Strategi Dakwah Dalam Al-Qur’an

Dakwah menurut bahasa “berarti mengajak, menyeru atau memanggil”. Adapun menurut istilah, dakwah adalah “mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar menurut perintah Allah, demi kebahagiaan dan kemaslahatan mereka di dunia dan di akhirat”. Dari sini dapat dipahami bahwa dakwah tidak hanya dikhususkan kepada umat Islam, tetapi kepada seluruh umat manusia. Dari segi manapun dakwah itu diarahkan, maka tujuan sentralnya adalah menginginkan perubahan pada diri setiap individu atau kelompok masyarakat sehingga mereka hidup bahagia di dunia maupun di akhirat.

Berbicara tentang strategi yang dapat ditempuh dalam menyampaikan dakwah, ada baiknya diperhatikan QS.al-Nahl/16: 125. Dalam ayat ini ditemukan tiga strategi dakwah yang baik, yaitu: al-hikmah, al-mau’izah al-hasanah, wa jādilhum bi al-latiy hiya ahsan. Untuk memahami makna ketiga metode tersebut, berikut ini akan diuraikan secara terinci.

Kata al-hikmah menurut bahasa berarti “mengetahui yang benar, kata-kata hikmah”. Jika dikaitkan dengan konteks ayat, maka menyampaikan dakwah secara hikmah ialah terlebih dahulu mengetahui tujuan dan mengenal secara benar orang atau masyarakat yang menjadi sasaran. Seorang juru dakwah harus menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan sikap masyarakat terhadap agama Islam, misalnya, memperhatikan situasi dan kondisi audiens, tempat dakwah akan disampaikan, dan sebagainya. Metode ini disebut pula dengan metode yang realistis-praktis. Maksudnya, juru dakwah harus memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosiologis. Karenanya, dakwah di perkotaan harus dibedakan dengan dakwah di daerah pinggiran dan pedesaan. Untuk daerah perkotaan, dakwah harus didukung oleh uraian-uraian ilmiah dan logis serta menyentuh hati dan menyejukkannya. Sebaliknya, dakwah di pedesaan dan daerah pinggiran lebih menekankan pada segi-segi ibadah ritual yang dibarengi dengan dakwah bi al-hāl.

Kata al-mau’izah secara bahasa berarti “pengajaran atau nasehat”. Jadi, al-mau’izah al-hasanah adalah pengajaran atau nasehat yang baik. Jika dikaitkan dengan konteks ayat, maka frase qur’ani tersebut menunjukkan cara berdakwah yang disenangi, mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakannya, memudahkan dan tidak menyulitkan. Seorang juru dakwah harus bersifat penuh kelembutan, tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan audiensnya. Kelemahan dan kelembutan dalam menasehati, terkadang mampu meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Dengan demikian, juru dakwah harus memberi kepuasan jiwa individu atau masyarakat yang menjadi sasarannya dengan cara yang baik, seperti memberi nasehat, pengajaran, atau teladan yang baik, agar audiens bisa menerimanya dengan baik.

Kata al-mujādalah berarti “berbantah, berdebat”. Jadi wa jādilhum bi al-latiy hiya ahsan, berarti melakukan dialog atau bertukar pikiran dengan cara yang terbaik, sesuai dengan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Di antara tugas para juru dakwah ialah memasukkan orang-orang pembangkang ke dalam sasaran dakwah, mendekatkan mereka untuk mengikuti akidah yang benar, meluruskan pikiran dan keimanan mereka, bukan membuatnya putus asa, mengalahkan, atau membunuh mereka. Metode debat seperti itu, merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang diharapkan. Apabila metode debat yang bijaksana itu menemui kegagalan, maka selanjutnya harus dilakukan metodologi baru yang bisa mengesankan obyek dakwah bahwa umat Islam adalah teman akrabnya dalam mencari kebenaran. Dengan begitu, akan tercipta kehidupan bersama dalam pergumulan intelektual dengan penuh keakraban, kenyamanan, dan harmoni. Pada saat demikian, gengsi pribadi tidak akan menjadi kendala dalam rangka menemukan jalan menuju kebenaran.

http://ariyamin01.blogdetik.com/tag/al-mauizah-al-hasanah/