Peran Ayah Dalam Pendidikan Anak

Akhir-akhir ini peran orang tua yang mengambil titik sentral ibu, mulai bergeser. Pandangan tentang motherhood beralih ke pandangan yang parenthood. Pandangan ini lebih terasa adil karena peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam pengasuhan anak.
Sudah sangat lazim apabila segala permasalahan dan urusan anak yang menganggung adalah ibu. Dari segi pemeliharaan, perawatan, hingga pendidikan pun tak luput dari peran ibu. Yah, dalam masyarakat umum, sudah diidentikkan bahwa urusan anak merupakan tanggung jawab ibu. Namun, apakah memang demikian?

Islam merupakan agama yang syamil, segala hal pasti telah diatur, tidak terkecuali masalah pendidikan anak. Anak merupakan amanah kedua orang tua. Anak tidak hanya suatu konsekuensi logis dari adanya pernikahan. Lebih jauh lagi, mereka adalah amanah yang suatu hari nanti kedua orang tuanya harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin. Dan kalian semua akan dimintai pertanggngjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipiminnya. Seorang wanita (ibu) adalah pemipin di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya” (Muttafaqun 'alaih). Nah, jika menilik hadits tersebut, tanggung jawab pendidikan anak terletak pada kedua orang tua. Ayah yang notabene sebagai pemimpin keluarga biasanya bertindak sebagai pembuat grand design kebijakan yang ada dalam keluarga tersebut. Sedangkan ibu, sebagai pemimpin anak-anak, bertindak sebagai penerjemah kebijakan dari sang ayah untuk menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan. Suatu ketika, jika terjadi penyimpangan terhadap anak, maka baik ayah maupun ibu harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah mengenai hal yang telah diamanahkan-Nya.

Namun yang terjadi sekarang, banyak peran orang tua yang terkotak-kotak: Ayah bekerja keluar rumah untuk mencari rezeki; dan ibu bertugas mengurusi kepentingan rumah tangga. Pembagian yang demikian 'tegas' ini menjadikan anak hanya 'akrab' dengan sosok ibu. Padahal ntuk identifikasi peran, baik anak laki-laki maupun perempuan tetap membutuhkan peran ayah di dalamnya.

Di mata anak, ayah mempunyai sikap yang tegas, disiplin, dan bertindak sebagai problem solver. Imej ini menyebabkan anak akan meminta bantuan ayah jika mereka terbentur pada suatu permasalahan. Sebaliknya, sikap ibu yang lembut, penyayang, serta sabar menyebabkan anak lebih suka 'lari' ke dalam pelukan ibu jika mendapatkan suatu masalah. Jika kedua orang tua hadir dalam sosok yang diidamkan anak yang klop, yaitu ayah sebagai problem solver dan ibu sebagai pengayom, maka kepribadian anak akan berkembang dengan baik.

Akhir-akhir ini peran orang tua yang mengambil titik sentral ibu, mulai bergeser. Pandangan tentang motherhood beralih ke pandangan yang parenthood. Pandangan ini lebih terasa adil karena peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam pengasuhan anak.

Mungkin sebagian orang mulai merenung, mengapa pandangan lama yang berpatokan pada budaya patriarki mulai bergeser? Hal ini dikarenakan banyaknya wanita yang berkiprah di luar rumah (bekerja). Kondisi ini menyebabkan para wanita ikut menyumbang dalam kehidupan ekonomi dalam keluarga. Dalam kondisi ini, mau atau tidak mau kaum lelaki (para suami) diharuskan mau berbagi tanggung jawab dalam mengurusi pekerjaan rumah. Selain itu, juga karena banyaknya hasil penelitian yang menginformsikan betapa peran ayah sangat penting dalam membentuk suatu kepribadian yang sehat bagi para anak-anaknya.

Dalam suatu penelitian, disebutkan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, akan membentuk anak yang lebih mandiri dan berkompeten. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan ayah lebih suka membiarkan anak melakukan berbagai eksplorasi dan mengajari anak melakukan pemecahan masalah daripada membantu anak menyelesaikan permainannya.

Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa anak yang mempunyai ayah yang 'care', lebih mempunyai kemampuan interpersonal yang baik. Hal ini memang wajar adanya karena baik anak yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan membutuhkan figur ayah dan ibu untuk melakukan identifikasi. Anak tetap membutuhkan teladan ayah dalam hal keberanian, ketegasan, kemandirian, pemecahan masalah, serta pengayom. Demikian juga anak tetap membutuhkan figur ibu yang sabar, lembut, perhatian, serta penyayang. Kedua figur tersebut mampu diserap anak dan menjadikan lebih mudah bereaksi sesuai dengan respon yang diterima (adaptif). Pribadi yang adaptif lebih menyenangkan diajak berinteraksi sehingga tampak pouler di lingkungannya.

Hal yang luput dari perhatian ayah selama ini, menurut hasil penelitian lain menyebutkan; anak perempuan yang dekat dengan ayah lebih lambat mengalami pubertas dan menstruasi. Mungkin kita akan bertanya apa hubungannya antara kedekatan ayah dengan lambatnya masa pubertas anak? Masa pubertas anak disokong kematangan organ seksual anak. Seorang anak yang tidak begitu dekat dengan ayah, tidak akan terbiasa dengan sosok laki-laki. Sehingga ketika ada teman laki-laki yang dekat, ia akan merasakan sensasi yang tidak sewajarnya. Kondisi ini mempermudah proses kematangan organ seksual anak, sehingga ia cepat mengalami menstruasi.

Begitu penting peran ayah dalam pendidikan anak. Bagaimanapun kondisi ayah, tetap saja memiliki tanggung jawab terhadap anak yang diamanahkan Allah kepadanya. Tidak ada alasan karena sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu untuk anaknya. Dalam hidup ini terdiri dari berbagai pilihan beserta konsekuensi yang menyertainya. Jika sekarang kita sebagai orang tua 'menomorduakan' anak yang benar-benar membutuhkan kehadiran kita, apa kita siap ketika kita membutuhkan kehadiran mereka di waktu usia senja kita, malah mereka 'mengutamakan' kerja seperti apa yang sekarang kita lakukan?

Para ayah sekarang, dalam posisi jabatan terpenting apapun di dunia ini, tidak lebih sibuk daripada Rasulullah saw. Kita sebagai umat Islam, sudah tentu ada teladan dalam patokan hidup yang akan kita jalankan. Rasulullah dengan segudang aktivitasnya tetap saja berinteraksi dengan keluarga, membantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah, menyelesaikan keperluannya sendiri (menjahit baju beliau yang sobek pun dilakukan sendiri), dan mencandai anak-anak di sekitarnya. Kita bisa membaca sirah Nabi yang menceritakan berbagai aktivitas kesehartian Rasulullah, yaitu: sebagai pemimpin umat, penerima ribuan ayat yang harus disampaikan kepada umatnya, panglima perang (19 perang besar dan 53 berupa ekspedisi militer), qadhi yang menyelesaikan perkara umat, imam setiap shalat di masjid, selalu melakukan shalat tahajud, serta banyaknya keluarga yang harus ditanggung. Nah, dengan segudang aktivitas yang menuntut kerja keras dan managemen yang smart tidak mungkin akan menghasilkan keberhasilan tanpa semua itu. Kalau sudah begini, siapa yang merasa lebih sibuk daripada Rasulullah, sehingga melalaikan anak dan keluarga?

*) Penulis adalah orang tua siswa dan penulis buku