SISI LAIN KEBIJAKAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN

Kebijakan publik merupakan alat control terhadap masyarakat melalui beberapa aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan Kebijakan selama ini dijalankan oleh para apartus state ataupun para elite negara tanpa memperhatikan kepentingan pemakai kebijakan. Hal ini berarti kebijakan yang dibuat bersifat sepihak saja dan para elite Negara tersebut telah menodai amanah kebijakan publik. Makna kebijakan publik telah melenceng dari kenyataannya, yang seharusnya membela kepentingan rakyat melalui prasarana kebijakan yang lebih partisipatif.
Titik singgung proses pertukaran kepentingan antara pemerintah dan masyarakat inilah yang harus melandasi formula sebuah kebijakan publik. Penetapan kebijakan publik perlu mengangkat konsep demokrasi yang kuat. Dari konsep demokrasi itulah kebijakan publik lebih berproses, tidak hanya sekumpulan elite atau politikus negara, tetapi kumpulan dari orang-orang yang bersinggungan dengan masalah kebijakan. Perlu adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam membahas kebijakan-kebijakan publik, sehingga tidak dimonopoli oleh kelompok negara saja. Yang nantinya nilai-nilai demokrasi akan bisa terwujud dengan proses kedaulatan rakyat dengan sistem mufakat.

Pendidikan tidak pernah steril dari kebijakan baik kebijakan tingkat lokal, regional, maupun nasional. Kebijakan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dari kepala sekolah hingga menteri merupakan kebijakan publik. Di era demokrasi seperti sekarang ini, peran masyarakat sebagai stakeholder pendidikan sangat penting dalam kebijakan publik. Dengan peran yang aktif, masyarakat tidak lagi sebagai objek penderita atas berbagai kebijakan publik yang diterapkan dalam dunia pendidikan.
Keterlibatan stakeholder untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik sangat diperlukan dalam menentukan dan menetapkan sebuah kebijakan. Keterlibatan stakeholder ini paling tidak membutuhkan kecakapan warganegara dalam dua hal yaitu kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. Dua kecakapan ini merupakan pautan tiga dimensi yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Terutama kecakapan partisipatoris dengan membentuk aliansi dari anggota masyarakat untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Aliansi tersebut dapat terwadahi dalam sebuah institusi formal maupun non formal, sehingga bisa menjadi pressure group dalam menyikapi isu-isu pendidikan, baik tingkat mikro sekolah, lokal maupun nasional. Hal ini harus dimanfaatkan dengan baik dalam mengambil inisiatif atas sebuah kebijakan karena kebijakan publik dapat bersifat bottom up. Inisiatif tersebut dapat berbentuk hearing dan diskusi dengan pihak eksekutif maupun legislatif.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam penentuan kebijakan publik dapat dilihat dalam praksis partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan di kota Surakarta yang dipaparkan oleh Muhammad Munadi dan Barnawi. Kebijakan pendidikan yang dibahas dan didiskusikan adalah penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah bidang pendidikan kota Surakarta.
Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui tahapan yang panjang, berawal dari Musyawarah Rencana Membangun Kelurahan, Musyawarah Rencana Membangun Kecamatan sampai dengan Musyawarah Rencana Membangun Kota. Proses yang panjang ini diinisiasikan oleh Indonesian Partnership on Local Governance Initiative Solo (IPGI-Solo) yang memakai model bottom up dengan dielaborasikan oleh Walikota Solo Slamet Suryanto dengan model pembangunan nguwongke wong Solo.
Selain stakeholder yang berasal dari kelurahan, kecamatan dan kota, terdapat forum yang berada di luar kelembagaan resmi, yaitu LSM yang turut mempengaruhi kebijakan. LSM-LSM tersebut mewakili kelompok pinggiran seperti pedagang kaki lima (PKL), pengemudi becak, kaum difabel, pengamen dan anak jalanan dan sebagainya dalam menyuarakan pendapat mereka. Keterlibatan stakeholder-stakeholder tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan turut mempengaruhi kebijakan pendidikan yang ditetapkan.
Muhammad Munadi dan Barnawi dalam bukunya Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan memaparkan pula praksis kebijakan pendidikan keagamaan. Perda tentang pendidikan keagamaan dilacak melalui www.perdaonline.org dan www.nusantaraonline.org. Dalam hal ini penulis menganalisa Perda tentang pendidikan Keagamaan yang berada di provinsi Sumatra Barat. Dari hasil analisa hanya ada 6 kabupaten yang telah memiliki perda tentang pendidikan keagamaan. Kabupaten tersebut antara lain : kabupaten Limapuluh Koto, Sawahlunto, Pesisir Selatan, Solok, Tanah Datar, dan Agam. Dari keenam kabupaten tersebut, perda yang ada dianalisis yang dilihat dari pertimbangan yang dipakai dalam penetapan perda, selisih penetapan perda dengan UU No 20 tahun 2003 dan PP no. 55 tahun 2007, keterkaitan Perda dengan jalur pendidikan dan jenjang pendidikan, tenaga pendidik, kemampuan BTA yang ditetapkan dalam Perda, bukti keikutsertaan dan instansi yang mengeluarkan, jenis sanksi yang diberlakukan, pembiayaan, dan peran serta masyarakat.
Pembuatan perda pendidikan keagamaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah dan didukung sebelumnya atau sesudahnya dengan peraturan dibawahnya atau diatasnya merupakan bentuk rekonstruksi sector pendidikan sehingga dapat tercipta local capability, yaitu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperbaiki hak-hak komunitasnya.
Selain memaparkan Proses panjang penetapan kebijakan publik bidang pendidikan di kota Surakarta dan telaah atas Perda Pendidikan Keagamaan, Muhammad Munadi dan Barnawi juga mengungkap korupsi yang terjadi di Lembaga Pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi yang menjadi tempat para mahasiswa sebagai agent of change mencari ilmu ternyata secara tidak langsung mengajarkan tindak korupsi. Memang tidak banyak yang tahu bahwa kecenderungan perilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di kalangan mahasiswa terutama di organisasi mahasiswa yang ada di kampus, baik dalam bentuk intra maupun ekstra. Korupsi yang dilakukan sebenarnya karena menyesuaikan dengan ketentuan birokrasi yang ada dengan dalih uang akan hangus.
Tentu saja organisasi mahasiswa atau yang dikenal dengan istilah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menggantungkan kelangsungan kegiatannya pada dana yang dikucurkan kampus, akan melakukan apa saja agar dana tersebut dapat cair. Karena alasan tersebut, aktivis kegiatan kampus akan melakukan korupsi dalam bentuk mark-up barang-barang yang dibeli. Mahasiswa tersebut mencari harga yang miring tetapi minta kwitansi dengan harga yang tinggi. Biasanya toko-toko tersebut sudah hafal dengan kondisi seperti itu, sehingga tetap menuliskan harga yang tinggi meskipun ada potongan harga. Bahkan ada pemilik toko yang berani menawarkan jasa semacam itu. Kalau tidak seperti itu, korupsi yang terjadi adalah penggandaan stempel toko yang bersangkutan agar dapat membuat kwitansi sendiri.
Mahasiswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu mengambil tetapi tidak jujur, tidak diambil tetapi uang lenyap entah kemana atau dana yang tersisa/masih sisa dibiarkan hilang tetapi berlaku jujur. Menghadapi kenyataan semacam itulah, akhirnya mahasiswa memilih pilihan pertama, mengambil tetapi tidak jujur dengan dalih daripada dipakai oleh orang-orang yang tidak jelas lebih baik diambil untuk kegiatan yang bermanfaat. Dengan demikian secara tidak langsung mahasiswa diajarkan bagaimana berkorupsi secara sistematis.
Melihat kenyataan yang ada dalam penetapan kebijakan, masyarakat awam perlu referensi lebih untuk menelaah kebijakan-kebijakan yang ada. Masyarakat sebagai pemakai kebijakan perlu dibukakan matanya untuk dapat mengkritisi berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak ada rasa kekecewaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Terlebih lagi kebijakan di bidang pendidikan, dimana masih banyak penduduk Indonesia yang terlantar pendidikannya. Masyarakat menginginkan adanya kebijakan yang mendukung masyarakat menengah ke bawah agar mereka dapat merasakan pendidikan mulai dari bangku sekolah dasar hingga lanjut sesuai dengan target pemerintah, yaitu WAJAR 9 tahun. Akan lebih membahagiakan lagi apabila masyarakat menengah ke bawah diberi kesempatan berupa kemudahan untuk melanjutkan pendidikan hingga menengah keatas bahkan perguruan tinggi.
Derajat suatu bangsa ditangan pendidikan. Buku ini memberikan gambaran yang nyata tentang kebijakan-kebijakan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan. Isi buku ini tidak hanya memberikan penjelasan umum tentang kebijakan publik bidang pendidikan tetapi juga memberikan contoh nyata praksis kebijakan yang merupakan hasil penelitian penulis. Pada setiap bab yang ditulis, tidak hanya mengungkap fenomena kebijakan publik yang terjadi di bidang pendidikan, tetapi juga memberikan ulasan dan solusi yang dapat diterapkan demi kematangan kebijakan publik bidang pendidikan yang akan diterapkan. Semakin baik kebijakan yang ditetapkan penguasa Negara, semakin mendukung masyarakat dalam mengenyam pendidikan, akan semakin tinggi derajat bangsa tersebut.

Sumber: http://woelanmay.blogspot.com/