Puasa dan Pendidikan Budi Pekerti

PROSES pendidikan tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, tapi juga hendaknya melakukan transfer of values. Proses pendidikan tidak sekadar memperkuat kecakapan kognitif semata, tapi juga mampu mengembangkan kepribadian dan akhlak mulia. Dengan proses pendidikan yang dapat mengembangkan seluruh potensi individu manusia, maka dihasilkan kualitas yang prima. Proses pendidikan memang seyogianya tidak sekadar mengembangkan dimensi akal. Dimensi hati, sikap, dan perilaku hendaknya diperhatikan dalam proses pendidikan. Pendidikan juga mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Untuk menjadi individu manusia yang unggul dan berkarakter dalam menghadapi kehidupan kini dan masa depan, pembangunan budi pekerti dalam proses pendidikan merupakan keniscayaan.


Berbicara mengenai pendidikan budi pekerti, ibadah puasa Ramadan yang sedang dijalani saat ini menemukan relevansinya. Ibadah puasa sebagai sebuah proses yang bertujuan menjadikan manusia bertakwa merupakan pendidikan yang langsung diberikan Allah SWT. Artinya, Allah SWT sendirilah yang memberikan perintah dan menempa setiap individu manusia melalui ibadah puasa Ramadan. Individu manusia yang menjalankan ibadah puasa dididik oleh Allah SWT. Melalui ibadah puasa Ramadan, individu manusia diarahkan untuk dapat mengendalikan diri. Tidak hanya mengendalikan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan antarsuami-istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, tapi juga mengendalikan diri dari perkataan dan perbuatan tercela. Budi pekerti yang berarti tingkah laku; perangai; akhlak; watak (KBBI, 1995:150) diarahkan pada hal yang positif melalui puasa Ramadan. Ukuran kebaikan dan keburukan berdasarkan norma agama yang ditanamkan melalui ibadah puasa Ramadan akhirnya menumbuhkan kesadaran individu manusia untuk senantiasa mencintai kebaikan dan membenci keburukan.

Melalui ibadah puasa Ramadan, pendidikan budi pekerti dilakukan dengan membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, melatih penguasaan terhadap diri, menumbuhkan self control (muraqabah), dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri. Ibadah puasa Ramadan juga menumbuhkan kepekaan sosial, membiasakan kedisiplinan, merajut persatuan, menumbuhkan rasa kasih sayang, memotivasi untuk melakukan banyak kebajikan, dan membangun semangat anti kemungkaran (Budi Darmawan:2004). Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan akhirnya melahirkan kualitas individu manusia yang memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Yang menjadi pertanyaan, berhasilkah pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan? Ukuran keberhasilan pendidikan budi pekerti pastinya tidak dilihat dari pencapaian angka-angka kuantitatif. Keberhasilan pendidikan budi pekerti dapat dilihat setelah ibadah puasa Ramadan usai. Setelah melangsungkan ibadah puasa Ramadan, menjadi baikkah tingkah laku, akhlak, dan perangai kita yang menjalankan ibadah puasa? Pertanyaan reflektif ini menyadarkan siapa pun untuk dapat meraih prestasi optimal selama menjalankan ibadah puasa. Puasa yang dilakukan tanpa melahirkan perubahan positif dalam sikap dan perilaku tentu menjadi sia-sia. Pendidikan budi pekerti tidak berhasil dilakukan jika puasa hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat. Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan hanya berhasil ditempuh jika individu manusia melakukan pengekangan diri dari sikap dan perilaku yang menjurus pada dosa. Setiap perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji dihindari sehingga menginternalisasi dalam diri.

Pendidikan budi pekerti melalui ibadah puasa Ramadan jelas menjadi sesuatu yang bermakna dan seyogianya berhasil ditempuh. Puasa Ramadan yang berhasil membangun budi pekerti dapat dikatakan merupakan kemenangan menunaikan ibadah Ramadan. Kemenangan ibadah puasa bukan karena berhasil menahan makan dan minum selama sekitar sebulan, tapi lahirnya perubahan positif dalam diri kita. Kita meraih kemenangan Ramadan jika nilai-nilai pengendalian diri, kejujuran, kesabaran, semangat kebajikan dan antikemungkaran, serta kepedulian sosial terus tertanam setelah Ramadan. Dengan membangun budi pekerti luhur dan mulia melalui ibadah puasa Ramadan harapannya berdampak pada kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pada titik ini, kita selayaknya mengevaluasi ibadah puasa yang telah dijalankan sebelum akhirnya berhenti di ujung Ramadan. Disadari atau tidak, seberapa sering kita menapaki ibadah puasa Ramadan ternyata belum berbanding lurus dengan kebaikan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Bertahun-tahun ibadah puasa menghampiri ternyata belum kuasa mencerahkan wajah negeri. Bukankah proklamasi kemerdekaan 1945 dibacakan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia bertepatan dengan bulan Ramadan? Lebih monumental lagi, pembacaan teks proklamasi itu persis saat peringatan Nuzulul Qu’ran yang jatuh setiap tanggal 17 Ramadan. Jadi, sungguh takjubnya kita mengetahui negeri ini diproklamasikan kemerdekaannya pada bulan yang mulia, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Lalu, mengapa lahirnya negeri Indonesia di bulan suci Ramadan tak berbanding lurus dengan kondisi senyatanya negeri ini? Jawabannya boleh jadi karena ibadah puasa Ramadan dilalui hanya sekadar menahan lapar dan dahaga dengan mengabaikan pendidikan budi pekerti. Wallahu a’lam.