Mengugah Batin Pemuda

SUASANA batin yang menghinggapi kaum muda pada tahun 1928 silam adalah suasana batin rakyat. Ketertindasan akibat kekuasaan kolonial ketika itu begitu menyengsarakan penduduk di negeri ini. Banyak rakyat menderita, tak kuasa sekadar mendapatkan ruang hidup sebagai manusia yang merdeka. Atas kenyataan yang terjadi, kaum muda tak tinggal diam dan berusaha merefleksikan perjuangan sebelumnya. Suasana batin rakyat adalah suasana batin kaum muda sehingga muncullah inisiatif menggelar Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928.

Sebelum Kongres Pemuda II, kaum muda pun sudah bertekad untuk mencari jalan keluar dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme penjajah lewat Kongres Pemuda I pada 20 April-2 Mei 1926. Namun, takdir sejarah menghendaki tahun 1928 sebagai momentum lahirnya wajah Indonesia secara lebih nyata. Refleksi atas perjuangan mengusir penjajah yang terkotak-kotak sebelumnya menyadarkan kaum muda untuk menyatukan batin antarberbagai pergerakan dari barat hingga timur Indonesia . Batin kaum muda yang merupakan representasi dari kondisi batin rakyat akhirnya menjadi kekuatan dahsyat dengan sumpah setianya; satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia .

Sebentar lagi peristiwa bersejarah itu akan menginjak usia yang ke-80 tahun. Sumpah Pemuda yang terus diperingati tentu harapannya tak sekadar membangkitkan romantisme semata. Dalam hal ini, seperti dahulu kaum muda berhimpun ingin menciptakan Indonesia yang bangun jiwanya dan bangun badannya, kini pun kaum muda perlu memiliki ruh yang sama. Jika dahulu keterikatan kaum muda bertujuan mengenyahkan kolonialisme penjajah dari tanah persada, kaum muda juga dituntut serupa berperan sesuai konteks zamannya.

Tentu saja pentingnya kesadaran kaum muda sebagai pilar kebangunan bangsa perlu ditumbuhkan. Kesadaran bahwa kaum muda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda. Dengan kata lain, bagaimana Indonesia di masa depan adalah bagaimana kaum muda berpikir saat ini (Fahri Hamzah, 2007). Kaum muda memang dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya memajukan negeri yang dipijaknya.

Kaum muda yang menggagas Sumpah Pemuda 1928 lalu pastinya merupakan kaum intelektual yang termasuk kelas menengah. Sebagai kaum terdidik, mereka merasa terpanggil nurani dan jiwanya terhadap kenyataan negeri yang kian mencekam akibat penjajahan. Suasana batin mereka menyatu dengan suasana batin rakyat yang tertindas. Pendidikan kaum muda ketika itu tak terlepas dari kebijakan Politik Etis Hindia Belanda meskipun secara tak kasat mata juga dimaksudkan untuk mendukung eksitensi kekuasaan penjajah. Namun, kaum muda intelektual saat itu tak begitu saja mudah disetir sesuai selera Belanda. Di antara mereka ada yang masih peduli dan merasa sebagai bagian dari “nyawa” Indonesia dan menjadi kaum intelektual organik—meminjam istilah Gramschi. Konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928, cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa (Safari Daud, 2006).

Tentu saja sebagian di antara kaum muda terdidik saat itu tak semuanya mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa. Ada di antara mereka yang justru menjadi bagian dari kekuasaan penjajah. Suasana batin rakyat yang penuh penderitaan tidak menjadi suasana batin mereka. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial (Ismatillah A Nu’ad, 2008).

Karena itu, mengaktualisasikan spirit Sumpah Pemuda di era kini, kaum muda perlu terpanggil melakukan pengabdian dan menjadi agen transformasi sosial. Tampilnya kaum muda yang menyemarakkan kontestasi pemilihan presiden ataupun menjadi anggota legislatif 2009 setidaknya layak diapresiasi. Paling tidak, fakta itu menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan di negeri ini tidaklah macet sama sekali. Di tengah dominasi kaum tua, kaum muda ternyata masih bisa menunjukkan taringnya. Namun demikian, tujuan kaum muda itu selayaknya perlu menjadi perenungan. Jikasanya tampilnya kaum muda sekadar meraih kekuasaan, maka harapan perubahan di republik ini sekadar impian di negeri dongeng. Memang pilihan ada di tangan kaum muda, apakah menjadikan kekuasaan sebagai—meminjam Alfan Alfian—tujuan utama (ultimate goal) ataukah tujuan antara (intermediate goal). Apakah majunya kaum muda itu merefleksikan suasana batin rakyat saat ini?

Harapannya, kaum muda menjadikan kekuasaan sebagai intermediate goal; tujuan utama kaum muda lebih jauh lagi adalah menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan bangsa dan negara. Atau sebagaimana amanat konstitusi, kekuasaan digunakan untuk mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, kaum muda saat ini perlu menyatupadu dalam batin rakyat yang masih kekurangan dan hidup dalam keterhimpitan. Kolonialisme penjajah sudah berlalu di negeri ini, tapi kemiskinan adalah musuh bersama yang mesti dienyahkan. Keterbelakangan dan kebodohan harus segera diatasi demi terwujudnya Indonesia yang bermartabat. Kondisi batin rakyat yang terpuruk dalam ketidakberdayaan selayaknya menjadi batin kaum muda untuk kemudian bergerak menuntaskan perubahan. Pertanyaannya, apakah suasana batin kaum muda seperti suasana batin dirasakan rakyat? Jika tidak, kaum muda belum saatnya untuk memimpin! Wallahu a’lam.