Bahasa Komunikasi dalam Al-Qur’an

Salah satu di antara term yang digunakan Alquran dalam mengungkap bahasa komunikasi adalah al-qaul. Dalam penyampaian informasi yang baik, Alquran menunjuk enam model bahasa, yaitu: qaulan sadīdā, qaulan balīgā, qaulan ma³sūrā, qaulan layyinā, qaulan karīmā, dan qaulan ma’rūfā.

Kata sadīdā berarti “yang betul, yang teguh”. Jadi, qaulan sadīdā dapat diartikan dengan bahasa yang benar dan tegas. Dalam Alquran, perintah menggunakan qaulan sadīdā disebut dua kali, yaitu QS al-Nisā’/4: 9 dan QS al-Ahzāb/33: 70. Jika kedua ayat tersebut dianalisis lebih jauh, akan ditemukan bahwa penggunaan qaulan sadīdā selalu didahului dengan perintah bertakwa kepada Allah. Selain itu, pada ayat pertama perkataan tersebut didahului dengan perlunya memikirkan kesejahteraan keturunan di belakang hari; dan pada ayat kedua, diikuti dengan janji Allah yang akan membaikkan amal, mengampuni dosa, dan memberikan keberuntungan yang besar bagi orang yang berbuat taat (QS al-Ahzāb/33: 71). Dari sini dapat dipetik dua hal: (1) qaulan sadīdā adalah ciri khas dari bahasa orang yang bertakwa; (2) penggunaan qaulan sadīdā selalu berkenaan dengan materi, dalam arti penyelesaian masalah tersebut harus diucapkan dengan bahasa yang tegas, adil, dan tidak berat sebelah.

Kata balīgā berarti “yang fasih berkata-kata, petah lidah”. Jadi, qaulan balīgā adalah perkataan yang fasih dan efektif. Dalam Alquran, perintah menggunakan qaulan balīgā ditegaskan dalam QS al-Nisā’/4: 63). Dalam konteks ayat ini, perintah menggunakan bahasa yang fasih ditujukan kepada orang-orang munafik. Dengan demikian, qaulan balīgā adalah bahasa yang harus digunakan dalam berdialog dengan orang-orang munafik.

Kata maisūrā berarti “yang mudah, gampang”. Jadi, qaulan maisūrā adalah bahasa yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit, dan tepat pada sasaran. Ayat yang memerintahkan menggunakan qaulan maisūrā adalah QS al-Isrā’/17: 28. Ayat sebelumnya membicarakan tentang perlunya membantu kerabat dekat yang kesulitan, orang-orang miskin dan ibn al-sabīl. Kemudian pada ayat ini, ditegaskan bahwa jika kamu tidak mampu membantu mereka, maka berdalihlah dengan bahasa yang baik dan tidak berbelit-belit, supaya mereka tidak kecewa. Dengan demikian, qaulan maisūrā adalah bahasa yang tepat digunakan untuk menolak pengemis atau peminta sumbangan yang secara kebetulan tidak dapat dipenuhi permintaannya.

Kata layyinā berarti “yang lembut, senang diajar”. Jadi, qaulan layyinā adalah bahasa yang lembut dan halus. Ayat yang menunjukkan penggunaan bahasa tersebut adalah QS Tāhā/20: 44. Ayat ini menjelaskan kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang diperintahkan oleh Allah untuk meluruskan kelaliman Fir’aun dengan bahasa yang lembut. Dengan demikian, qaulan layyinā adalah bahasa yang tepat digunakan untuk berdialog dengan penguasa yang lalim (melampaui batas).

Kata karīmā berarti “yang mulia, yang dihormati”. Jika kata itu dihubungkan dengan kata qaulan sehingga menjadi qaulan karīmā, maka ia berarti “perkataan yang mudah lagi disukai”. Ayat yang memerintahkan penggunaan bahasa ini adalah QS al-Isrā’/17: 23. Ayat ini berkenaan dengan perintah berbuat baik dan larangan berkata-kata yang tidak pantas kepada kedua orang tua. Dengan demikian, qaulan karīmā adalah bahasa yang harus digunakan dalam berdialog dengan kedua orang tua.

Kata ma’rūfā berarti “yang dikenal, yang masyhur, kebajikan”. Jadi, qaulan ma’rūfā adalah bahasa yang baik sesuai yang dipahami audiens. Perintah menggunakan bahasa tersebut ditemukan dalam QS al-Nisā’/4: 5. Tema ayat ini berkenaan dengan pemeliharaan harta anak yatim yang masih dalam pengampuan (belum sempurna akalnya). Dengan demikian, qaulan ma’rūfā adalah bahasa yang tepat digunakan dalam berdialog dengan anak yatim yang masih di bawah perwalian, terutama dalam memberikan informasi mengenai harta benda mereka.

Strategi Dakwah dalam Alquran

Dakwah menurut bahasa “berarti mengajak, menyeru atau memanggil”. Adapun menurut istilah, dakwah adalah “mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar menurut perintah Allah, demi kebahagiaan dan kemaslahatan mereka di dunia dan di akhirat”. Dari sini dapat dipahami bahwa dakwah tidak hanya dikhususkan kepada umat Islam, tetapi kepada seluruh umat manusia. Dari segi manapun dakwah itu diarahkan, maka tujuan sentralnya adalah menginginkan perubahan pada diri setiap individu atau kelompok masyarakat sehingga mereka hidup bahagia di dunia maupun di akhirat.

Berbicara tentang strategi yang dapat ditempuh dalam menyampaikan dakwah, ada baiknya diperhatikan QS.al-Nahl/16: 125. Dalam ayat ini ditemukan tiga strategi dakwah yang baik, yaitu: al-hikmah, al-mau’izah al-hasanah, wa jādilhum bi al-latiy hiya ahsan. Untuk memahami makna ketiga metode tersebut, berikut ini akan diuraikan secara terinci.

Kata al-hikmah menurut bahasa berarti “mengetahui yang benar, kata-kata hikmah”. Jika dikaitkan dengan konteks ayat, maka menyampaikan dakwah secara hikmah ialah terlebih dahulu mengetahui tujuan dan mengenal secara benar orang atau masyarakat yang menjadi sasaran. Seorang juru dakwah harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam, misalnya, memperhatikan situasi dan kondisi audiens, tempat dakwah akan disampaikan, dan sebagainya. Metode ini disebut pula dengan metode yang realistis-praktis. Maksudnya, juru dakwah harus memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosiologis. Karenanya, dakwah di perkotaan harus dibedakan dengan dakwah di daerah pinggiran dan pedesaan. Untuk daerah perkotaan, dakwah harus didukung oleh uraian-uraian ilmiah dan logis serta menyentuh hati dan menyejukkannya. Sebaliknya, dakwah di pedesaan dan daerah pinggiran lebih menekankan pada segi-segi ibadah ritual yang dibarengi dengan dakwah bi al-hāl.

Kata al-mau’izah secara bahasa berarti “pengajaran atau nasehat”. Jadi, al-mau’izah al-hasanah adalah pengajaran atau nasehat yang baik. Jika dikaitkan dengan konteks ayat, maka frase qur’ani tersebut menunjukkan cara berdakwah yang disenangi, mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakannya, memudahkan dan tidak menyulitkan. Seorang juru dakwah harus bersifat penuh kelembutan, tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan audiensnya. Kelemahan dan kelembutan dalam menasehati, terkadang mampu meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Dengan demikian, juru dakwah harus memberi kepuasan jiwa individu atau masyarakat yang menjadi sasarannya dengan cara yang baik, seperti memberi nasehat, pengajaran, atau teladan yang baik, agar audiens bisa menerimanya dengan baik.

Kata al-mujādalah berarti “berbantah, berdebat”. Jadi wa jādilhum bi al-latiy hiya ahsan, berarti melakukan dialog atau bertukar pikiran dengan cara yang terbaik, sesuai dengan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Di antara tugas para juru dakwah ialah memasukkan orang-orang pembangkang ke dalam sasaran dakwah, mendekatkan mereka untuk mengikuti akidah yang benar, meluruskan pikiran dan keimanan mereka, bukan membuatnya putus asa, mengalahkan, atau membunuh mereka. Metode debat seperti itu, merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang diharapkan. Apabila metode debat yang bijaksana itu menemui kegagalan, maka selanjutnya harus dilakukan metodologi baru yang bisa mengesankan obyek dakwah bahwa umat Islam adalah teman akrabnya dalam mencari kebenaran. Dengan begitu, akan tercipta kehidupan bersama dalam pergumulan intelektual dengan penuh keakraban, kenyamanan, dan harmoni. Pada saat demikian, gengsi pribadi tidak akan menjadi kendala dalam rangka menemukan jalan menuju kebenaran.
 
Konsep Khātam al-Nabiyyīn dalam Alquran

Umat Islam meyakini bahwa Muhammad saw. adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Keyakinan seperti itu muncul karena berdasar pada pemahaman mereka terhadap QS al-Ahzāb/33/90: 40. Ayat ini terdiri atas tiga klausa. Klausa pertama menjelaskan bahwa Muhammad bukan bapak kandung seseorang, Zaid ibn Hāriśah, yang beliau angkat sebagai anak. Klausa kedua menjelaskan bahwa Muhammad rasul Allah dan penutup para nabi. Sedangkan klausa ketiga menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, inklusif makna yang terkandung dalam klausa pertama dan kedua.

Yang relevan dengan pembahasan ini adalah klausa kedua, dengan penekanan pada makna frasa khātam al-nabiyyīn. Sebelum menguraikan frasa tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan makna khātam sebagai kata kuncinya.

Kata khātam berakar pada huruf kha, ta, dan mim, yang menurut Ibn Fāris menunjukkan makna asal “mencapai titik akhir sesuatu”. Menurut Zain al-Dīn al-Rāziy, kata khatam memiliki beberapa arti, yaitu: (1) menutup, seperti menutup pintu, (2) mencapai batas akhir, seperti khatam Alquran, dan (3) penutup, seperti penutup nabi-nabi. Sementara itu, Ibrāhīm Mustafā (dkk.) lebih memperluas lagi makna khatam, yaitu: (1) menutup, seperti menutup makanan agar tidak dimasuki sesuatu, menutup mulut agar tidak berbicara, atau menutup hati agar tidak memahami sesuatu; (2) cap atau stempel, seperti stempel buku; (3) tamat atau mencapai batas akhirnya dan beralih ke yang lain, seperti khatam Alquran; serta (4) cincin atau perhiasan yang dipakai di jari tangan. Jika makna-makna tersebut dihubungkan satu sama lain, maka dapat dirumuskan beberapa konsep. Pertama, sebuah acara yang sudah ditutup, menunjukkan bahwa acara itu sudah dianggap berakhir dan akan ditinggalkan, kemudian beralih ke acara yang lain. Kedua, seseorang yang membaca Alquran hingga tamat, menunjukkan bahwa orang itu sudah mengakhiri bacaannya. Ketiga, seseorang yang sudah mengakhiri suatu jenjang pendidikan, maka orang itu akan mendapatkan ijazah yang dibubuhi dengan stempel pengakuan. Keempat, seorang wanita yang sudah diberi cincin tunangan oleh seorang lelaki, menunjukkan bahwa wanita tersebut sudah tertutup bagi laki-laki lain.

Kata khatam dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak delapan kali dalam Alquran, yang keseluruhannya bermakna menutup atau mengunci. Misalnya QS al-Baqarah/2/87: 7 yang berkonotasi mengunci hati, pendengaran, dan penglihatan di dunia, atau QS Yasin: 65 yang berkonotasi menutup mulut di akhirat. Dari sini dapat dipahami bahwa Alquran tidak menggunakan pemaknaan kata khatam di luar dari makna menutup, sehingga frasa khātam al-nabiyyīn tidak keluar dari konteks makna itu.

Al-Bagawiy mengatakan bahwa frasa خاتم النبيين diperselisihkan bacaannya oleh ulama qirā’ah. ‘Āsim al-Asadiy membaca huruf ta pada kata خاتم dengan fathah yang berkedudukan sebagai isim (kata benda), sedangkan ulama qirā’ah lainnya membaca dengan kasrah yang berkedudukan sebagai fā’il (pelaku). Sementara itu, Abū al-Su’ūd menyebutkan bahwa Ibn Mas’ūd memiliki versi bacaan tersendiri mengenai frasa ini, yaitu: ولكنْ نبياً ختَم النبيِّين. Perbedaan versi bacaan ini tidak menimbulkan perbedaan makna, sebab masing-masing bacaan menunjuk pada makna bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul.

Al-Biqā’iy menggunakan pendekatan historis dalam menafsirkan frasa khātam al-nabiyyīn. Menurutnya, sudah menjadi ketentuan Allah bahwa para nabi-nabi terdahulu, jika ia wafat dan memiliki anak laki-laki yang sudah dewasa, maka anaknya tersebut diberi kedudukan tertinggi dan terhormat oleh Allah dengan mengangkatnya pula sebagai nabi. Oleh karena Muhammad saw. sudah ditetapkan sebagai nabi terakhir, maka putranya yang bernama Ibrāhīm meninggal terlebih dahulu sebelum Muhammad saw. wafat.

Pendapat al-Biqā’iy di atas, dikuatkan oleh beberapa hadis. Misalnya, al-Bukhāriy meriwayatkan bahwa, Ismā’īl bertanya kepada Ibn Abiy Aufā: “Apakah kamu pernah melihat Ibrāhīm ibn Muhammad saw.”? Ibn Abiy Aufā menjawab: “Ia meninggal ketika masih kecil. Sekiranya Allah menetapkan ada nabi setelah Muhammad saw., maka anak beliau tidak meninggal, namun tidak ada lagi sesudah beliau”. Selain itu, ditemukan pula riwayat Ibn Mājah dari Ibn ‘Abbās yang mengatakan bahwa: Ketika Ibrāhīm ibn Muhammad saw. meninggal, setelah beliau menyalatinya, beliau bersabda: “Sesungguhnya ia akan mendapatkan ibu yang menyusuinya di surga. Sekiranya ia tetap hidup, maka ia akan benar-benar menjadi nabi”.

Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep khātam al-nabiyyīn menunjukkan bahwa Muhammad saw. adalah nabi terakhir yang diutus oleh Allah ke atas bumi ini, sekaligus berfungsi sebagai nabi penutup. Oleh karena itu, jika ada orang yang datang sesudahnya mengaku sebagai nabi, maka pengakuannya itu tidak dapat diterima.

Sikap protes yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia dalam menanggapi munculnya fenomena kenabian, merupakan suatu hal yang wajar. Di satu sisi, sikap tersebut dapat dibenarkan karena bertujuan untuk mempertahankan keyakinan mereka tentang konsep khātam al-nabiyyīn. Hanya saja, sikap kekerasan dan tindakan menghakimi sendiri, di sisi lain tidak dapat dibenarkan, sebab tugas menghakimi orang yang mengaku nabi itu harus berdasar pada kebijakan politik.

Kebijakan pemerintah Indonesia dalam menanggapi fenomena kenabian, dapat dipandang tepat, sebab sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sebelum Lia Eden dan Ahmad Moshadeq dijebloskan ke dalam penjara, terlebih dahulu diperiksa melalui sidang pengadilan. Demikian pula, sebelum dikeluarkan SKB 3 Menteri tentang pembekuan ajaran Ahmadiyah, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan terhadap ajaran dan perilaku pengikut aliran tersebut.
 
Konsep Dasar Teori Ekonomi dalam Alquran

Semua umat Islam sepakat bahwa Alquran bukan buku filsafat atau ensiklopedi ilmu pengetahuan, bahkan lebih tepat disebut sebagai kitab suci yang berfungsi sebagai hudan li al-muttaqīn (QS al-Baqarah/2/87: 2) dan hudan li al-nās (QS al-Baqarah/2/87/: 185). Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa muatan petunjuk-petunjuk Alquran banyak yang berkenaan dengan konsep filsafat dan teori ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu ekonomi. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap ayat-ayat Alquran yang terkait dengan konsep ekonomi, diperlukan pendekatan multi disipliner, terutama pendekatan linguistik, historis, teleologis, dan sosiologis.

Jika diamati kajian-kajian teori ekonomi umum, baik mikro maupun makro, pada umumnya ditemukan kajian ekonomi murni. Berbeda dengan konsep ekonomi yang terdapat Alquran, petunjuk ayat-ayatnya tidak terlepas dari persoalan moral, sosial, dan hukum. Artinya, di satu sisi Alquran memerintahkan manusia memperhatikan urusan ekonominya, tetapi di sisi lain persoalan ekonomi tersebut sarat dengan muatan etika yang selalu bersinggungan dengan hak-hak sosial. Ketika persoalan etika ekonomi diabaikan, maka Alquran mengancam pelaku ekonomi itu dengan dosa dan siksaan di neraka.

Ekonomi adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Alquran menggunakan berbagai term yang berkenaan dengan esensi ekonomi, di antaranya adalah kata amwāl, rizq, dan nasīb. Kata pertama tertuju kepada makna secara umum dari harta yang dimiliki manusia, misalnya QS al-Taubah/9/113: 34. Kata kedua pada umumnya tertuju kepada sumber daya alam yang disiapkan oleh Allah untuk kepentingan pemenuhan hajat dan kebutuhan manusia yang dimanfaatkan untuk dirinya sendiri, misalnya QS Ibrāhīm/14/72: 32 dan QS al-Hajj/22/103: 28. Adapun kata terakhir lebih menekankan pada perolehan harta sebagai hak seseorang, baik melalui hasil usaha maupun hak lain seperti warisan (QS al-Nisā’/4/92: 7).

Dalam upaya meningkatkan produksi yang maksimal, Alquran menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam yang sudah disiapkan oleh Allah dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang maksimal (QS al-Baqarah/2/87: 164). Dalam kegiatan distribusi, Alquran menetapkan prinsip keseimbangan peredaran harta serta melarang bentuk monopoli perdagangan dan penimbunan harta yang bisa merusak kestabilan ekonomi (QS al-Hasyr/59/101: 7). Dalam kegiatan konsumsi, Alquran melarang sikap boros, royal, dan pamer, sebab dapat menciptakan kecemburuan sosial, terutama bagi pihak-pihak yang mempunyai hak-hak sosial ekonomi (QS al-Isrā’/17/50: 26-27 dan QS al-A’rāf/7/39: 31).

Tujuan akhir kegiatan ekonomi adalah untuk memuaskan kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa. Jika dilihat dari segi motivasinya, maka ada tiga hal yang mendorong umat Islam untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, yaitu untuk menyambung hidup (QS al-Kahf/18/69: 7), untuk mendapatkan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (QS al-Qasas/28/49: 77), serta bekerja merupakan ibadah (QS al-Baqarah/2/87: 62).

Konsep Dasar Teori Hukum dalam Alquran

Jika para pakar hukum tidak bisa sepakat dalam merumuskan definisi hukum yang seragam, maka hal itu disebabkan oleh luasnya jangkauan hukum yang tidak hanya terbatas dalam kehidupan masyarakat, tetapi menjangkau seluruh fenomena alam, bahkan jangkauannya menembus kepada kehidupan di akhirat. Selain itu, dalam merumuskan definisi hukum, para pakar hukum memiliki latar belakang pemikiran dan kehidupan sosial yang berbeda, sehingga sangat wajar jika hasil rumusannya pun berbeda pula. Oleh karena itu, untuk mencapai kesepakatan dalam merumuskan definisi hukum, sudah saatnya para pakar hukum dewasa ini memperhatikan ayat-ayat Alquran dalam pengkajian mereka. Dengan begitu, diharapkan lahir definisi hukum yang betul-betul sesuai dengan konteks kehidupan kontemporer.

Hukum-hukum yang dibawa oleh Alquran tidak membatalkan hukum-hukum yang terdapat dalam kitab suci sebelumnya, tetapi hanya meluruskan penyelewengan penafsiran para penganutnya. Selain itu, Alquran juga tidak membantah eksistensi hukum lain yang berlaku dalam masyarakat, asal saja materi hukum itu tidak menyalahi tuntunan ayat-ayatnya.

Hakikat al-hukm yang dapat dipahami dari ayat-ayat Alquran adalah dalam arti konotatif perbuatan dan sifat. Sebagai perbuatan, al-hukm bermakna membuat atau menjalankan keputusan (QS Yūsuf/12: 40 dan QS al-An’ām/6: 114). Adapun sebagai sifat, kata al-hukm menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan (QS al-Mā’idah/5: 50), yaitu keputusan atau peraturan seperti yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata hukum.

Wajud al-hukm dalam Alquran, dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, pembuat dan pemilik hukum yang sesungguhnya adalah Allah swt (QS al-An’ām/6: 57). Kedua, kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran adalah berfungsi sebagai peraturan yang harus ditegakkan dalam kehidupan masyarakat (QS al-Baqarah/2: 213). Ketiga, yang bertindak untuk menerapkan peraturan yang terdapat kitab-kitab suci tersebut dalam kehidupan masyarakat adalah para nabi/rasul dan para hakim (QS al-An’ām/6: 89 dan QS al-Baqarah/2: 188). Jika ada perkara yang tidak mampu diselesaikan oleh penegak keadilan di atas dunia ini, maka Allah akan mengadilinya di hari kemudian (QS al-Zumar/39: 3).

Pada prinsipnya, di atas dunia ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum-hukum yang diturunkan Allah dan hukum-hukum buatan manusia. Untuk menerapkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan masyarakat, diperlukan ketahanan mental dan keteguhan hati. Jika ada oknum yang tidak menerapkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, maka ia termasuk dalam salah satu dari tiga alternatif konsekuensi, yaitu kafir (QS al-Mā’idah/5: 44), zālim (QS al-Mā’idah/5: 45), atau fasik (QS al-Mā’idah/5: 47).

Jika dianalisis secara mendalam tentang berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia, dapat dikatakan bahwa sebagian besar di antaranya sudah sejalan dengan tuntunan Alquran, terkecuali beberapa hal yang berkenaan dengan hukum pidana. Di sinilah diperlukan peranan para pakar hukum Islam untuk mewarnai semua produk hukum yang bakal ditetapkan berlakunya di Indonesia pada masa mendatang.

Dalam hubungannya dengan para anggota legislatif sebagai perumus dan pembuat undang-undang di Indonesia, secara umum mereka (yang beragama Islam) tetap mengakui dan tidak menolak eksistensi hukum-hukum Allah dalam Alquran. Sekiranya ada muatan undang-undang yang telah dirumuskannya bertentangan dengan tuntunan Alquran, maka hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat atau untuk menjaga kerukunan nasional. Oleh karena itu, mereka tidak termasuk dalam katagori orang-orang kafir atau fasik, tetapi paling tidak, mereka hanya tergolong sebagai orang-orang zālim.