jika inti dari proses pendidikan adalah menggarap individu manusia. Pendidikan adalah seni membentuk manusia, kata Anis Matta yang merangkum seluruh definisi pendidikan. Membentuk individu manusia tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga perlu ditanamkan nilai-nilai agar mampu menghadapi realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam kehidupan keluarga merupakan amanah yang memang harus dipelihara dan dijaga agar memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Meminjam Socrates, pihak keluarga perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Wallahu a’lam. Endy Tungkal