Apa Sebenarnya Skripsi?

Oleh : Muhammad Efendi, S.Sos.I. Perguruan Tinggi pada umumnya, sampai terbetik suatu anggapan bahwa skripsi TA tidaklah dapat dijadikan tolok ukur kualitas sarjana yang dihasilkan. Beberapa responden mahasiswa bahkan merasa skripsi TA tidak diperlukan, apalagi isinya kadang-kadang dinilai tak terkait dengan kuliah-kuliah yang diikuti sebelumnya. Apalagi TA tersebut adalah buah dari plagiatisasi dari peneliti terdahulu!.


 

Memang topik perlu tidaknya skripsi TA ini sempat mencuat di pentas nasional beberapa waktu yang lalu. Alhasil, terjadilah polemik antara pro dan kontra yang tak jelas akhir ceritanya. Suara keras datang dari yang kontra terhadap skripsi TA di perguruan tinggi, karena pada kenyataannya memang banyak mahasiswa terhambat pada tahap akhir kesarjanaannya itu. Skripsi TA dianggap mempersulit, tidak relevan, sehingga tidak perlu ada dalam kurikulum. Pendapat ini tidak hanya muncul di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan birokrasi perguruan tinggi yang pada umumnya lebih "toleran" agar mahasiswanya dapat lulus secepat mungkin dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.


 

Sebagai anggota masyarakat intelektual, hendaklah kita kaji ulang topik ini secara jernih dan obyektif, tanpa memihak lebih dulu pada yang pro maupun yang kontra. Sebetulnya ada apa di balik kegiatan Skripsi Tugas Akhir? Jawaban pertanyaan ini tentu amat konstruktif terhadap seluruh civitas akademika, agar tidak ragu lagi secara tegas menerima atau menolak eksistensi skripsi TA di perguruan tinggi.


 

Penelitian, Karya Tulis, dan Skripsi Tugas Akhir


 

Paragraf ini tidak akan membahas berbagai definisi istilah-istilah di atas, tetapi bermaksud akan menjernihkannya, dimulai dengan suatu kejadian dalam kegiatan kelompok kemahasiswaan di bidang karya tulis ilmiah. Pada pertemuan-pertemuan antara anggota kelompok tersebut dengan pembina, seringkali tercetus keinginan, agar melalui kegiatan dalam kelompok ini para anggota pada akhirnya dapat mengerjakan TA dengan baik. Misi yang bagus! Tetapi ada satu kesalahpahaman yang terus menerus terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu perhatian kelompok lambat laun bergeser dari karya tulis ke sebuah topik akademik yang lain: penelitian, sepertinya ingin menjadi pelengkap mata kuliah metodologi penelitian1 yang banyak bercokol dalam kurikulum berbagai bidang keilmuan kita.


 

Dari peristiwa di atas tampak terjadi kerancuan pengertian dan hubungan antara tiga kegiatan : penelitian, membuat karya tulis, dan skripsi TA. Memang dalam pembicaraan tentang skripsi TA ketiganya sudah jelas saling terkait, kegiatan skripsi TA mencakup dua kegiatan yang lain. Tetapi, ketiganya tetap satuan-satuan yang mandiri, yang dapat didefinisikan secara bebas terpisah.


 

Jadi dua unsur penting dalam kegiatan skripsi TA adalah meneliti dan membuat tulisan. Kemahiran meneliti dan keterampilan membuat tulisan secara bersama-sama merupakan jantung kegiatan skripsi TA. Adalah keliru jika ada anggapan bahwa menguasai salah satu sudah cukup sebagai jaminan dalam pengerjaan skripsi TA. Untuk dapat meneliti dibutuhkan pengetahuan baik metodologi maupun substansi penelitian, sedangkan untuk membuat tulisan yang menghasilkan laporan penelitian dibutuhkan keterampilan menulis. Tidak jarang dalam mata kuliah metodologi penelitian diberikan porsi yang kelewat banyak tentang sistematika penulisan skripsi, ini suatu gejala yang salah alamat. Dalam hal ini kelompok karya tulis mahasiswa dapat dipakai sebagai sarana peningkatan keterampilan menulis, sebagai kegiatan ko-kurikuler yang vital.


 

Mengapa penelitian?

Jika kita kaji hal-hal yang dilakukan dalam kegiatan penelitian beserta filosofi yang mendasarinya, tak pelak penelitian merupakan kegiatan intelektual yang paling tinggi tingkatannya.


 

Tak salah jika kalangan akademisi menganggap penelitian merupakan kegiatan yang paling bergengsi. Di negara maju bahkan muncul pameo : publish or perish, yang arti bebasnya adalah berkarya (publikasi hasil penelitiannya) atau binasa. Intelektual yang tidak melakukan penelitian dianggap sudah mati.


 

Ciri intelektualitas adalah kekritisan mempertanyakan sesuatu yang dianggap sebagai

masalah, kemudian mencoba menjawabnya dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam rangka itulah metode ilmiah dipergunakan dalam kegiatan penelitian.


 

Sarjana perguruan tinggi termasuk kaum intelektual, konsekuensinya ia harus memiliki ciri intelektualitas tadi, otomatis juga memiliki kemampuan menjawab permasalahan melalui prosedur metode ilmiah.


 

Agar menjadi kritis, dibutuhkan suasana berbudaya ilmiah, sehingga masyarakatnya dapat belajar bersikap ilmiah. Tak dapat disangkal bahwa erosi budaya ilmiah sudah melanda dunia pendidikan kita. Jangankan menjadi kritis, menemukan sesuatu yang dapat diangkat menjadi masalah saja tampak sulit sekali bagi sebagian besar orang. Jika tidak berpikiran kritis Isaac Newton tentu tidak mempertanyakan gerak jatuh buah apel dari pohonnya, karena bisa saja ia beranggapan bahwa sudah dari sononya gerak jatuh itu arahnya ke bawah menuju permukaan tanah, jadi buat apa dipertanyakan lagi. Tanpa adanya orang seperti Newton ini dunia kita tak bakal maju, semua fenomena taken for granted.


 

Berwatak kritis dalam menemukan masalah merupakan hal penting yang seringkali luput dari perhatian kita. Padahal suatu penelitian selalu diawali dengan langkah mengidentifikasikan masalah. Ada pepatah, langkah awal yang baik dalam suatu pekerjaan berarti separo pekerjaan sudah terselesaikan. Kemampuan berpikiran kritis dan inovatif amat dibutuhkan dalam langkah-langkah awal suatu penelitian, termasuk skripsi TA, yang pada umumnya terdiri dari :


 

  1. Identifikasi masalah

    Langkah ini mencari gagasan tentang topik penelitian yang akan dilakukan, kuncinya terletak pada kekritisan dan kejelian dalam pengamatan dan penghayatan di bidang keilmuan.


     

  2. Studi kelayakan

    Langkah ini mengkaji peluang dilaksanakannya penelitian. Peluang yang dimaksud dapat berupa peluang finansial atau fasilitas lain yang dibutuhkan, maupun kemungkinan duplikasi terhadap sesuatu yang sudah pernah dikerjakan oleh peneliti lain.


 

  1. Pembatasan masalah

    Langkah ini berusaha menentukan fokus dan tujuan penelitian, dilanjutkan dengan penyusunan hipotesa jika dimungkinkan.


     

Tidak satupun dari langkah-langkah di atas yang secara langsung diberikan dalam bentuk perkuliahan formal. Sikap ilmiah yang menghasilkan pemikiran kritis inovatif tidak dapat dibentuk di dalam sebuah mata kuliah. Oleh sebab itu di dalam sebuah penelitian, jika ada pihak yang terlalu menitikberatkan metodologi prosedural, misal metode statistik dan sistematika penulisan, ia sudah kehilangan esensi kegiatan penelitian itu sendiri. Halhal prosedural ini merupakan distraktor (pengalih perhatian) yang luar biasa kuatnya di dalam latihan penelitian.


 

Setelah tahapan-tahapan awal di atas dikuasai, kemudian metodologi pengerjaannya juga terlatih, barulah perhatian dipusatkan pada bobot substansi penelitiannya. Di sinilah para penanggungjawab kurikulum harus tegas memberikan batasan. Misalnya, jika skripsi TA di jenjang S-1 penekanannya ada pada pelatihan berpikiran kritis dan penguasaan metodologi prosedural dalam penelitian, maka substansi penelitian menjadi kurang penting. Dalam hal ini kelonggaran otentisitas substansi dapat diberikan, tuntutan bobotnya pun tidak perlu terlalu tinggi, sehingga sikap menuntut mahasiswa S-1 membuat skripsi TA yang membahas pembuatan alat atau metode yang sama sekali baru menjadi tidak masuk akal. Mungkin di jenjang S-2 syarat otentisitas ini baru dapat diterapkan pada tugas akhir (tesis) karena mahasiswanya sudah terspesialisasi pada lingkup bidang yang lebih sempit dan terarah.


 

Mengapa karya tulis?

Ada dua alasan mengapa hasil penelitian perlu dituangkan dalam bentuk karya tulis, misalnya skripsi TA jenjang S-1. Alasan pertama, kembali pada ciri seorang intelektual, dimana ia juga harus dapat berkomunikasi dengan orang lain secara tertulis. Sebagai sarana komunikasi, tulisan memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara lisan, terutama dalam akurasi penyebarannya dan sifatnya yang tak mengenal batas waktu. Kita masih dapat mengikuti hasil pemikiran cendikiawan jaman dulu secara lebih akurat jika pemikirannya itu dituangkan dalam bentuk tulisan, dibandingkan jika penyampaiannya dilakukan dari mulut ke mulut. Kemampuan membuat tulisan merupakan ciri khas yang hanya dimiliki oleh kaum intelektual.


 

Alasan kedua datang dari asas legalitas, dalam banyak peristiwa bukti yang kuat dibuat dalam bentuk hitam di atas putih, kesaksian dalam pengadilan pun harus dicatat sebagai bukti. Maka kemampuan mengadakan penelitian juga harus terbukti kuat secara tertulis sebelum mahasiswa dinyatakan lulus sebagai sarjana.


 

Sudah merupakan fakta di lapangan, bahwa banyak mahasiswa cerdas tersendat dalam skripsi TA-nya hanya karena kurang terampil dalam tulis-menulis. Oleh sebab itu keterampilan ini tidak boleh disepelekan. Pelatihan yang diberikan selama perkuliahan harus dijalankan secara lebih serius, seperti pada pembuatan laporan praktikum, pembuatan esai, dsb. Kelompok karya tulis mahasiswa perlu lebih digalakkan lagi sebagai program ko-kurikuler dengan sasaran keterampilan tulis-menulis ini. Sudah tentu suatu keterampilan tak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat, apalagi hanya pada semester akhir saat membuat skripsi TA.


 

Penutup

Mengingat sarjana perguruan tinggi termasuk kaum intelektual, tentu lengkap dengan ciri-cirinya, tampaknya skripsi TA tidak dapat dihapuskan begitu saja dari kurikulum perguruan tinggi. Bagaimana mungkin kita menghapus sesuatu yang dapat dijadikan bukti intelektualitas mahasiswa? Skripsi justru dapat dijadikan bukti otentik tentang kualitas suatu perguruan tinggi, bukan hanya kualitas produk sarjananya, tapi juga kualitas proses belajar mengajar yang ada di dalamnya. Jika mau dampak yang lebih jauh lagi, skripsi juga merupakan cermin perilaku akademik baik penulisnya maupun institusi yang membawahinya.


 

Sulit dibayangkan bagaimana kualitas sebuah perguruan tinggi yang sebagian besar skripsi TA mahasiswanya merupakan hasil contekan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam pengerjaan skripsi TA merupakan masalah lain, yang tentunya juga memerlukan cara penanganan yang lain. Bukannya lantas skripsi TA dihapus dan dituduh sebagai sumber masalah, tapi justru perlu dicarikan jalan keluar untuk mengatasi hambatan-hambatannya. Ada pendapat bahwa jika skripsi TA tidak dihapus dari kurikulum, maka skripsi TA akan menjadi program akademik yang tak bermanfaat, karena toh banyak kasus plagiarisme di lapangan. Nah, ini masalah semangat pendidikan, jika memang banyak praktek plagiarisme yang terjadi, haruslah diciptakan suasana dan kondisi dimana praktek-praktek semacam itu tidak dapat tumbuh dengan subur. Penghapusan skripsi TA dengan tujuan "kemudahan" semata tidak sesuai dengan semangat idealisme akademik.


 

Dari bahasan di atas, tampak bahwa keberhasilan skripsi TA tergantung pada dua hal, yaitu kemampuan berpikiran kritis inovatif dalam menerapkan metode ilmiah, dan kemampuan membuat tulisan. Ternyata keduanya dapat dilatih selama mahasiswa berada dalam masa perkuliahan. Secara garis besar, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memecahkan kesulitan membuat skripsi TA ini adalah:


 

  1. Membudayakan sikap ilmiah di lingkungan perguruan tinggi, agar tumbuh sifat-sifat kritis dan inovatif di kalangan dosen dan mahasiswa. Sikap ilmiah juga menumbuhkan budaya malu agar tidak melakukan praktek plagiarisme, serta menanamkan disiplin dan etos kerja keras.
  2. Pelatihan membuat tulisan lebih digalakkan, baik melalui kegiatan kurikuler maupun kokurikuler.
  3. Penanggungjawab kurikulum harus segera mempertegas tujuan dan batasan skripsi TA di masing-masing jurusan dan jenjang perguruan tinggi. Misalnya melonggarkan syarat otentisitas substansi penelitian di jenjang S-1, dimana skripsi TA lebih ditekankan untuk melatih mahasiswa mengorganisasi dan melaksanakan kegiatan penelitian ilmiahnya. Rincian langkah pemecahan ini tentu masih memerlukan banyak pemikiran dan kesungguhan, entah melalui diskusi atau lokakarya ilmiah.


     

Wasalam………. Samapi ketemu ditulisan berikut…………….

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT TERIMA PENGHARGAAN ASEAN BEST EXECUTIVE CITRA AWORD 2010

Bupati Tanjung Jabung Barat Dr. Ir. H. SAFRIAL, MS menerima penghargaan berupa Asean Best Executive Aword 2010-2011 di Shangri-La Hotel Jakarta. Penghargaan ini diberikan kepada Kepala daerah yang berprestasi dalam pemerintahan di bidang pengembangan dunia usaha.

Kabag Humas Setda Tanjung Jabung Barat, Drs. Mhd. ARIF, MM mengatakan penghargaan berupa Asean Best Executive Aword 2010-2011 yang diterima Bupati merupakan penghargaan bergensi yang dterima kepala daerah, karena prestasi kerjanya selaku pimpinan daerah yang mampu merangkul pelaku dunia usaha dan mengaktualisasikan kegiatan dunia usaha diwilayahnya. Degnan pelayanan terbaik itu sehingga dunia usaha berkembang dan mengalami kemajuannya. Selain itu, penilaian juga diberikan berdasarkan pula perannya selaku Bupati, pimpinan daerah yang ikut serta dalam perencanaan pembangunan nasional..

Alquran Berusia 500 Tahun


 

Oleh: Muhammad Efendi, S.Sos.I

Kuala Tungkal-Tanjung Jabung Barat


 

Alquran tua yang berusia 500 tahun lebih iniberadadi KabupatenSarolangun – Jambi. Banyak orang yang herandan hamperdanhampirtakpercayaadaAlquranberusia 500 tahun. SetelahmelihatAlquran Berusia 500 di Stand Kabupaten Sarolangun, di arena MTQ ke 40 di Kuala TungkalKabupatenTanjungJabungBaratnselama 1 minggudaritanggal 3 – 10 Mei 2010 lalu.

Alquran tua yang terbuat dari kulit kayu. Walau terlihat kusam, namun masih bisa terbaca. Tistalani, adalah pemilik Kitab Suci Agama Islam tertua di Kabupaten Sarolangun itu. Konon, Alquran tersebut dibuat pada tahun pada 1021 H atau 1700 MH. Ibrahim, adalah sosok fenomenal pembuat Alquran tersebut selama bertahun tahun lamanya. Pria yang merupakan warga desa Lubuk Resam membuat Alquran secara bertahap di tanah suci Mekkah. Lembaran-lembaran tulisan yang telah selesai kemudian di bawa ke kampung halamannya, selanjutnya ditulis kembali hingga selesai. Begitulah akhirnya alquran tersebut rampung dan menjadi kitab kebanggan kabupaten Sarolangun hingga saat ini. Ini kitab satu-satunya yang paling Tua di Sarolangun yang di buat di Mekkah. ArtinyaAlqurantersebutadalahkitabsuci agama Islam tertua di ProvinsiJambi.Keteranganinisayadapatkandaribapak Sudiono, Kabid Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Sarolangun.

Kitab tersebut turun temurun hingga saat ini, dan disimpan oleh keturunan Ibrahim, Tistilani, yang juga merupakan warga desa Lubuk Resam, kecamatan Cermin Nan Gedang. Sebagai ahli warisnya, kitab tersebut disimpan dikediamannya dan tiada seorang pun diperbolehkan untuk mengambil, sekalipun pemerintah daerah. Untuk memperkenalkan kepada Warga se-Provinsi Jambi, kitab tersebut kini selalu dipajang di arena-arena pameran di Provinsi Jambi, boleh di foto, warga yang ingin menyaksikan diperkenankan untuk membuka lembaran-lembaran kitab usang itu. Boleh di lihat, tidak ada larangannya.