Konsep Politik dalam Kisah Żū al-Qarnain

Kisah Żū al-Qarnain termuat dalam QS al-Kahfi/18: 83-98. Uraian kisahnya menggambarkan bahwa tokoh yang bernama Żū al-Qarnain memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, yang terbentang dari Barat sampai ke Timur. Dalam menjalankan kekuasaannya, ia dicintai oleh rakyatnya karena kemampuannya dalam berlaku adil dan bijaksana. Salah satu dari keberhasilannya dalam mengambil simpati rakyatnya ialah membangun sebuah benteng yang kokoh untuk melindungi mereka dari ancaman kerusakan Ya’jūj dan Ma’jūj.

Telaah menyangkut konsep politik yang terdapat dalam kisah Żū al-Qarnain, kajiannya bertitik tolak dari term tamkīn. Term ini berakar pada huruf makana, yang berarti tempat. Karena ia memiliki tempat, maka ia menjadi mempunyai kedudukan. Perubahan kata makana dari isim menjadi fi’il mādiy, dalam ayat yang dikaji ini, terulang sebanyak dua kali, yaitu makkannā (Kami memberi kekuasaan) dan makkanniy (yang telah dikuasakan kepadaku). Kedua kata yang disebut terakhir ini, menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh Żū al-Qarnain, tidak terlepas dari pemberian Allah.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penguasa, Żū al-Qarnain memperoleh kesuksesan yang besar. Kesuksesan itu diperolehnya, karena menggunakan berbagai strategi, antara lain:

Pertama, sebagai orang yang beriman, Żū al-Qarnain mengakui kekuasaan Allah yang diberikan kepadanya. Ia menyadari bahwa satu-satunya pelaku yang sebenarnya dari semua yang terjadi di alam ini adalah Allah. Allah-lah yang menetapkan suatu kejadian dan menghendaki-Nya, sedangkan usaha manusia hanya sebagai sebab luar. Sikap Żū al-Qarnain ini tergambar pada sikapnya yang meminta petunjuk kepada Allah sebelum menghukum para pembangkang dalam wilayah yang ditaklukkannya. Dengan keimanan yang mantap dalam dadanya, menyebabkan Żū al-Qarnain memiliki akhlak yang terpuji. Dalam menaklukkan wilayah demi wilayah, ia tidak berlaku beringas, tetapi justeru memperlakukan semua masyarakatnya dengan bijaksana dan penuh kasih sayang.

Kedua, dalam melaksanakan misinya, Żū al-Qarnain memanfaatkan semua potensi dan fasilitas yang diberikan oleh Allah. Hal ini tergambar dalam ayat: وآتيناه من كل شيئ سببا. Kemudian diikuti denganاتبع سببا sebanyak tiga kali pada ayat berikutnya. Term sabab dalam ayat-ayat tersebut, selain sebagai cara yang ditempuh untuk mewujudkan tamkīn, juga merupakan tanda-tanda eksternal dari tamkīn. Menurut al-Alūsiy, Żū al-Qarnain menggunakan ilmu, kekuatan, dan semua sarana yang ada untuk mencapai cita-citanya. Hal itu dilakukannya, baik ketika menaklukkan wilayah Barat maupun wilayah Timur. Fasilitas dan potensi yang dimanfaatkan Żū al-Qarnain tersebut, meliputi perekonomian, politik, kemiliteran, peperangan, industri, maupun peradaban.

Ketiga, Salah satu ciri khas kepemimpinan Żū al-Qarnain adalah kemampuannya berlaku adil terhadap semua kelompok masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Selama memegang tampuk kekuasaan, Żū al-Qarnain memanfaatkan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan kebajikan, membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Keadilan yang ditegakkan itu, tergambar ketika Allah menyerahkan pilihan kepadanya, dalam memperlakukan negeri-negeri yang dikuasai dan kaum yang dikalahkannya. Dalam kondisi seperti itu, Żū al-Qarnain tidak berbuat lalim, aniaya, dan memaksa. Akan tetapi, ia menerapkan undang-undang dan peraturan yang adil dan bijaksana. Undang-undang yang diterapkan Żū al-Qarnain ini merupakan bukti keimanan, ketakwaan, kecerdasan, keadilan, kepatuhan, dan kasih sayangnya. Masyarakat yang ditaklukkan dalam wilayah yang dikuasainya, memiliki status sosial dan sifat yang berbeda.Oleh karena di antara masyarakat yang dikuasainya itu berbeda watak dan kepercayaan, yakni mukmin dan kafir, maka Żū al-Qarnain menerapkan hukum yang berbeda. Bagi orang-orang kafir, ia menjatuhkan hukuman yang berat, meski masih berada dalam koridor keadilan. Sedangkan bagi orang-orang mukmin dan patuh, ia melindungi serta memperlakukannya dengan baik dan penuh kasih sayang.

Kisah Żū al-Qarnain memberikan konsep dasar dan metode praktis kepada semua pemimpin dan penguasa untuk memperbaiki etos kerja, menunaikan tugas fungsional, dan administratif. Konsep ini biasa disebut dengan al-hawāfiz wa al-zawājir, atau dengan kata lain pemberian balasan dan hukuman. Bagi pegawai atau karyawan yang melakukan pekerjaannya dengan buruk, ia harus dihukum, karena ia telah memilih kebatilan. Pegawai atau karyawan seperti ini boleh dikucilkan atau dimutasi ke posisi lain. Sebaliknya, bagi pegawai atau karyawan yang rajin dan baik, ia harus dihargai dan diberi imbalan yang memuaskan. Bahkan, ia dapat dimotivasi untuk menjadi teladan bagi yang lainnya.

Keempat, strategi politik lain yang dapat dipetik dari kisah Żū al-Qarnain adalah kemampuannya melindungi masyarakatnya yang sedang berada dalam kondisi mustad’afīn. Mereka adalah kaum terkebelakang yang tidak mengerti pembicaraan kaum yang lain. Dengan kelemahannya, mereka tidak mampu mempertahankan diri dari serangan kelompok perusuh, Ya’jūj dan Ma’jūj. Dalam keadaan demikian, mereka meminta kepada Żū al-Qarnain untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya. Mereka memohon untuk dibangunkan sebuah benteng, dengan janji untuk memberi upah sesuai yang diminta Żū al-Qarnain.

Dengan hati yang tulus, ikhlas, dan penuh kasih sayang, Żū al-Qarnain mengabulkan permohonan mereka, tanpa harus menerima upah. Ia hanya membutuhkan sarana yang diperlukan dan tenaga kerja yang bisa membantunya untuk membangun benteng tersebut. Ketika masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah itu bermaksud memberi upah sesuai permintaan Żū al-Qarnain, ia menolak dan berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik”. Sikap tersebut menunjukkan bahwa, seorang pemimpin wajib memelihara harta rakyatnya, berlaku bijak terhadap harta itu, dan tidak mengambil sedikit pun dari harta itu. Menurut Ibn al-‘Arabiy, sikap Żū al-Qarnain ini merupakan sebuah kaidah umum bagi seorang pemimpin dalam memperlakukan harta rakyatnya. Namun, bukan berarti bahwa penguasa tidak boleh sama sekali mengambil harta masyarakatnya. Dalam kondisi tertentu, harta itu dapat diambil, tetapi harus dengan cara transparan, bukan menipu, dan memanfaatkan harta itu sesuai dengan tujuannya.


Dikutip dari: http://ariyamin01.blogdetik.com/category/kisah-kisah-alquran/