Sumpah Pemuda dan Pendidikan

Pada tahun ini kita memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kondisi ketercekaman akibat penindasan kaum penjajah menyadarkan para pemuda untuk bertindak segera. Penjajahan Belanda ketika itu tidak bisa ditolerir karena menyebabkan jutaan rakyat menjerit pilu. Untuk itu, kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Jakarta . Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia ” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.


Adapun sebagian isi tulisan itu, “Pimpinan kerapatan ialah terdiri dari wakil-wakil Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemoeda Indonesia, Pemoeda Soematera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Sekar Roekoen…….Dalam kesempatan inipun telah diperdengarkan untuk pertama kali kepada umum oleh Pemoeda W.R. Soepratman, lagu INDONESIA RAJA”. Pemuda Tionghoa turut hadir dalam kongres itu, yakni Kwee Thiam Hong (sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Tempat dibacakannya Sumpah Pemuda juga kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Dengan berkumpul dan bersatunya para pemuda dari beragam kelompok etnis dan pergerakan itu menandakan lenyapnya ego kesukuan sekaligus menurut Edy Firmansyah (2007) menunjukkan tingginya sikap pluralisme dan kebersamaan kaum muda. Karena semangat keindonesiaan yang besar dan nyata, Syafi’i Ma’arif (2008) bahkan menyebut Sumpah Pemuda sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Pada titik ini, kita kesampingkan diskursus soal tonggak kebangkitan nasional. Menengok kembali sejarah Sumpah Pemuda, para pemuda di akhir kongres mengucapkan sumpah setelah menggelar rapat intensif selama dua hari yang diketuai Soegondo Djojopoespito. Pertama, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia . Kedoea, kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia . Ketiga, kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Penulis sengaja menuliskan isi Sumpah Pemuda sesuai aslinya untuk sedikit mengoreksi pemahaman yang diutarakan sebagian pihak bahwa Sumpah Pemuda mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Padahal, sebagaimana kita baca, Sumpah Pemuda hanya mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itu artinya bukan satu bahasa: bahasa Indonesia. Memang benar bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu, tapi tidak berarti menyatukan bahasa. Warga Indonesia dituntut menghayati budaya daerahnya, budaya nasional, dan budaya global yang menuntut penguasaan bahasa daerah (ibu), bahasa Indonesia, dan bahasa asing.



Pendidikan

Dalam Kongres Pemuda II, aspek pendidikan memang menjadi pembahasan dan disebut oleh Muhammad Yamin sebagai salah satu faktor pemerkuat persatuan Indonesia . Saat rapat pada hari pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Sabtu, 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin juga menyebut faktor selain pendidikan, yakni sejarah, bahasa, hukum adat, dan kemauan. Muncul juga pemikiran Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro mengenai pendidikan dalam rapat hari kedua di Gedung Oost-Java Bioscoop yang menarik kita hayati: (1). Anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, (2). Harus ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah, dan (3). Anak juga harus dididik secara demokratis. Masih terkait dengan aspek pendidikan, Soenario yang juga tampil sebagai pembicara menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan ini, sebagaimana dikatakan Ramelan dalam Kongres Pemuda II, tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian merupakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Adanya peran penting pendidikan bagi kebangunan bangsa dan negara, siapa pun tentu tak memungkiri. Bangkitnya kesadaran para pemuda yang menggagas dan menggelar Sumpah Pemuda 1928 pun disebabkan dari tempaan proses pendidikan yang sedikit banyak merupakan imbas dari kebijakan Politik Etis. Walaupun kebijakan itu juga dimaksudkan untuk mendukung eksistensi penjajah, namun tidak semua pemuda yang mendapatkan pendidikan saat itu mau bersekutu dengan Belanda. Menurut Safari Daud (2006), konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928 cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa. Atas dasar itu, kita pun menyadari bahwa aspek pendidikan memegang peranan penting “mencerahkan” alam pikiran anak bangsa. Pendidikan mampu memberikan kesadaran bagi anak bangsa untuk memberikan kontribusi bagi kebangunan bangsanya.

Pendidikan yang mampu melahirkan insan-insan yang peduli terhadap bangsanya tentu saja adalah pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, simpul pendapat Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam Kongres Pemuda II. Pendidikan kebangsaan ini oleh penulis terangkum sebagai pendidikan yang melahirkan anak bangsa agar mencintai bangsanya, memiliki kehendak untuk berkarya dan membangun bangsanya. Pada dasarnya konsep ini sudah jelas termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20/2003 bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan tak sekadar membangun tingkat intelektualitas, tapi juga mampu melahirkan anak bangsa sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk itu, pendidikan kebangsaan perlu diimplementasikan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional. Pendidikan kebangsaan bukan berarti meniadakan nilai-nilai lokal. Nilai-nilai lokal perlu diajarkan dan ditanamkan, tapi anak-anak bangsa juga perlu ditanamkan kesadaran sebagai satu bangsa yang hidup dan berpijak di tanah Indonesia . Kesadaran yang akhirnya menghasilkan tindakan positif untuk berkontribusi nyata bagi perbaikan bangsanya. Dalam bahasa Benni Setiawan (2008), menjadi agenda mendasar di sini adalah melakukan "nasionalisme" kurikulum, buku pelajaran, dan cara mengajar guru. Pendidikan kebangsaan perlu mulai dilaksanakan di tingkat pendidikan dasar karena di tingkat tersebut adalah awal mula pembentukan alur berpikir dan logika. Tanggung jawab melakukan itu tentu saja tidak melulu berada di pundak sekolah. Artinya, pihak keluarga juga bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar memiliki nilai-nilai kebangsaan. Sinergisitas pihak keluarga dan sekolah diperlukan untuk mendidik anak-anak bangsa sehingga akan kelak akan lahir—meminjam Fahri Hamzah (2002)—pemuda dalam semangat, kesucian diri, kecerdasan, kecemerlangan, kejujuran, keberanian, pikiran dan jiwa besar, kepercayaan diri dan mental yang terbuat dari baja, kejujuran dan patriotisme terhadap bangsa Indonesia . Seperti tutur Ki Hajar Dewantara bahwa mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orangtua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warga negara kita.

Pungkasnya, Sumpah Pemuda memang selalu identik dengan semangat kebangsaan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa pondasi untuk menanamkan hal itu adalah melalui pendidikan. Wallahu a’lam.