Mushaf yang dihasilkan oleh panitia pembukuan Alquran pada masa Khalifah ‘Uśmān ibn ‘Affān, tulisannya tidak seperti bentuk tulisan yang dikenal sekarang. Pada saat itu, tulisan dalam mushaf ‘uśmāniy tidak memiliki syakl (baris diakritikal), seperti tanda fathah, kasrah, dan dammah. Begitu pula tidak memiliki tanda nuqat al-i’jām (titik), seperti titik satu di bawah huruf ba (ب), titik dua di atas huruf ta (ت), atau titik tiga di atas huruf śa (ث). Mushaf standar itu dibaca oleh umat Islam selama 40 tahun.

Menurut Hasanuddin AF, mushaf Alquran tidak memiliki tanda baca pada masa pembukuan, disebabkan karena tanda baca aksara Arab (baris diakritikal dan titik huruf) belum dikenal pada saat itu. Meski demikian, para sahabat dan kaum muslimin pada saat itu mampu membaca Alquran dengan benar berdasarkan instink mereka.

Tampaknya pendapat di atas kurang kuat argumennya, sebab menurut al-A’zami, tanda baca aksara bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa Arab, tetapi sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Dari hasil penelitiannya, ditemukan salah satu batu nisan Raqūsy (w. 267 M), salah satu inskripsi Arab tertua yang memiliki tanda titik (nuqat) di atas huruf żal (ذ) dan syin (ش). Begitu pula ditemukan dua dokumen di atas kertas papyrus yang ditulis pada tahun 22 H (masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab) yang menggunakan tanda titik di atas huruf nun (ن), kha (خ), syin (ش), dan zai (ز).

Diduga kuat bahwa faktor utama Zaid ibn Śābit dan kawan-kawan tidak memberikan tanda baca pada mushaf ‘uśmāniy, bertujuan untuk mengakomodir semua versi qirā’ah yang mendapat pengakuan dari Rasulullah saw. Sekiranya mushaf itu diberi tanda baca berdasarkan versi qirā’ah tertentu, maka dipastikan akan menimbulkan protes dari sahabat-sahabat Nabi yang lain yang berbeda dengan versi qirā’ah-nya. Dengan demikian, lahirnya mushaf ‘uśmāniy tidak bertujuan sebagai unifikasi qirā’ah, tetapi hanya sebagai unifikasi mushaf.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika satu persatu dari sahabat Nabi telah meninggal dunia, ditambah lagi dengan meluasnya kekuasaan Islam ke beberapa wilayah non-Arab, maka dirasakan betapa pentingnya pemberian tanda baca terhadap mushaf ‘uśmāniy agar umat Islam mudah membaca dan mempelajarinya dengan baik dan benar. Namun, lagi-lagi pemberian tanda baca itu tidak dimaksudkan sebagai unifikasi qirā’ah.

Ketika Abū al-Aswad berhasil menciptakan nuqat al-i‘rāb sesuai dengan versi qirā’ah-nya sendiri (versi qirā’ah yang berkembang di Basrah), dan ketika berita itu tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam, maka penduduk kota lain juga melakukan hal yang sama sesuai dengan versi qirā’ah yang mereka miliki.

Peristiwa serupa juga terjadi setelah usai pemberian nuqat al-i‘jām oleh Nasr ibn ‘Āsim dan Yahyā ibn Ya’mar berdasarkan versi qirā’ah yang berkembang di Basrah. Pada saat itu, al-Hajjāj ibn Yūsuf, atas persetujuan dari Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwān, menginstruksikan kepada seluruh kaum muslimin yang ada di kota lain agar memberi nuqat al-i‘jām pada mushaf mereka sesuai dengan versi qirā’ah yang mereka amalkan.

Setelah dua abad lebih umat Islam diberi kelonggaran membaca Alquran sesuai dengan versi qira’ah yang mereka inginkan, maka tak pelak lagi, muncul beraneka ragam qirā’ah, yang sebagian di antaranya sulit dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurut penelitian Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām (w. 244 H), sebagaimana dikutip oleh Ibrāhīm al-Ibyāriy, ia menemukan kurang lebih dari 25 versi qirā’ah yang berkembang pada zamannya.

Untuk mengatasi perkembangan versi qirā’ah yang kacau tersebut, maka para ulama menetapkan kriteria kesahihan sebuah qirā’ah, yaitu: (1) sesuai dengan kaidah bahasa Arab meski hanya satu segi, (2) sesuai dengan mushaf al-imām meski hanya perkiraan, dan (3) sanadnya sahih. Jika ada qirā’ah yang tidak memenuhi salah satu dari kriteria tersebut, maka qirā’ah itu harus ditolak.

Dengan mengacu pada kriteria di atas, maka para ulama menetapkan beberapa tokoh yang dapat dipertanggungjawabkan qirā’ah-nya. Ibn Mujāhid, misalnya menetapkan tujuh qurrā’, yaitu: (1) Nāfi’ ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Abiy Nu’aim (w. 169 H) di Madinah, (2) ‘Abdullāh ibn Kaśīr (w. 120 H) di Mekah, (3) Abū Bakr ‘Āsim ibn Abiy al-Nujūd (w. 128 H) di Kufah, (4) Hamzah ibn Habīb al-Zayyāt (w. 156 H) di Kufah, (5) ‘Aliy ibn Hamzah al-Kisā’iy (w. 189 H) di Kufah, (6) Abū ‘Amr ibn al-‘Alā (w. 254 H) di Basrah, dan (7) Abdullāh ibn ‘Āmir al-Yahsibiy (w. 118 H) di Syam. Selanjutnya dikembangkan oleh Ibn al-Jazariy menjadi sepuluh qurrā’ dengan menambah tiga dari tujuh qurrā’ tersebut: (8) Abiy Ja’far, (9) Ya’qūb, dan (10) Khalaf.

Memasuki abad XV H (XX M), perkembangan qirā’ah Alquran tidak segencar dengan abad-abad sebelumnya, terutama setelah diterbitkannya cetakan mushaf Alquran edisi Mesir yang diprakarsai oleh Raja Fu’ād. Edisi cetakan ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1344 H (1925 M) dengan menggunakan tanda baca sesuai versi qirā’ah Hafas (w. 180 H) seperi yang diriwayatkan dari ‘Āsim (w. 128 H). Edisi mushaf inilah yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk di Indonesia. Diduga kuat, pemilihan versi qirā’ah ini didasarkan pada argumen bahwa qirā’ah ‘Āsim lebih mendekati dengan dialek Quraisy, sebab rentetan riwayat qirā’ah-nya berujung pada ‘Uśmān ibn ‘Affān dan Zaid ibn Śābit. Selain itu, ‘Āsim juga dikenal sebagai ahli hadis dan ahli tajwīd yang sangat fasih membaca Alquran.

Meski demikian, tidak berarti bahwa mushaf Alquran edisi Mesir tersebut dimaksudkan sebagai mushaf unifikasi qirā’ah. Kaum muslimin tetap diberi kelonggaran mengamalkan versi qirā’ah lain yang telah memenuhi kriteria sebagai qirā’at sahīh, baik yang termasuk qirā’ah sab’ah, qirā’ah ‘asyar, maupun qirā’ah lain yang dapat dipertanggungjawabkan sumbernya.