PENTINGNYA DIALOG DALAM KELUARGA/ORGANISASI

Dalam sebuah buku “Menggagas Pendidikan Rakyat” yg diberi pengantar oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc. Ed dan Dadang S. Anshori sebagai Kompilator/Editor, saya membaca sebuah bahasan dengan judul “Dialog dan Potret Kebudayaan Kita” (Eros Djarot), dalam bahasan itu terdapat sebuah cuplikan illustrator seperti berikut:

Pada perayaan ulang tahun ke-17 seorang anak ditanya oleh bapaknya, “Mau hadiah apa untuk ulang tahunmu, Nak?”. Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, “Kali ini, saya minta hadiah dialog saja”. Mendengar jawaban sang anak, sang bapak terperanjat “Lho, ko dialog. Mbok ya sepatu, baju, atau apalah.”

Sang anak menjawab : Sepatu, Baju, dan yang lainnya sudah banyak pak, yang saya belum punya hanyalah dialog.” Dengan permintaan serius dari anaknya ini, membuat bapaknya menjadi bingung, dan menjawab dengan nada ketus “Minta ko yang aneh-aneh!.” Melihat bapaknya kebingungan, sang anak hanya bisa memandang wajah bapaknya dengan heran dan terkesima, dia tak habis pikir, mengapa permintaan yang baginya begitu sederhana telah membuat bapaknya tergagap-gagap. Sementara itu, sang bapak memandangi wajah anaknya dengan penuh tanya dalam hatinya, “Dialog? Dimana harus membelinya?”…


Dari illustrasi dialog di atas, hal tersebut seolah relevan dengan gambaran peristiwa tersendatnya budaya dialog yang selama ini sudah lama sekali terjadi di lingkungan kita ini. Sang anak (bawahan)yang merupakan simbol produk perkembangan zaman, dan sang bapak (pemimpin)yang mewakili sosok budaya dari kemandekan zaman, masing-masing berdiri di dua kutub nilai yang berbeda.Sulit bagi sang bapak (pimpinan) memahami bahasa sang anak (bawahan),sementara sang anak (bawahan) terlalu hafal dan jenuh dengan bahasa-bahasa sang bapak (pimpinan) yang berputar ditempat buku yang teramat teoritis dan terasa membosankan.

Karena peristiwa tersendatnya dialog inilah maka pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan. sebab tanpa dialog akan menumbuhkan bingkai pengalaman dan pandangan yang berbeda. Sehingga hal ini akan menyebabkan terbentangnya jarak waktu, pemikiran, dan budaya. Padahal kita semua berada di satu atap yang sama, yang bernama institusi, kantor atau rumah. Di lingkungan ini kita saling berpapasan, tetapi tidak pernah bisa bertemu. Di rumah ini kita saling merangkul, tetapi tak mampu menjamah. Dan di rumah ini pula kita saling berkata, tetapi tak bicara apa-apa. Sementara rumah (institusi) ini menjadi saksi, yang senantiasa selalu kita dimuliakannya sebagai legitimasi formal dari status kita sebagai orang tua.

Yang menjadi pertanyaan dalam hati saya adalah “Mengapa hal ini terjadi? Benarkah kita semua mengingikan terjadinya hal ini? Jawabannya pasti adalah “Tidak”, karena tak mungkin seorang pimpinan (kepala rumah tangga) membiarkan diri bawahannya (rekan kerjanya, anak-anaknya) berada dalam keterasingan dari jangkauan budayanya. Sementara kami selaku bawahan (rekan kerjanya/anaknya) tak mungkin pula membiarkan pimpinan sendirian terpenjara dalam kebekuan yang tak terjangkau oleh perasaan kita masing-masing.

Oleh karena itulah, saya berasumsi, apabila dalam sebuah organisasi terdapat mata rantai yang hilang dalam melakukan komunikasi dua arah, sebaiknya antar pihak duduk dalam satu meja dan mari melakukan dialog terbuka dari hati ke hati. Hanya dengan cara demikianlah, kita akan mampu menelusuri jejak demi jejak hilangnya mata rantai yang telah membuat hubungan komunikasi kita hampa dan mungkin malah akan terputus.

Tanpa duduk bersama satu meja untuk melakukan dialog, akan sulit mencari cara bagaimana menemukan sesuatu yang telah lama hilang ini. Bahkan lebih jauh lagi kemungkinan akan terjadi memunculkannya rasa saling curiga dan saling menuduh, mencari kambing hitam atas hilangnya mata rantai yang sebenarnya sesuatu yang kita cari itu berada tak jauh dari lingkungan kita sendiri,yaitu di hati kita.

Hilangnya budaya dialog, kemungkinan juga akan menyebabkan kita menjadi gagap bahasa dan kehilangan kata-kata dalam melakukan komunikasi sehari-hari. Sehingga kondisi ini akan melahirkan perasaan gamang dan ketidakpastian, yang selanjutnya menyuburkan perasaan keterasingan diantara kita. Dalam kondisi demikian, apabila dipaksakan untuk menjalin komunikasi, justru malah akan menciptakan kesalahpahaman. Dan celakanya, akibat kesalahpahaman ini akan menyebabkan seorang bapak (pimpinan) akan menyelesaikan kesalahpahaman ini dengan menggunakan haknya sebagai orang tua (senior) yg memiliki legalitas budaya untuk memutuskan pembenaran dalam kata benar dan salah walupun menjadi abu-abu dan semu.

Apabila hal ini diserap seorang bapak (pimpinan) yang memiliki sifat budaya jawa yang terkontaminasi budaya kuno zaman kerajaan, justru akan memiliki paradigma “ Bapaklah yang benar, sementara anaknya harus siap menjadi yang dipersalahkan.”. Budaya demikian bisa saja terjadi, dan sedikitnya mampu mencemari budaya interaksi dilingkungan kita ini, karena dalam pelataran kehidupan yang lebih luas, feodalisme masih melekat pada sebagian prinsip hidup kita, dimana sifat ini memiliki pemahaman tatanilai yang menempatkan lordship (kaum ningrat/majikan) sebagai agen tunggal kebenaran. Sehingga apabila anak (bawahan) melakukan koreksi terhadap Orang tua (atasan/pimpinan) dianggap sebagai dosa kebudayaan.

Dalam situasi yang seperti ini, cepat atau lambat, kita pasti akan kehilangan daya gerak, kreasi, dan inovasi yang berlanjut pada hilangnya kepercayaan diri, dan berakhir dengan lenyapnya harga diri sebagai bagian komponen organisasi. Karena itulah, maka dengan sendirinya sulit diharapkan, bahwa dari kelompok organisasi yang seperti ini, akan tumbuh etos kerja dan semangat kerja yang melahirkan insani-insani yang memiliki nilai produktivitas tinggi. Sebagai akibatnya, kondisi organisasi kita melemah yang kemudian hasil akhirnya adalah : “Memunculkan sebuah organisasi loyo tak ber-energi, yang kaya akan segala kelemahan”.

Namun kita masih syukuri, gejala ini belum begitu parah kita alami, sehingga tidaklah salah jika kita segera menjadikan dialog sebagai budaya interaksi terbuka yang tanpa terlumuri oleh norma-norma curiga, terlebih lagi terkandung nilai-nilai adu domba, namun harus diselimuti dengan nilai-nilai objektifitas, keadilan dan kejujuran. Waktu terus berjalan, sementara anggota keluarga sebagai penghuni rumah kita (anak atau siswa jika berada di lingkungan sekolah) sudah menunggu untuk dibawa ke tempat tujuan yang mereka harapkan. Oleh karena itulah dengan semakin terbatasnya waktu, mari kita segera bentuk kehidupan organisasi/keluarga yang sehat, bukan organisasi/keluarga yang hidup dalam keseolah-olahan yang penuh dengan make up yg selalu menutupi wajah-wajah asli kita. Tanpa kehadiran dialog maka setiap ruang dan waktu di rumah kita ini akan dipenuhi dengan hawa dendam yang berkepanjangan. Karena Sang Bapak (pimpinan) selalu merasa kesal, sementara sang anak (bawahan) membalas kekesalan dengan menjadikan dirinya sebagai manusia-manusia pemberang dan membangkang.

Tulisan ini saya buat sebagai koreksi buat saya pribadi khususnya, maupun untuk semua unsur-unsur masyarakat internal organisasi/internal keluarga yang tentunya sangat kita cintai ini. Akhir kata: “Berilah mereka ruang untuk dialog". Demi cinta dan demi kehangatan rumah (institusi/organisasi) kita ini.

Demikianlah sekelumit tulisan ini saya buat, dengan harapan: Mudah-mudahan dengan keterbukaan dialog yang berjalan melintasi hati dan kejernihan pikiran, segala sesuatu yang selama ini selalu menjadi ganjalan serta batu sandungan di lingkungan kita dalam mencapai cita-cita akan mencair, sehingga dengan itu, harapan atau tujuan untuk mewujudkan sebuah institusi(organisasi)maupun keluarga menjadi institusi/keluarga yang harmonis, rukun, dan produktif secara perlahan akan terwujud, semoga…amien…”