Desain Program Perlindungan Sosial

GLOBALISASI dan liberalisasi ekonomi mendorong setiap negara di dunia untuk menentukan alternatif dan strategi kebijakan pembangunan yang strategis. Langkah tersebut harus dilakukan untuk mengantisipasi meluasnya dampak negatif globalisasi yang terbukti makin menyebabkan tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan meluasnya kesenjangan sosial.

Dari penelitian Bank Dunia (2002), sejumlah negara berkembang dan miskin dengan sekitar 3 miliar penduduknya seperti Banglades, Vietnam, Indonesia, India dan sebagainya, mengalami keterpurukan dalam pasaran global, khususnya sektor manufaktur dan jasa. Sementara 20 tahun yang lalu sebagian besar ekspor dari negara-negara berkembang adalah komoditas primer, manufaktur dan jasa. Bank Dunia juga memprediksi di akhir 2010, akan ada tambahan 90 juta orang yang akan hidup di bawah garis kemiskinan akibat krisis global. Jumlah kematian anak akibat malnutrisi akan bertambah sekitar 50.000 anak. Bank Dunia juga pesimistis akan mampu merealisasikan target menekan kemiskinan pada 2015 karena pemulihan ekonomi masih sangat rentan diterpa krisis.1
Dalam kondisi demikian, negara-negara miskin dan berkembang dipastikan akan menerima dampaknya. Negara-negara miskin dan berkembang akan kehilangan sumber-sumber pendapatan dari dana investasi negara-negara maju yang menjadi stimulus pembangunan. Negara-negara miskin dan berkembang akan menghadapi lemahnya ekspansi ekonomi dan menderita akibat kesulitan mendapatkan dana. Keterbukaan ekonomi antarnegara memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya.
Menurut Foxley (2010:7), krisis keuangan global telah memperparah persepsi ketidakamanan ekonomi di sejumlah negara. Ia mencontohkan negara-negara di kawasan Eropa Timur yang paling parah terkena krisis, dengan tingkat pertumbuhan minus 10 persen untuk tahun 2009. Laju pertumbuhan negatif berarti menurunkan pendapatan dan defisit anggaran. Terpaksa, pemerintah meningkatkan hutang untuk membiayai defisit anggaran dan memotong belanja publik, termasuk untuk sektor pelayanan sosial.
Krisis global yang memukul stabilitas ekonomi domestik banyak negara pada akhirnya memicu tingginya pengangguran akibat banyaknya perusahaan besar dan kecil di seluruh negara harus gulung tikar. Masalah pengangguran yang dapat memicu kemiskinan memaksa pemerintah segera mengeluarkan kompensasi kepada warganya yang terkena imbas krisis global. Selain itu, masalah pengangguran juga meningkatnya jumlah pekerja migran yang dipulangkan ke negara asalnya. Thailand telah mengirim kembali 800 ribu buruh migran asal Burma. Sementara Malaysia memulangkan satu juta pekerja ke Bangladesh dan Filipina. Langkah tersebut dilakukan untuk menekan pengeluaran pemerintah. (United Nations, 2003:11).
Sementara di Indonesia, Pemerintah mencatat dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia mulai dirasakan pada triwulan IV tahun 2008, di mana pertumbuhan ekonomi menurun minus 3,6 persen dibandingkan triwulan III-2008 (q-t-q), dan meningkat 5,2 persen (yoy) dibandingkan dengan triwulan IV-2007 yang berarti lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan-triwulan sebelumnya pada tahun 2008 yaitu 6,2 persen di triwulan I, 6,4 persen pada triwulan II, 6,4 persen pada triwulan III (Bappenas, 2008: II-2). 2
Dampak krisis global pada akhirnya menyulitkan Indonesia mengentaskan kemiskinan.
Masalah kemiskinan adalah masalah klasik yang hingga kini belum maksimal diantisipasi oleh pemerintah. Angka kemiskinan di negara ini masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2009 lalu, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Globalisasi tak hanya melanggengkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Dampak krisis global pada akhirnya juga menyulitkan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Angka kemiskinan di negara ini masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2009 lalu, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Globalisasi tak hanya melanggengkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Berangkat dari realitas tersebut, hampir sebagian besar negara yang demokratis melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Nets) sebagai salah instrumen perlindungan sosial. Fadro (2004:1) menguraikan beberapa kategori mengenai JPS yakni:
1. Program-program pemerintah, baik di tingkat nasional, pusat atau di tingkat lokal yang dirancang untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan agar dapat mempertahankan standar hidup dasarnya seperti masyarakat umumnya
2. Program yang dirancang oleh organisasi filantropi, swasta atau non-pemerintah berbasis masyarakat yang tujuannya adalah untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri
3. Program yang kinerjanya dapat diukur dari segi ekonomi dan sosial terkait dengan kemampuan peserta atau klien agar dapat meningkatkan kualitas hidup.
Dalam pelaksanaannya, Fadro menekankan pentingnya dasar filosofi sebagai acuan pelaksanaan JPS yakni menciptakan interaksi sosial yang kompetitif. Dengan begitu, program JPS tidak sekedar memberikan subsitusi kepada masyarakat miskin saat dihadapi krisis. Namun, bentuk programnya variatif seperti pelaksanaan program pengembangan tenaga kerja, perlindungan terhadap pensiunan, pelayanan kesehatan guna mendapatkan kualitas kehidupan, program pendidikan kepada individu atau masyarakat agar derajat sosialnya naik dan mampu melakukan sesuatu dengan upayanya sendiri.
Menurut Bank Dunia (1995) yang dikutip Fadro (2004), JPS adalah program yang diarahkan pada upaya memecahkan masalah kemanusiaan akibat gejolak politik. Dalam skala jangka panjang, JPS diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya bagi mereka yang kalah atau tak mampu menghadapi persaingan di tengah era globalisasi. Di tengah ancaman krisis global, sejumlah negara menjadikan JPS sebagai instrumen perlindungan sosial untuk membantu warganya agar tetap bertahan menghadapi krisis. Program JPS juga dilaksanakan sebagai bagian dari upaya mengaktualisasikan konsep negara kesejahteraan agar dapat benar-benar melakukan redistribusi kekayaan secara merata melalui program yang tepat.
_________________________________________________________________________________
1 Kompas, 13 Februari 2010
2 Melemahnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV tahun 2008 disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan ekspor barang dan jasa yaitu minus 5,5 persen dibandingkan triwulan III- 2008 (q-t-q) dan hanya meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan IV tahun 2007 (y-o-y). Melemahnya pertumbuhan ekspor barang dan jasa adalah sebagai akibat dari menurunnya harga minyak serta menurunnya harga dan permintaan komoditas ekspor Indonesia sebagai dampak dari krisis keuangan global.
Instrumen negara seperti departemen, lembaga dan instusinya berserta aparaturnya membuat program-program sosial yang langsung bertujuan untuk menyediakan layanan yang bermanfaat dan tepat sesuai norma-norma sosial dan hukum yang berlaku. Program JPS juga dimodifikasi dalam bentuk kebijakan dan program yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan kerentanan bagi individu-individu yang tidak dapat bekerja karena penyakit, cacat atau lanjut usia dan untuk melindungi sebagian besar populasi akibat masalah kehidupan yang tak terduga. Pelaksanaan program JPS juga bisa dalam bentuk transfer dana untuk kelompok-kelompok yang dianggap memenuhi syarat.
JPS juga mencakup program-program berupa pelayanan sosial tanpa memperhatikan partisipasi, kontribusi atau status pekerjaan individu. Program-program JPS ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik, yang biasanya dibiayai atas dasar sumbangan kepada para penerima manfaat berdasarkan partisipasi dan hak-hak mereka. Program tersebut juga diarahkan pada upaya menciptakan lapangan kerja secara cepat untuk membantu individu akibat guncangan krisis. Ada banyak bentuk lapangan kerja dan program-program yang menghasilkan pendapatan dilaksanakan di negara-negara terkena krisis seperti program pekerjaan umum yang bertujuan untuk membantu para penganggur miskin, program kredit mikro untuk membantu dalam pembiayaan dan pengeluaran rumah tangga dan program asuransi pengangguran. (United Nation: 2003: 21).
PELAKSANAAN JPS DI INDONESIA
Saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 lalu, pemerintah pernah melaksanakan program JPS. Program yang digulir untuk mencegah melonjaknya angka kemiskinan akibat krisis ekonomi itu dilaksanakan sesuai Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Program jaring pengaman sosial atau disingkat JPS digulirkan pemerintah setelah melihat dampak krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia terhadap kehidupan masyarakat pada pertengahan tahun 1997.
Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah orang miskin dan pengangguran secara signifikan dalam waktu yang singkat. Menurut data Bappenas, pada tahun 1998 penduduk miskin mencapai 80 juta orang, atau meningkat 11,9 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 22,4 juta orang. Sementara angka pengangguran pada tahun 1999 mencapai 6,37 juta orang. Program JPS direalisasikan setelah pemerintah mendapatkan suntikan dana sekitar Rp17,9 triliun dari pinjaman IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan sumber lainnya.
Program JPS digulirkan pemerintah sebagai langkah emergency agar masyarakat dapat tetap bangkit saat diterpa krisis. Sasaran program ini bersifat langsung dan jangka pendek. Subyek yang menjadi target JPS adalah fakir miskin yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan yang hampir tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, serta para penyadang cacat, anak-anak terlantar, lanjut usia terlantar, tuna susila, warga masyarakat terasing, korban bencana, korban tindak kekerasan dan huru hara, balita dari keluarga miskin yang kekurangan kalori dan gizi, dan anak anak keluarga miskin yang putus sekolah dan para pekerja anak.
Namun, dalam praktiknya, program JPS tidak efektif dan menuai kritik. Gumilar (1999) membedah faktor kegagalan JPS antara lain:
1. Program bersifat jangka pendek, tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan.
2. Bernuasa politasasi karena dilaksanakan berdekatan dengan penyelenggaraan
Pemilu Juni 1999.
3. Pelaksanaan program yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang
rentan penyelewengan dan korupsi. Transparansi alokasi program dan
pertanggungjawaban sulit diharapkan.
4. Dana JPS diperoleh dari pinjaman luar negeri, bukan dana pemerintah. Ada
manipulasi kesan pemerintah sebagai rezim pemurah melalui penghamburan uang
rakyat tersebut merupakan tindakan politik tidak etis dan semestinya dihindari.
5. Tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan
sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya.
Padahal yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti
dilakukan di tingkat komunitas.
Gumilar juga menilai faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan terkait ketidakjelasan tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di tingkat komunitas. Tangdilintin (2010) mengilustrasikan intervensi sosial sebagai teknologi dalam ilmu Kesejahteraan Sosial untuk merekayasa sistem manusia sehingga kegiatan dan tugas kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Intervensi sosial juga diarahkan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberfungsial sosial. Keberfungsian sosial yang ada jangan dihilangkan, tetapi perlu ditingkatkan efektifitasnya. Ibaratnya, jika saat ini orang bisa makan, maka besok jangan sampai tidak bisa beli makanan. Intervensi sosial juga diarahkan untuk menggali potensi sistem manusia, baik individu, kelompok mau masyarakat sehingga mengubah ketidakmampuan menjadi mampu dan berprestasi.
Sementara dalam program JPS, pemerintah mengabaikan intervensi sosial. Bantuan hanya dibagikan begitu saja kepada kelompok miskin. Pendataan yang tidak jelas juga mengakibatkan sulitnya masyarakat miskin mendapatkan bantuan. Penyelenggaran program masih berkutat pada syarat formal berupa kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat mendapatkan bantuan. Sementara sebagian besar masyarakat miskin tidak memiliki KTP.
Dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan data resmi tentang kondisi
sosial atau dikenal sebagai statistik sosial sangat berguna sebagai bahan penyusunan perencanaan sosial. Statistik sosial tidak hanya bermanfaat dalam kondisi tertentu, namun juga merupakan indikator yang lebih luas tentang kondisi-kondisi sosial. Misalnya, tingkat buta huruf yang tidak hanya memberikan informasi tentang jumlha penduduk yang tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi mengambarkan standar pendidikan dalam masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula angka kematian bayi memberikan gambaran penting dalam penyusunan perencanaan sosial mengenai kondisi kesehatan pada umumnya.
Gumilar juga mengkritik pengabaian falsafah dari JPS yang pada dasarnya diarahkan pada upaya pemberdayaan sosial (social empowerment). Sementara program JPS yang dilaksanakan pemerintah bersifat tidak mendidik. Masyarakat tidak diajarkan bagaimana dirinya mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensinya sendiri. Program tersebut lebih banyak menghabur-hamburkan uang layaknya Robinhood atau Sinterklas.
Meski JPS tidak efektif, pemerintah masih memandang perlu penerapan model residual. Pemerintah memberikan bantuan sosial (social assistance) kepada kelompok rentan karena tidak lagi memiliki daya dan upaya dalam bekerja akibat kemiskinan, rendahnya pendidikan, penyandang cacat, lanjut usia, orang dengan kecacatan fisik dan mental, kaum minoritas, yatim piatu, orang tua tunggal, pengungsi, korban bencana alam atau konflik sosial dan sebagainya.
BELAJAR DARI PENGALAMAN NEGARA LAIN
Krisis keuangan global telah memperparah persepsi ketidakamanan ekonomi di sejumlah negara. Negara-negara di kawasan Eropa Timur paling parah terkena krisis, dengan tingkat pertumbuhan minus 10 persen untuk tahun 2009. Laju pertumbuhan negatif berarti menurunkan pendapatan dan defisit anggaran. Terpaksa, pemerintah meningkatkan hutang untuk membiayai defisit anggaran dan hampir pasti memotong belanja publik, termasuk untuk sektor sosial. Dampak utama dari krisis global adalah pengangguran meningkat begitu cepat akibat ratusan perusahaan besar dan kecil di seluruh negara terpaksa gulung tikar (Foxley, 2010:7).
Karena itu, masalah pengangguran memaksa pemerintah harus mengeluarkan kompensasi segera untuk menekan meluasnya dampak pengangguran. Masalah pengangguran juga meningkatnya jumlah pekerja migran yang dipulangkan ke negara asalnya. Thailand telah mengirim kembali 800 ribu buruh migran asal Burma. Sementara Malaysia memulangkan satu juta pekerja ke Bangladesh dan Filipina. Langkah tersebut dilakukan untuk menekan pengeluaran pemerintah (United Nations, 2003:11). Dampak krisis global juga dirasakan oleh Indonesia seperti melemahnya pertumbuhan ekspor barang dan jasa adalah sebagai akibat dari menurunnya harga minyak serta menurunnya harga dan permintaan komoditas ekspor Indonesia sebagai dampak dari krisis keuangan global (Bappenas, 2008: II-2). Dampak krisis global pada akhirnya juga menyulitkan Indonesia mengentaskan kemiskinan.
Krisis global diperkirakan akan memasuki periode panjang. Akibatnya, semua negara dituntut untuk mencari cara mengurangi pengeluaran. Dalam konteks ini, cakupan dan mutu pelayanan sosial seperti asuransi, pelayanan kesehatan dan jaminan sosial lainnya akan memburuk karena pemerintah dihadapi keterbatasan dana. Akibatnya, implementasi program antikemiskinan menjadi terhambat. Kondisi ini tentu akan memicu para pengangguran, masyarakat miskin dalam kelompok rentan menghadapi serangkaian peristiwa traumatis. Sementara di sisi lain, makin banyak rumah tangga yang tidak mampu untuk membayar layanan yang disediakan swasta sehingga mereka makin kesulitan dalam mengakses pelayanan publik. Negara-negara akan dipaksa untuk memotong pengeluaran pemerintah untuk mengendalikan defisit.
Berangkat dari masalah tersebut, sejumlah negara yang telah melalui krisis ekonomi berulang-ulang sejak 1980-an, melakukan perbaikan terhadap konsep perlindungan sosial kepada warganya. Negara yang tetap meningkatkan program seperti JPS, terpaksa meningkatkan pendanaan publik dengan mengandalkan dana campuran dari swasta atau individu secara sukarela. Saat terjadi krisis global, sejumlah negara di kawasan Eropa Timur, Asia Timur dan Amerika Latin meninjau ulang sistem kesejahteraan yang pernah diterapkannya.
Foxley (2010) mencatat Perubahan besar pertama di Eropa Timur disebabkan oleh transisi menuju demokrasi pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990. Di kawasan negara-negara komunis telah disediakan akses pelayanan sosial bagi para pekerja dari seluruh penduduk untuk pendidikan, perawatan kesehatan dan tunjangan pensiun. Namun, transisi menuju demokrasi yang menuju arah ekonomi pasar telah menyebabkan terjadinya pergeseran pelayanan sosial bidang ketenagakerjaan. Pada tahun 1993, pengangguran meningkat menjadi 16 persen di negara-negara seperti Bulgaria dan Polandia. Pengangguran serupa juga muncul pada tahun 2000 di negara-negara Baltik dan Republik Ceko. Data statistik resmi di kedua negara itu sebelumnya menunjukan jika tahun 1980 tidak ada pengangguran.
Gejolak ekonomi global mendorong pemerintah di negara-negara untuk melakukan percepatan dalam mengeluarkan kebijakan pengamanan sosial. Salah satu yang dianggap penting dan signifikan adalah pembentukan asuransi pengangguran, serta insentif untuk pensiun dini dan pensiun akibat kecacatan. Di Ceko, Hungaria dan Polandia, asuransi pengangguran didirikan antara tahun 1988 dan 1990 dengan menggunakan dana dari sumbangan pengusaha, karyawan dan negara. Pemerintah juga terpaksa melakukan reformasi pensiun, meski menjadi perdebatkan di kawasan Eropa Timur karena ditentang oleh sebagian besar masyarakatnya. Reformasi pengelolaan dana pensiun dipandang perlu dilakukan karena penurunan nilai riil pensiun dan tekanan dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia.
Proses privatisasi juga dimulai di Republik Ceko, Hungaria dan Polandia. Dalam sistem yang lama, dana pensiun dibiayai dari anggaran negara. Sementara upaya reformasi mengarahkan agar dana pensiun harus dibayar oleh perusahaan dan tambahan sukarela yang terdiri dari iuran yang dibayarkan oleh pekerja. Sementara transisi menuju demokrasi di kawasan Asia Timur di tahun 1980-an, terjadi setelah mengalami masa pertumbuhan ekonomi tinggi. Tingkat pertumbuhan dengan laju pertumbuhan dua kali lipat dibandingkan Eropa Timur dan Amerika Latin di masa transisi, memungkinkan negara-negara di kawasan Asia Timur untuk lebih fokus pada pelayanan sosial di bidang pekerjaan. Perlindungan sosial bukanlah prioritas tinggi perekonomian di negara tersebut, kecuali untuk pekerja.
Sementara di Republik Korea. antisipasi kemiskinan gencar dilakukan lewat dua program yaitu:
1. Bantuan Umum berupa perlindungan pekerjaan, bantuan medis, bantuan bagi pensiun, dan bantuan bencana
2. Pelayanan kesejahteraan Sosial untuk orang cacat , orang tua, anak-anak, perempuan dan cacat mental. Selain itu, ada juga bantuan publik dalam bentuk bantuan keuangan kepada orang miskin yang pendapatannya rendah. Pelayanan kesejahteraan sosial terfokus pada pemeliharaan kelompok kesejahteraan keluarga yang kurang beruntung. (United Nation, 2003:50)
Saat krisis melanda, pemerintah Republik Korea mengadopsi berbagai langkah kebijakan, termasuk program-program pekerjaan umum, program kredit mikro, dan perluasan asuransi bagi pengangguran untuk mengimbangi efek samping dari krisis ekonomi. Progam layanan sosial bagi pengangguran dimulai pada tahun 1995 itu berupa pendidikan dan pelatihan dan layanan penempatan pekerjaan. Awalnya, program asuransi penganguran hanya hanya untuk perusahaan yang memperkerjakan 30 karyawan. Namun, program itu diperluas akibat dampak krisis. Pada Oktober 1998, seluruh perusahaan, termasuk yang kurang dari lima karyawan, wajib melaksanakan asuransi pengangguran.
Bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tunjangan asuransi pengangguran, pemerintah memperkenalkan program pekerjaan umum. Program pekerjaan umum menjadi cara yang efektif untuk menyediakan dukungan pendapatan sementara kepada para penganggur. Pekerja dibayar untuk pekerjaan produktif. Pelaksanaan program juga melibatkan pemerintah lokal yang menyediakan pekerjaan bagi para penganggur di daerahnya seperti pembersihan jalanan, kontrol lalu lintas, parkir, konservasi hutan dan sebagainya. Pemerintah Korea juga memberlakukan Asuransi Umum yang diberikan kepada pegawai yang kecelakaan kerja. Semua perusahaan yang memperkerjakan minimal lima atau lebih karyawan wajib membayar 29 persen dari gaji, tergantung dampak yang dialaminya. Pemerintah juga membayar biaya administrasi.
PENGALAMAN AMERIKA SERIKAT
Di Amerika Serikat, program JPS adalah sebuah program antikemiskinan yang diberlakukan pada awal abad ke-21. Konsep yang diterapkan berlandaskan nilai-nilai, sejarah, dan kondisi sosial dan ekonomi yang menjadi acuan mendefinisikan bentuk program yang diterapkan hingga saat ini.
Menurut Burt dan Nightingale (2001:1), di Amerika Serikat, jaring pengaman sosial merupakan salah satu program sosial yang difokuskan pada warga yang kurang beruntung dan rentan terhadap ancaman kemiskinan. Program tersebut juga untuk membantu warga tak beruntung saat menghadapi krisis dalam jangka pendek dan masalah-masalah klasik yang masih dihadapinya.
Program direalisasikan dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, cacat fisik dan mental atau kepada mereka yang menjadi korban penyalahgunaan atau kelalaian. Implementasi program tersebut diperkuat landasan hukumnya lewat UU, peraturan, aturan-aturan program, pendanaan prioritas dan sebagainya. Program tersebut dirumuskan dalam bentuk kebijakan publik yang cangkupannya sangat luas menyangkut aksi publik yakni: kebijakan sosial, kebijakan ekonomi, dan semua kebijakan publik lainnya.
Program JPS di AS menyangkut tiga bidang kebijakan publik yakni kebijakan sosial, kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya. Dalam upaya mengentaskan kemiskinan, strategi awal yang harus dilakukan adalah mendesain kebijakan sosial dan perencanaan sosial. Sejumlah ahli seperti Marshall, Huttman dan Spicker (Suharto, 2004:36) memberikan definisi beragam mengenai kebijakan sosial. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial dan bantuan keuangan (Marshall).
Kebijakan sosial juga dipahami sebagai strategi-strategi atau rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman). Kebijakan sosial juga dinilai sebagai kebijakan yang terkait dengan upaya mewujudkan kesejahteraan, baik dalam arti luas, yang menyangkut kualitas kehidupan manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Spicker).
Konsepsi mengenai kebijakan sosial sangat erat kaitannya dengan perencanaan sosial. Waterston (1965) mendefinisikan perencanaan sebagai usaha yang secara sadar, teroganisir, dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara Schaffer (1980) menekankan perencanaan memiliki keterikatan dengan pengambilan keputusan, dengan memperhatikan lebih banyak data yang ada atau hasil-hasil yang mungkin dapat dicapai yang akan datang.
Dalam penerapannya di Amerika Serikat, kebijakan sosial merupakan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial dan kondisi individu, keluarga dan masyarakat atau lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, perumahan dan asuransi sosial. Dalam konteks ini, pemerintah harus berkontribusi pada program yang menyediakan individu lewat pelayanan asuransi untuk mengurangi risiko tertentu, seperti pengangguran atau pensiun untuk masa pensiun.
Kebijakan ekonomi mengacu pada tindakan pemerintah yang terkait dengan keuangan dan kondisi ekonomi, seperti pajak, keuangan, bisnis, perdagangan, moneter dan kebijakan fiskal. Sementara kebijakan publik lainnya terkait kebijakan pemerintah di bidang pekerjaan umum, pertahanan, transportasi, imigrasi, energi, lingkungan, dan keamanan. Kebijakan sosial dan ekonomi dan kebijakan publik lainnya mempengaruhi semua segmen kehidupan masyarakat untuk semua tingkatan sosial ekonomi, dan pribadi.
Program JPS di bidang sosial berupa pelayanan sosial, transfer pendapatan dan bantuan kepada penduduk rentan seperti orang-orang yang berpenghasilan rendah, cacat, anak-anak terlantar dan pihak-pihak yang secara ekonomi kurang beruntung. Program juga direalisasikan kepada warga yang terkena dampak bencana maupun krisis. Kebijakan JPS di Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh kebijakan di bidang lain, seperti transportasi, perlindungan lingkungan, dan imigrasi. Dengan demikian, jaring pengaman sosial mencakup berbagai program dan kegiatan yang ditentukan oleh kebijakan publik.
Model JPS yang diterapkan Amerika Serikat tidak terlepas dari sejarah, budaya politik, struktur pemerintahan federalisme, ketentuan fiskal ekonomi dan kebutuhan masyarakatnya. Sejarah membentuk nilai-nilai dan asumsi, yang pada gilirannya membawa AS untuk memilih tujuan-tujuan spesifik terkait denagn kebijakan sosialnya. Nilai-nilai yang diadopsi warga AS antara lain menjunjung tinggi kebebasan individu, kemandirian dan kemerdekaan, etika kerja, keadilan dan keunggulan. Nilai-nilai ini telah mendorong masyarakat untuk memilih struktur filosofis tertentu sebagai dasar untuk mendesain program jaring pengaman sosial.
Ellwood (1989) dalam Burt dan Nightingale (2001) menjelaskan, warga AS mengedepankan nilai kasih sayang, keadilan dan kesediaan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Warga juga menjunjung tinggi etos kerja, harga diri keluarga, kebebasan dan kemerdekaan. Namun, semangat Amerika yang terus berjuang dengan kompleksistasnya telah memunculkan pertentangan antarnilai bersama yang membentuk persepsi mengenai kemiskinan sebagai akibat dari mereka sendiri. Paham tersebut bermuara dari pandangan penganut Calvinisme yang dibawa orang Eropa yang mengajarkan agar individu mengejar pekerjaan duniawi dengan ketekunan. Mereka memandang kemiskinan akibat kamalasan dan penolakan dari perintah religius untuk bekerja keras. Prinsip ini yang kemudian memunculkan anggapan bahwa pemberian uang ke masyarakat yang lemah baik secara langsung atau melalui institusi amal sama saja menganjurkan kemalasan.
Pandangan tersebut mendapat pertentangan dari kaum liberal yang menilai kemiskinan akibat sistem kapitalisme yang gagal mewujudkan kemakmuran. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang oleh penganut paham liberal akibat ketidakadilan sebuah sistem. Individu bisa menjadi rajin, pintar, percaya diri dan memiliki kapasitas jika didukung sistem yang baik. Pandangan liberal identik dengan pandangan transformatif yang menilai ketidakberfungsian sosial karena ada sistem yang tidak adil dan berwatak kapitalistik. Individu hanya menunggu belas kasih dari ”tangan gaib” untuk meringankan kesusahannya.
Dari perdebatan itu kemudian muncul jalan tengah dalam memandang kemiskinan. kebijakan antikemiskinan dan jaring pengaman sosial diberikan tetapi tidak mengurangi inisiatif individu untuk bekerja, bantuan kepada kaum miskin, terutama anak-anak, dan melindungi kesejahteraan mereka, tetapi tidak mendorong atau mendukung kemiskinan. Nilai-nilai itu yang kemudian melandasi pembentukan program pengentasan kemiskinan di AS. Program jaringan pengaman sosial dalam bentuk pemberian uang namun subyek diarahkan agar mengambil langkah-langkah konkret untuk mendapatkan pekerjaan.
Tujuan JPS di Amerika Serikat
1. Menyediakan keamanan keuangan
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum bagi orang miskin. Namun, bantuan finansial difokuskan kepada warga yang benar-benar miskin. Beberapa kelompok yang memenuhi syarat untuk menerima manfaat dari program ini adalah kalangan lanjut usia. Namun, program ini juga dapat diberikan kepada individu atau keluarga tertentu asal memenuhi persyaratan, tetap bersemangat dalam bekerja dan berpartisipasi dalam program pelayanan sosial tertentu.
Realisasi kebijakan keamanan finansial di AS berupakan pemberian dana, baik tunai dan dalam bentuk bantuan seperti bantuan tunai sebagai jaminan sosial bagi pensiun atau orang lanjut usia dan orang cacat. Jaminan sosial berupa asuransi bagi orang-orang yang bekerja dan berkontribusi pada asuransi yang mengalami kecacatan. Bantuan juga diberikan keluarga yang membutuhkan. Bentuk bantuan seperti perawatan kesehatan untuk orang tua dan masyarakat miskin, bantuan pangan dan subsidi sewa atau voucher untuk program bantuan perumahan.
2. Melindungi kelompok rentan
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan dukungan kepada kelompok rentan atau tidak mampu mengurus diri sendiri. Program ini difokuskan kepada masyarakat miskin, anak-anak kurang gizi, anak-anak terlantar, yatim piatu, penyandang cacat yang membuat dirinya tidak mampu mengurus diri sendiri dan lanjut usia yang berpenghasilan rendah.
Layanan dan dukungan dalam bentuk bantuan untuk kelompok rentan sering disebut suplemen bantuan tunai, voucher untuk makanan, subsidi gizi dan makanan untuk lanjut usia, pendidikan dan pusat-pusat penitipan anak, dan wanita hamil yang berpenghasilan rendah.
3. Mempromosikan kesamaan kesempatan
Terutama untuk kelompok yang sedang atau terus-menerus mengalami ketidakberuntungan ekonomi dan sosial. Program direalisasikan dalam bentuk pelatihan kerja untuk komunitas pengangguran atau mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Program tersebut diarahkan untuk memberikan kesamaan kesempatan. Program pelatihan kerja dijalankan oleh pemerintah atau lembaga pelatihan atau pelatihan non-pemerintah atau organisasi sosial.
Banyak program yang menggunakan lebih dari satu strategi atau mekanisme kebijakan. Misalnya, bantuan sementara untuk keluarga yang membutuhkan, program kesejahteraan utama untuk keluarga dengan anak-anak, pembayaran langsung yang memberikan bantuan uang tunai secara bulanan yang dikombinasikan dengan pelayanan langsung untuk membantu individu dalam memperoleh pekerjaan, penitipan anak dan layanan dukungan lainnya untuk memungkinkan orang tua untuk bekerja. Program jaring pengaman sosial juga yang menyediakan insentif keuangan untuk bekerja.
Kategori orang miskin di Amerika Serikat
Meski sebagai negara industri yang maju dan terkaya, Amerika Serikat ternyata masih dihadapi masalah kemiskinan. Menurut Zastrow (2000) dalam Suharto (2008:239), lebih dari 36 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari total polulasinya ternyata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, sekitar satu dari tujuh warga Amerika adalah miskin. Zastrow menjelaskan kategori orang miskin di Amerika Serikat yakni:
1. Keluarga dengan orang tua tunggal
Kebanyakan keluarga dengan orang tua tunggal dikepalai oleh perempuan dan 37 persen hidup dalam kemiskinan. Ibu tunggal (single mother) dari kelompok ras minoritas (Afro-Amerika Latin dan ras asli Amerika) adalah kelompok rentan terhadap kemiskinan karena mereka mengalami diskriminasi ganda, yakni berdasarkan ras dan jenis kelamin) dalam pasar tenaga kerja. Di AS, satu dari lima anak hidup terpisah dari orang tuanya. Karena tingginya tingkat penceraian, serta tingginya kelahiran di luar nikah. Diperkirakan sekitar satu dari dua anak di AS akan menghabiskan 18 tahun pertamanya dengan ibu tunggal. Keluarga dengan orang tua tunggal berjumlah sekitar 20 persen dari total seluruh keluarga di AS. Peningkatan jumlah keluarga telah mendorong meningkatnya feminisme dalam kemiskinan.
2. Anak-anak
Sekitar 20 persen anak-anak di bawah umur 16 tahun hidup miskin dan hampor 40 persen keluarga miskin adalah anak-anak dibawah umur 16 tahun. Hampir setengah dari jumlah anak-anak itu hidup tanpa ayah. Pada tahun 1966, saat UU reformasi kesejahateraan digulirkan, dua pertiga penerima bantuan adalah anak-anak.
3. Kelompok manusia usia lanjut (Manula)
Banyak dari usia lanjut amat bergantung dari pensiun Social Security atau bantuan publik lainnya dalam bentuk Supplemental Security Income. Sejak penerapan program perang melawan kemiskinan pada tahun 1964, kelompok manula diuntungkan dengan penerapan program tersebut. Program-program seperti Medicare dan Supplemental Security Income serta peningkatan tiap bulannya melalui program Old Age, Survivors, Disability and Health Insurance (OASDHI) berhasil menurunkan tingkat kemiskinan Manula dari sebesar 25 persen pada tahun 1964 menjadi sekitar 11 persen saat ini.
4. Keluarga Besar
Keluarga besar dikategori kelompok rentan karena membutuhkan dana untuk membiayai kehidupan kelarga besarnya. Untuk membesarkan seorang anak hingga berumur 18 tahun dibutuhkan dana sekitar U$161.000
5. Kelompok kulit berwarna
Adalah kelompok minoritas yagn rentah terhadap kemiskinan. Afro-Amerika misalnya, berjumlah sekitar 12 persen dari total pendduk AS, namun lebih dari 25 persen di antaranya hidup miskin. Diperkirakan sekitar sepertiga keluarga ras asli Amerika hidup di bawah garis kemiskinan, sedangkan satu dari setiap tiga orang lain hidup dalam kemiskinan. Diskriminasi ras menjadi salah satu alasan mengapa kelompok ras minoritas cenderung miskin.
6. Pendidikan rendah
Di AS, indikator kemiskinan dapat dilihat dari tercapai atau tidaknya pendidikan sembilan tahun. Namun, meerka yang mencapai pendidikan hinga tingkat menengah atas tidak terjamin bebas dari kemiskinan.
7. Pengangguran
Lebih dari 1,5 juta keluarga bekerja penuh waktu, tetapi pendapatan meerka berada di bawah tingkat kemiskinan.
8. Tempat tinggal
Beberapa kota seperti Northeast dan Midwest memiliki kawasan kumum yang cukup ebsar dibandingkan kawasan lain di AS. Kemiskinan juga banyak ditemukan di kawasan pekerja migran musiman. Bagi Indonesia, dalam menghadapi krisis global, setidaknya harus belajar dari kegagalan mengembangkan program JPS yang pernah dilakukan saat krisis ekonomi melanda di tahun 1997 lalu.
FOKUS PROGRAM JARING PENGAMAN SOSIAL
1. Pemberdayaan
Dari pengalaman sejumlah negara itu, maka disimpulkan apapun namanya, baik JPS atau program antikemiskinan lainnya, maka model pendekatan yang dilakukan harus berorientasi pada pemberdayaan agar individu maupun masyarakat kelak dapat mandiri dalam menjalani kehidupan.
Midgley (1995:102) mengemukan tiga strategi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sosial yakni:
1. Melalui pendekatan Individu (social development by inddividuals). Strategi ini
diarahkan untuk mendorong individu-individu dalam masyarakat agar dapat mandiri, membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat.
2. Melalui komunitas (Social Development by Communitites), di mana kelompok
masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya.
3. Melalui pemerintah (Social Development by Government), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (govenement agencies).
Sementara Ife dan Tesoriero (2008:130) menjelaskan, pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged). Ife memberikan tiga strategi yang dapat diterapkan untuk memberdayakan suatu masyarakat yakni perencanaan dan kebijakan, aksi sosial dan politik dan peningkatan kesadaran dan pendidikan.
Pendapat Midgley maupun Ife pada dasarnya meletakan model pembangunan yang berorientasi pada people centered development (pembangunan berpusat manusia). Pendekatan people centered development didasari suatu paham bahwa manusia akan sejahtera jika setiap individu maupun masyarakat dapat mengembangkan kapasitasnya masing-masing. Dalam konteks ini, perlu model pendekatan yang dikenal dengan istilah intervensi sosial.
Intervensi sosial adalah suatu upaya untuk membuat sistem manusia dapat menjalankan tugas kehidupannya dengan benar. Intervensi sosial merupakan strategi, kebijakan yang terencana, sistematis, yang diarahkan untuk melakukan perubahan sistem manusia yang lebih positif. Intervensi sosial juga disebut rekayasa sosial, pemberdayaan pembangunan sosial, perencanaan sosial, atau manajemen perubahan permasalahan sosial. Namun, tujuan dari intervensi sosial pada dasarnya diarahkan agar fungsi sosial dapat berperan dengan baik.
Tangdilintin (2010) mengilustrasikan intervensi sosial sebagai teknologi dalam ilmu Kesejahteraan Sosial untuk merekayasa sistem manusia sehingga kegiatan dan tugas kehidupan dapat berjalan dengan baik. Intervensi sosial juga diarahkan untuk meningkatkan atau mempertahankan keberfungsial sosial. Keberfungsian sosial yang ada jangan dihilangkan, tetapi perlu ditingkatkan efektifitasnya. Ibaratnya, jika saat ini orang bisa makan, maka besok jangan sampai tidak bisa beli makanan. Intervensi sosial juga diarahkan untuk menggali potensi sistem manusia, baik individu, kelompok mau masyarakat sehingga mengubah ketidakmampuan menjadi mampu dan berprestasi. Level intervensi dibagi menjadi tiga:
1. Level Mikro (individu, keluarga dan kelompok kecil)
2. Level Mezzo (organisasi, komunitas lokal)
3. Level Makro (masyarakat luas, pengembangan kebijakan sosial,
perundang- undangan sosial)
Upaya melakukan intervensi tersebut dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan dari seorang pekerja sosial. Ife menjelaskan ada peran penting yang harus dilaksanakan pekerja sosial dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yaitu peran fasilitatif, pendidikan, representasi dan peranan teknis.
Peran fasilitatif terkait kemampuan pekerja sosial dalam melakukan mediasi dan negosiasi, animasi sosial, pemberi dukungan, membangun konsensus dan memfasilitasi kelompok. Sementara peran pendidikan terkait upaya peningkatan kesadaran, memberikan informasi dan pelatihan. Fungsi representasi terkait dengan kemampuan melakukan advokasi, hubungan masyarakat, meningkatkan jaringan kerja, berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sementara kemampuan teknis yang harus dimiliki pekerja sosial terkait kemampuan dalam melakukan penelitian, mengolah dan menganalisi data, manajemen keorganisasian dan sebagainya.
Sementara dalam level makro, peran pemerintah sangat besar untuk mendesain sebuah skema pembangunan sosial yang sistematis, terencana, terorganisir dan koordinatif. Dalam hal ini, Ife menilai, strategi pengembangan masyarakat yang baik adalah yang secara integratif mengabungkan berbagai isu pembangunan dalam satu program kegiatan. Sayangnya, di Indonesia masih identik dengan pembangunan ekonomi atau pembangunan sosial. Proses pengabungan isu pengembangan masyarakat ini dikenal pengembangan masyarakat integratif (integrated community development).
2. Bidang Ketenagakerjaan
Kebijakan ketenagakerjaan dinilai sebagai salah satu indikator untuk menilai konsep negara kesejahteraan yang diterapkan sebuah negara. Dalam konteks ini, negara memiliki peran besar untuk membuka akses seluas-luasnya pasar kerja kepada warganya. Pasar tenaga kerja terkait dengan kondisi atau status dari warga negara terkait usia kerja, jenis kerja, keterampilan dan sebagainya. Fokus pada bidang ketenagakerjaan sangat penting dilakukan seperti yang dilakukan di Eropa Timur dan negara-negara Asia Timur seperti dijelaskan di atas.
Di Denmark, kebijakan pemerintah terkait lapangan kerja diarahkan untuk mencegah kemiskinan dan eksklusi sosial (individu yang terlempar dari kehidupan dan partisipasi sosial). Peran pasar tenaga kerja sangat penting untuk memberikan dukungan kepada setiap individu berbentuk suatu cara dan sarana dan akan membawa dampak bagi individu agar tetap berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam Social Policy in Denmark, The Minister of Social Affair, 2001 (www. socialministeriet.dk), dijelaskan tujuan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Denmark diarahkan untuk melawan kekosongan kerja dan penurunan kualitas tenaga kerja. Usaha yang diarahkan adalah mempertahankan mereka yang sudah ada dalam lapangan kerja untuk tetap berada di lapangan kerja, usaha yang diarahkan untuk menolong yang kapasitas kerjanya berkurang dan mereka yang mempunyai masalah sosial dalam usaha masuk ke dalam lapangan kerja. Pemerintah Denmark juga memberikan layanan berupa tunjangan jika individu mengalami sakit, menganggur, tidak ada tunjangan dari keluarga, yang kemudian diarahkan pada pengaktifan kerja.
Mereka yang mendapatkan tunjangan tersebut diarahkan agar bekerja kembali. Jika tetap tidak menerima kerja, maka individu tersebut harus menerima kerja yang diusulkan oleh layanan negara. Langkah tersebut dilakukan agar individu tetap dapat mempertahankan keterampilan kerja, atau bahkan meningkatkan keterampilan kerja. Bentuk program yang dilaksanakan adalah: pelatihan kerja, rotasi kerja, pelatihan yang disesuai dengan kebutuhan individu, kerja sukarela dan pelatihan berkelanjutan.
Pemerintah Denmark juga mengembangkan program rehabilitasi yang diarahkan kepada mereka yang mengalami penurunan keterampilan kerja karena masalah fisik, mental atau sosial. Mereka yang mendapatkan program ini juga menerima uang. Kemudian menerapkan cara kerja yang fleksibel kepada mereka yang secara permanen kapasitas kerjanya dibatasi. Kebijakan ini dipilih karena dianggap lebih baik daripada menerima tunjangan atau program rehabilitasi yang tidak lagi memadai. Pemerintah Denmark juga menerapkan kebijakan kerja sementara (sheltered employment) bagi mereka yang karena kondisi kesehatan terpaksa pensiun dini, pemberian alat kerja dan perlengkapan serta tunjangan sakit.
Di Inggris, kebijakan di bidang ketenagakerjaan terfokus pada pendidikan formal dan pelatihan dan menciptakan rezim kompetisi guna mencegah anti-trust dan mempromosikan usaha menengah dan kecil. Kebijakan itu didasari keyakinan bahwa pengembangan usaha (enterprise) harus berjalan seiring dengan pengembangan human capital. Beberapa bentuk programnya:
1. Penciptaan lapangan kerja.
Masyarakat diberikan beberapa fasilitas berupa kredit untuk pengembangan usaha. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan kepentingan dunia usaha yang mempunyai strategi atas calon tenaga kerja dan tenaga kerja yang waktu ada. Ini berarti perusahaan juga diikutsetakan dalam menciptakan lapangan kerja
2. Pengembangan keterampilan.
Menjadi tugas pemerintah dan dunia usaha. Bentuk pelaksanaannya, magang, pengintegrasian kurikulum pendidikan menengah dan tinggi, lembaga pelatihan terbuka, disediakan waktu khusus bagi serikat buruh untuk membuat target sendiri bagi pengembangan keterampilan anggotannya.
3. Target khusus untuk pengangguran jangka panjang dan pengangguran orang muda.
Pengangguran jangka panjang terfokus pada individu yang sama sekali tidak mempunya keterampilan yang saat itu dirinya sedang dibutuhkan di lapangan kerja. Sedangkan pengangguran orang muda yaitu mereka yang tidak dapat segera masuk ke lapangan kerja karena harus berkompetisi dengan mereka yang sudah lebih dahulu ada di lapangan kerja yang tentu lebih berpengalaman, atau orang mudah yang sengaja tidak mau kerja.
4. Tunjangan yang tepat sasaran.
Tunjangan tidak diarahkan untuk mengganti penghasilan. Namun, dibatasi berlakunya. Sebelum era 90-an, Inggris memberikan tunjangan kepada orang murah berupa tunjangan pengangguran tanpa batas. Nyatanya, kebijakan itu justru menciptakan pengangguran.
5. Memperbarui pola manajemen
Dibutuhkan institusi yang tugasnya memberilakan layanan publik yang penyelenggaraannya harus sedekat mungkin dengan masyarakat, tidak birokratis, menyediakan pilihan layanan, menjamin transparansi, mengakomodir semua keluhan dengan cepat dan baik. Dengan kata lain, masyarakat dapat mengontrol fungsi dan peran institusi layanan publik tersebut.
Program yang dilaksanakan berbentuk
- Job Centre Plus (layanan untuk mencari kerja, mendapatkan tunjangan kredit, segala informasi mengenai pelatihan dan sebagainya
- Learning and Skills Council (layanan pengembangan keterampilan
- Penyediaan dana dan layanan khusus untuk insiatif dalam hal inovasi
Di Inggris, dalam bidang ketenagakerjaan, layanannya juga menyebar secara merata dan cepat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Layanan ini juga menjadi eksekutor sekaligus mata rantai dari aliansi antara pemerintah, serikat buruh, pengusaha dan organisasi sukarela. Di level pemerintah, layanan ini diperankan oleh Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pendidikan dan Ketrampilan dan Departemen Tenaga Kerja.
3. Bidang Jaminan Sosial
Jaminan sosial adalah sistem penyimpanan dan pengelolaan dana negara yang dipakai untuk membiayai berbagai layanan sosial publik. Dana didapat dari perpajakan (pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bisnis), pungutan bukan pajak (potongan gaji untuk asuransi. Pelayanan jaminan sosial sangat penting untuk:
1. Menjawab kebutuhan finansial terhadap kejadian yang tidak dapat diduga seperti
meningggalnya pekerja, berhenti bekerja atau kecelakaan kerja
2. Menjawab kebutuhan yang masih dibutuhkan yang berhubungan dengan cacat atau perawatan, tunjangan cacat berat.
3. Untuk mendukung keluarga sebagai unit sosial. Biasanya dikaitkan dengan keluarga inti, tetapi harus mengalami perkembangannya, termasuk layanan khusus seperti tunjangan anak, atau tunjangan orang tua tunggal.
4. Mencegah kemiskinan. Jaminan sosial diusahakan menjangkau individu atau keluarga yang tidak mempunyai nafkah yang jelas karena kondisi sosial ekonomi mereka yang parah. Namun, jaminan sosial dialokasi secara efektif lewat pendampingan sosial agar individu tidak terus menerus tergantung dari dana jaminan sosial
5. Menjadi instrumen redistribusi. Pengumpulan pajak dari setiap golongan masyarakat, harus diarahkan ke mereka yang memang layak dan membutuhkannya.
(Tim Riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Paramadina, 2008:70)
Di AS dan beberapa negara Eropa, seperti Perancis, jaminan sosial umumnya menyangkut asuransi sosial (social insurance), yakni tunjangan uang yang diberikan kepada seseorang sesuai kontribusinya yang biasanya berupa pembayaran premi. Asuransi kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, dan kematian adalah beberapa contoh asuransi sosial. Di negara lainnya, jaminan sosial mencakup bantuan sosial (social assistance), yakni bantuan uang atau barang yang biasanya diberikan kepada kelompok miskin tanpa mempertimbangkan kontribusinya. Anak telantar, jompo telantar, penyandang cacat yang tidak mampu bekerja biasanya merupakan sasaran utama bantuan sosial (Suharto:2007)
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Suharto, sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini masih fragmentatif karena dikelola oleh beragam perseroan terbatas dan belum mencakup penduduk secara luas dan merata. Pendekatan jaminan sosial bersifat residual yang parsial dan sporadis, meskipun kini cakupan dan durasinya sudah relatif lebih luas dan panjang, seperti program Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin), Asuransi Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (Askeskin), dan BOS.
Namun, Indonesia kini mempunyai UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang secara bertahap diarahkan untuk memperluas cakupan kepesertaan dan meningkatkan jenis jaminan sosial. SJSN mencakup 5 program, yang terbagi dalam program jangka pendek (Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja) dan jangka panjang (Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian), untuk pekerja sektor formal dan informal. Karakter utama dari mekanisme SJSN adalah asuransi sosial.
Namun, SJSN baru mencakup skema jaminan sosial bagi pekerja informal, belum melindungi kelompok masyarakat yang kurang mampu. Menurut Suharto (2008:168), hal itu karena dihadapi beberapa kendala, yakni:
1. Masih kurang efektifnya organisasi-organisasi sosial akar rumput sehingga belum bisa menjadi kelompok penekan terhadap penguasa dan pengusaha untuk bertindak
2. Biaya untuk mendanai asuransi sosial sangat tinggi, selain karena banyaknya kelompok sasaran juga karena mereka seringkali memiliki pendapatan yang relatif lebih kecil, tidak menentu dan bahkan tidak memiliki pendapatan sama sekali
3. Sangat beragamnya karakteristik sosial, ekonomi, budaya kelompok sehingga mempersulit pengumpulan kontribusi maupun penentuan jenis jaminan sosial
Upaya untuk mengatasi kekurangan yang terdapat dalam sistem jaminan sosial sebenarnya sudah dilakukan oleh Kementerian Sosial. Sejak tahun 1995, Kementerian Sosial telah menyelenggarakan program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP) sebagai bagian dari konsep Jaminan Kesejahteraan Sosial (Jamkesos). Orientasi utama Jamkesos adalah mengupayakan masuknya semangat inisiatif lokal ke dalam model asuransi. Jaminan sosial yang pada umumnya bersifat national based initiative, disesuai dengan model community based initiative. Dengan demikian, sistem jaminan sosial tidak hanya mengakomodir pekerja formal, namun juga pekerja informal seperti buruh, pedagang kaki lima dan sebagainya.
MODEL DAN PROGRAM ANTIKEMISKINAN
DI AMERIKA SERIKAT
Pandangan yang mendasari program atau kebijakan antikemiskinan di AS ada dua yakni residual dan universal
Pandangan Residual
Menekankan pada pertolongan pertama (First Aid). Pandangan ini beranggapan bahwa program kemiskinan diberikan hanya saat kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi oleh institusi kemasyarakat, yakni keluarga, dan ekonomi pasar. Bantuan dan pelayanan sosial tidak diberikan secara keseluruhan. Bantuan diberikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama atau diberikan pada saat darurat. Bantuan dihentikan setelah individu mampu menopang hidupnya sendiri lagi. Pandangan ini mengacu pada derma bagi kelompok yang kurang beruntung. Pemberian bantuan juga disertai persyaratan. Misalnya, individu yang ingin mendapatkan bantuan harus melakukan kewajiban seperti melakukan beberapa pekerjaan terlebih dahulu. Pandangan ini menyakini jika kemiskinan akibat kesalahan dari individu sendiri
Pandangan institusional
Pandangan ini berbeda dengan pandangan residual. Insitusional menekankan bahwa program antikemiskinan harus diterima semua lapisan, tanpa ada stigma atau dicap negatif yang diterima bagi mereka yang menerima bantuan. Institusional memandang kemiskinan bukan disebabkan oleh individu, namun karena faktor di luar kekuasaannya. Misalnya, seseorang menganggur karena keterbatasan lapangan kerja, bukan karena kemalasan individu tersebut.
Program penanggulangan kemiskinan
1. Program Asuransi Sosial (social insurance)
Dibiayai dari pajak pengawai, pejak pemberi kerja atau gabungan keduannya. Program ini didasarkan pada pandangan institusional. Contoh program Social Security, Medicare, asuransi pengangguran serta asuransi kompensasi pekerja. Old Age, Survivors, Disability and Health Insurance (OASDHI) yakni dibentuk atas dasar Social Security Act pada tahun 1935. merupakan program asuransi terbesar yang dirancang untuk mengantikan sebagian pendapatan yang hilang akibat pengunduran diri dari pekerjaan atau mengalami kecacatan.
Bantuan ini juga dibayarkan kepada pegawai yang diasuransikan. Jumlah pembayaran yang diterima didsarkan pada besarnya pendapatan ketika masih bekerja. Kelompok miskin dan kaya berhak memperoleh premi tersebut jika ia diasuransikan. Premi tersebut pengawai pada usian 65 tahun. Isteri, suami dan anak, termasuk dalam premi ini. Pendanaan program ini bersumber dari pajak (Federal Insurance Contribution Act/FICA) yang dibebankan secara merata kepada seluruh pegawai serta perusahaan yang mempekerjakan karyawan tersebut.
FICA telah berkembang menjadi lembaga penyimpan dana bagi OASDHI. Namun, liberalisasi premi serta peningkatan jumlah penerima dalam beberapa tahun terakhir telah memunculkan kekhawatiran mengenai proprsi jumlah uang yang harus dibayar yang ternyata lebih besar daripada yang diterimanya.
Program Medicare terpokus pada program asuransi kesehatan bagi warga negara yang berusia di atas 65 tahun. Seluruh anggota peserta jaminan hari tua OASDHI berhak menerima pelayanan ini. Medicare juga terkait dengan program asuransi kesehatan sukarela, terutama bagi mereka yang ingin memperoleh pelayanan dokter secara khusus. Medicare adalah program asuransi kesehatan publuk.
Unemployment Insurance yaitu program asuransi pengangguran yang juga dibentuk berdasarkan Social Security Act. Program ini difokuskan pada individu yang menjadi korban PHK atau dipecat dari perusahaan. Asuransi ini dibebankan dalam bentuk pajak kepada individu atau perusahaan pemberi kerja. Workers’s compensation insurance, yaitu program asuransi yang dibebankan dalam bentuk pajak kepada individu atau perusahaan pemberi kerja. Program ini untuk pembiayaan kesehatan bila sewaktu-waktu individu mengalami kecelakaan kerja.
2. Program bantuan publik
Program ini pendanaannya bersumber dari pemerintah. Program ini sering diidentifkan sebagai program kesejahteraan sosial. Program ini sifatnya residual. Untuk mendapatkan bantuan program ini, individu harus melalui test kepemilian aset dan utang yang ebrtujuan untuk menentuka berhak atau tidaknya seseorang mengikuti program ini.
Beberapa ciri program bantuan publik, yakni:
- Means test. Individu mendaftar dan diperiksa aset dan pendapatannya, baik pendapatan yang diperoleh (earned income) maupun pendapatan yang tidak diperoleh (unearned income). Pendapatan yang diperoleh seperti gaji dan upah. Sedangkan pendapatan yang tidak diperoleh berupa oebdaoatab dari program bantuan publik, swasta, hadiah, premi asuransi jiwa, saham, pendapatan sewa, warisan, bantuan atau derma dari individu lainnya dan pendapatan jenis lainnya.
- Bantuan sebagai derma. Penerima berhak secara hukum menerima bantuan ini. Di AS, masyarakat miskin tidak dilihat sebagai pemegang hak untuk menerima pendapatan minimum.
- Pendanaan. Program ini dibiayai oleh anggaran pemerintah yang diperoleh dari pajak penghasilan serta pajak kekayaan.
Bentuk program bantuan publik
1. Supplemental Security Income (SSI). Pemerintah federal membyar dana tuna bagi kelompok yang berusia 65 tahun, atau kelompok cacat yang membutuhkan bantuan keuangan. Syaratnya, penerima harus tidak memiliki atau memiliki sedikit sekali pendapatan regular tiap bulannya, memiliki sedikit kekayaan, serta aset tunai dan non tunai seperti saham, perhiasan, sertifikat dan sebagainya.
2. General Assistance. Program ini ditujukan bagi mereka yang membutuhan dana bantuan sementara. Program ini biasanya didanai dari pajak kekayaan. Jumlah bantuan tidak banyak agar mengurangi ketergantungan penerima bantuan pada program ini.
3. Medicaid. Program ini untuk bantuan kesehatan dan pelayanan rumah sakit bagi kelompok miskin. Program ini merupakan gabungan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Medicaid dikelola oleh pemerintah negara bagian dengan dibantu oleh pemerintahfederal di bidang pendanaan. Pembayaran bantuan secara langsung dikelola oleh penyedia pelayanan. Para calon penerima bantuan medicaid harus mengikuti tes.
4. Bantuan perumahan, yakni program in kind dan bukan program bantuan tunai. Umumnya, bantuan ini diberikan dalam bentuk rumah publik, biasanya merupakan proyek besar yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. Dalam program ini, para penerima program dibebankan biaya sewa atau cicilan yang rendah.
5. Aid to Families with Dependent Children (AFDC). Program ini ditujukan agar orang tua, khususnya ibu dengan anaknya yang masih kecil tetap tinggal di rumah agar dapat membesarkan anak-anaknya dengan baik. Sejak tahun 1935, nilai-nilai yang melingkupi ibu yang bekerja telah berubah. Ekspektasi yang berkembang adalah orang tua tunggal (ibu atau ayah) sebaiknya memiliki pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Untuk mendapatkan bantuan ini, syarat yang ditetapkan adalah bahwa anak-anak tersebut kehilangan dukungan dan perhatian orang tua akibat kematian salah satu orang tua, atau ketidakhadiran mereka di rumah atau karena orang tua mereka tidak pernah menikah. AFDC juga diberikan kepada keluarga yang lengkap dengan penghasilan rendah. Pendanaan berasal dari pemerintah federal dan negara-negara bagian. Pemerintah federal melalui Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat menentukan regulasi untuk mengimplementasikan hukum sendiri dengan berpedoman pada hukum pemerintah federal yang berisi kriteria kelompok yang dapat menerima bantuan.
Dari pengalaman di AS itu, maka dapat disimpulkan bahwa sumber ksejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara. Kesejahteraan dapat mengalir dari gaji atau pemasukan dari tempat atau perusahaan individu bekerja. Gaji yang layak dan aturan yang manusiawi dapat meberikan kehidupan sejahtera bagi warga negara. Adanya jaminan ketika mereka menghadapi masa sulit, seperti sakit dan PHK juga menjadi ukuran penting bagi kesejahteraan masyarakat.
Adanya kemampuan untuk menyisihkan sebagian dari pendapatannya jgua menjadi ukuran kesejahteraan awrga negara. Kemampuan itu dimungkinkan bila mereka sudah mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Sumber kesejahteraan juga bisa datang dari donasi warga yang lebih mampu secara sukarela. Pemberian sukarela tidak hanya dalam bentuk uang. Tetapi bisa dengan penjualan barang di bawah harga pasar, atau memberi tambahan waktu libur kepada para pekerja. Sementara peran negara bagi perwujudan kesejahteraan datang lewat kebijakan pemberian uang tunai dalam bentuk tertentu.
MODEL PROGRAM ANTIKEMISKINAN DI INDONESIA
Pemerintah sebenarnya telah mengupaya sejumlah strategi pelaksanaan program program sosial. Bentuknya berupa pemberdayaan sosial, jaminan sosial, rehabilitasi dan perlindungan sosial. Upaya pengentasan kemiskinan makin agresif dilakukan pemerintah seiring terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997. Selain JPS, melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 2001, pemerintah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Selain itu, upaya penengatasan kemiskinan juga dipertajam lewat Peraturan Presiden No.54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Indonesia melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Masih banyak lagi pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan lainnya seperti Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa (TPSPKUD), Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) dan Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD). Sejak tahun 2007, pemerintah kemudian gencar merealisasikan program pembangunan lintas sektoral ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang diluncurkan pada tahun 2007.
Jika mencermati sejumlah program pengentasan kemiskinan, pemerintah menerapkan sejumlah model:
1. Model Imperatif
Merupakan kebijakan sosial yang sifatnya terpusat. Seluruh tujuan sosial, jenis, sumber dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan sosial imperatif merujuk pada definisi kebijakan sosial yang diutarakan Dye (1976) merupakan “Social policy is concerned with what government do, what they do itu, and what difference it makes,” (Suharto, 2008:71). Model imperatif banyak diterapkan di negara sosialis yang sentralistik, seperti India, Afrika dan Amerika Latin.
Indonesia termasuk yang mengadopsi model imperatif yang dalam praktiknya diorganisir oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sejak era reformasi bergulir yang kemudian mendorong pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001 lalu, arah dan tujuan pembangunan yang ditetapkan pemerintah pun berubah. Konsep pembangunan tidak lagi ditentukan lewat kebijakan pemerintah pusat (top down). Namun, corak penentuan arah dan tujuan pembangunan bersifat desentralistik (bottom up) yang mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab pembangunan lebih besar kepada pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota.
Implementasi model imperatif dapat dilihat dari realisasi PNPM Mandiri. Program tersebut merupakan gerakan nasional yang dijalankan semua kalangan untuk menanggulangi kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja melalui upaya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandiriannya dalam tujuan peningkatan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan sosial. PNPM Mandiri diarahkan untuk menekan jumlah rakyat miskin, memperluas akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, pemukiman, infrastruktur, permodalan, dan informasi bagi masyarakat miskin.
PNPM juga merupakan bagian dari pelaksanaan kebiajakan percepatan penanggulan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005-2009 dan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Di tahun 2010 ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp11,8 triliun untuk bantuan langsung masyarakat dalam PNPM Mandiri. Dana tersebut akan dialokasikan untuk melanjutkan pelaksanaan PNPM Mandiri 2009 dengan tambahan satu program baru yakni PNPM di bidang perumahan dan permukiman yang dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. PNPM Mandiri di tahun 2010 dilaksanakan di 494 kabupaten atau kota dengan 6.321 kecamatan sasaran.
Selama tahun 2009, pemerintah telah mengalokasikan dana Rp11 triliun untuk bantuan langsung masyarakat PNPM Mandiri dengan komposisi 69 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 31 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). PNPM Mandiri tahun 2009 terdiri atas lima program utama yang dilaksanakan oleh empat kementerian di 6.408 kecamatan di 465 kabupaten atau kota.
Program utama PNPM Mandiri terdiri atas PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Mandiri Infrastruktur, PNPM Mandiri Daerah Tertinggal dan Khusus, dan PNPM Mandiri Sosial Ekonomi Wilayah. Selain itu ada juga program PNPM Mandiri yang sifatnya sektoral seperti PNPM Usaha Agribisnis Pedesaan, PNPM Kelautan dan Perikanan, dan PNPM Pariwisata.
2. Model indikatif
Kebijakan sosial dengan model indikatif menekankan pada upaya menyamakan visi dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah biasanya hanya menentukan sasaran kebijakan secara garis besar, sedangkan pelaksananya dilakukan oleh masyarakat atau badan swasta (lembaga swadaya masyarakat atau organisasi sosial). Pemerintah hanya memfasilitasi dan mengarahkan bidang-bidang pelayanan sosial tertentu yang menjadi prioritas utama.
Usaha-usaha pelayanan kesejahteraan sosial yang dikelola masyarakat dan swasta tidak dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Kebijakan sosial indikatif juga disebut kebijakan partisipatif yang banyak diterapkan di negara-negara maju seperti di Eropa Barat, Amerika Serikat dan Jepang. Karena bersifat partisipatif, kebijakan sosial model indikatif amat tergantung sistem demokrasi, karena perumusan kebijakan harus disetujui masyarakat.
Indonesia juga mengembangkan model indikatif, dengan menekankan fungsi pemberdayaan masyarakat tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah dan perusahaan atau swasta. Model indikatif berkembang seiring terjadinya desentralisasi di era otonomi saat ini, di mana upaya pembangunan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sejalan dengan aspirasi masyarakat di daerahnya.
Kebijakan indikatif yang diarahkan pada pembangunan sosial juga dilakukan oleh perusahaan. Pemerintah mewajibkan perusahaan-perusahaan besar memfokuskan pembangunan masyarakat yang menekankan tanggungjawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar yang dikenal dengan nama corporate social responsiblity (CSR). Tanggungjawab perusahaan dalam pembangunan sosial diamanatkan dalam UU CSR.
Program CSR pada dasarnya mengajak swasta tidak hanya berorientasi keuntungan ekonomi (profit oriented). Namun, juga memikul tanggungjawab sosial yang dibebankan perusahaan terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Perangkat hukum lainnya yang mewajibkan pelaksanaan CSR juga tercantum di UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Peraturan tentang CSR juga diatur dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.
3. Model Residual
Model residual dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Di Amerika Serikat, model residual direalisasikan dalam bentuk program-program bantuan publik (public assistance), seperti Supplemental Security Income (SSI), General Assistance, Medicaid, Food Stamps, Housing Assistance dan Aid to Families with Dependent Children (AFDC). Model residual lebih mengutamakan kepentingan kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur.
Pelaksanaannya lebih bersifat temporer, segera dihentikan saat penerima pelayanan sosial telah mampu mandiri dan berdikari dalam menghadapi kehidupan. Bantuan residual biasa juga diberikan kepada masyarakat yang menjadi korban bencana alam. Model residual yang diarahkan untuk menekan tingginya angka kemiskinan gencar dilakukan pemerintah saat menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia lewat beberapa program seperti Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Pemerintah sempat panik saat menghadapi lonjakan harga minyak dunia pada Mei 2008 lalu mendekati angka US$127 per barel. Di Indonesia, setiap kenaikan harga minyak US$1 akan meningkatkan nilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sebesar Rp3,7 triliun. Sementara skema APBN-P 2008 yang ditetapkan April 2008 menetapkan asumsi harga minyak sebesar US$95 per barel. Dengan asumsi ini maka besaran subsidi BBM mencapai Rp 126 triliun atau melonjak tiga kali lipat dari nilai yang ditetapkan dalam APBN 2008, yaitu Rp 45 triliun dengan asumsi harga minyak US$60 dolar per barel. Sementara sebagian besar subsidi BBM lebih dinikmati oleh golongan masyarakat mampu dibanding golongan masyarakat miskin. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), distribusi konsumsi BBM sebesar 70 persen dinikmati oleh 40 persen kelompok masyarakat golongan atas. Apabila harga minyak sepanjang 2008 mencapai 110 dolar AS per barel maka nilai subsidi BBM dalam APBN yang dinikmati golongan atas ini akan mencapai Rp 186 triliun atau kurang lebih sebesar tiga kali alokasi untuk program pengentasan kemiskinan.
Karena itu, pada Mei 2008, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 28,7 persen. Kenaikan tersebut tentu akan mendorong naiknya harga barang kebutuhan pokok sehingga dapat menurunkan daya beli masyarakat, terutama daya beli masyarakat miskin. Kebijakan menaikan harga BBM juga berpengaruh tingginya ongkos produksi industri sehingga dikhawatirkan akan menambah jumlah pengangguran dan semakin banyak jumlah rakyat miskin. Untuk mengantisipasi resiko semakin meningkatnya kemiskinan, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan residual lewat BLT, Raskin, Jamkesmas dan sebagainya. Objek yang menjadi sasaran program tersebut adalah masyarakat miskin.
4. Model Selektifitas
Kebijakan sosial yang diterapkan Indonesia lebih bersifat selektifitas yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial warga masyarakat tertentu saja, seperti wanita jompo, anak-anak terlantar, penyandang cacat. Kelompok atau individu yang menjadi perhatian adalah mereka yang memiliki kendala permanen dalam melakukan aktivitas kehidupan. Di Inggris dikenal dengan the Poor Law yang dirancang untuk orang miskin. Namun, karena tidak efektif dan menimbulkan stigma bagi penerimanya, sistem ini diganti oleh welfare state. Orientasi kebijakan mulai mengalami perubahan karena pemerintah dihadapi keterbatasan dana. Sementara kebutuhan lain seperti pendidikan, pembangunan infrastruktur, penyedian kesehatan sangat mendesak. Karena itu, pemerintah tidak lagi memberikan bantuan, namun bantuan yang diberikan diharapkan dapat memberdayakan kapasitas individu yang rentan.
Hanya memberikan perhatian masyarakat tua dan mendirikan panti-panti asuhan yang dikelola oleh sejumlah LSM yang dibiayai pemerintah. Syarat utama untuk mendapatkan pelayanan dilihat dari ketidakmampuan individu akibat kemiskinan, cacat, anak terlantar dan sebagainya.
Model selektifitas merupakan alternatif untuk menekan terjadinya inefisiensi anggaran negara dalam memberikan pelayanan sosial. Namun, implementasi model selektifitas juga tidak mudah karena ketidakmampuan pemerintah memobilisasi masyarakat miskin yang jumlahnya makin meningkat.
Dengan demikian, meski bantuan dialirkan, tetap saja banyak kaum miskin yang mengemis di sekitar sudah kota dan menetap secara ilegal di sekitar pinggiran kota. Model selektifitas juga semakin mengukuhkan klaim kelas kaya dan stigma kepada kelompok miskin. Pemberian pelayanan sosial pun tidak berkualitas. Mereka yang masuk kategori kelompok miskin hanya mendapatkan bantuan tanpa disertai upaya memberdayakan kapasitas dan kemampuannya agar lepas dari belenggu kemiskinan. Sementara kelompok kaya, karena dirinya memiliki uang, maka dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan maksimal dari negara seperti dalam pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Model selektifitas diarahkan untuk:
1. Kelompok Rentan
Model selektifitas umumnya diterapkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia karena dihadapi persoalan dalam pendanaan. Dengan alokasi dana yang terbatas, program model selektifitas diarahkan pada kelompok tertentu saja seperti kaum miskin, penyandang cacat dan kelompok rentan lainnya.
Beberapa kelompok rentan yang menjadi target utama penerapan model selektifitas yakni pekerja bergaji atau tidak bergaji dari sektor informal dan informal, perkerja dalam lingkungan kerja berbahaya, setengah pengangguran dan penggangguran terbuka.
Progam pelayanan sosial yang diberikan kepada mereka berupa fasilitas asuransi jiwa, akses informasi lapangan kerja, pelatihan guna peningkatan keterampilan dan kapasitas, mendorong penetapan standar upah minum, pembayaran pesangon, advokasi akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), tunjangan pengangguran dan sebagainya.
Program tersebut mengadopsi poor law adalah UU untuk mengatasi kemiskinan, tetapi UU itu dengan tidak memberikan bantuan. Jadi, bagi mereka yang miskin dan tidak bekerja, mereka diberikan bantuan, langsung disalurkan ke lapangan kerja. yang diberikan bantuan hanya anak-anak dibawah umur, dan lanjut usia. itu diberikan bantuan. tetapi selama masih ada keluarga, maka dia kembali ke keluarganya. tetapi kalau dia tidak punya keluarga lagi, maka yang lanjut usia ditempatkan di panti.
Pengembangan panti asuhan dipengarui oleh inggris. kalau misalnya untuk anak-anak, dia bisa dimasukan ke panti, tetapi bisa juga diberikan ke orang tua asuh. Sebetulnya, karena kita dijajah belanda, sebetulnya dan belanda itu eropa, dan eropa itu mengikuti kebijakan Inggris, maka sebetulnya Belanda juga menganut kebijakan poor law. Jadi, di Belanda juga diberlakukan. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah telah menyusun perangkat hukum seperti UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU itu mengatur:
- Hak-hak dasar pekerja atau buruh, menjamin persamaan kesempatan kerja yang bebas dari diskriminasi, serta mewujudkan kesejahteraan hidup pekerja dan keluarganya.
- Hak pekerja atau buruh mendapatkan pembekalan, pelatihan dan bentuk kegiatan lainnya dalam rangka meningkatkan keterampilan.
- Hak pekerja atau buruh perempuan untuk memperoleh istirahat (cuti) karena melahirkan atau keguguran (miscarried).
- Hak pekerja atau buruh mempunyai akan keselamatan dan kesehatan kerja
- Hak pekerja atau buruh atas penghasilan yang layak (upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena kegiatan di luar pekerjaan dan sebagainyua)
- Hak akan jaminan sosial tenaga kerja
- Hak membentuk organisasi sebagai wadah aspirasi di lingkungan kerja
- Hak mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan buruh sebagai akibat gagalnya perundingan.
2. Bantuan Sosial (social assistance)
Bantuan Sosial diberikan kepada kelompok rentan karena tidak lagi memiliki daya dan upaya dalam bekerja akibat kemiskinan, rendahnya pendidikan, penyandang cacat, lanjut usia, orang dengan kecacatan fisik dan mental, kaum minoritas, yatim piatu, orang tua tunggal, pengungsi, korban bencana alam atau konflik sosial dan sebagainya. Bentuk program yang direalisasikan seperti beras miskin (raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan sebagainya.
Realisasi program bantuan sosial semakin banyak digunakan dan dianjurkan oleh institusi keuangan internasional untuk mengatasi kemiskinan di negara berkembang, yaitu melalui bentuk social safety net(Jaring Pengaman sosial/JPS), seperti program Direct Cash Transfer (DCT) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Penerapan BLT sebenarnya bukanlah barang baru. Program sosial berupa pemberian subsidi langsung kepada masyarakat miskin dinilai lebih efektif daripada pemberian subsidi harga produk, misalnya subsidi harga bahan bakar minyak (BBM).
Namun, program BLT bentuknya beranekaragam.
Ada yang sifatnya reguler berupa tunjangan sosial (social security), ada juga yang sifatnya nonreguler (occasional ) seperti BLT yang diberikan di Indonesia. BLT umumnya disebut sebagai cash transfer atau cash benefit. Pada umumnya, semakin maju dan semakin tinggi pendapatan suatu negara, semakin mereka mampu memberikan tunjangan secara reguler kepada rakyatnya yang berpenghasilan rendah. Sedangkan di negara miskin dan negara sedang berkembang umumnya sifatnya masih nonreguler, yang umumnya hanya diberikan pada saat-saat sulit saja.
Program sosial berupa pemberian subsidi langsung sangat populer di masyarakat miskin. Namun, kebijakan tersebut tidak harus terus dilakukan karena tidak mendidik dan mendorong masyarakat untuk mandiri. Opsi yang harus dilakukan ke depan adalah menggelola dana subsidi buat rakyat untuk menggerakan usaha sehingga mendorong kemandirian ekonomi masyarakat.
5. Asuransi Sosial (social insurance)
Asuransi Sosial didesain untuk memberikan manfaat kepada seseorang yang pendapatannya terputus karena kondisi sosial dan ekonomi atau karena ketidakmampuan mengendalikan solusi secara individu. Asuransi sosial hanya diberikan kepada para peserta sesuai dengan kontribusinya berupa premi atau tabungan yang dibayarkannya. Asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja, asuransi kecelakaan kerja, asuransi kecacatan, asuransi hari tua, pensiun dan kematian adalah beberapa bentuk asuransi sosial yang banyak diterapkan di banyak negara.
Pelayanan asuransi sosial ditegaskan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jenis program yang diberikan antara lain: jaminan kesehatan dalam bentuk pelayanan, jaminan kecelakaan kerja dalam bentuk pelayanan dan uang, jaminan hari tua dan bentuk lump sum sejumlah uang, jaminan pensiun berupa dana yang diberikan bulanan dan jaminan kematian berupa biaya pemakaman.
Asuransi Sosial ditawarkan melalui beberapa bentuk oleh pemerintah dan bersifat wajib (compulsory basis). Jenis Asuransi Sosial di Indonesia berupa asuransi sosial tenaga kerja, asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan.
4. Perlindungan Anak (child protection)
Tanggungjawab sosial yang dibebankan negara kepada anak tercantum dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap anak harus dilakukan untuk mempertahankan masa depan generasi yang akan datang sebagai penerus cita-cita bangsa. Karena itu, semua anak harus mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.
Karena itu, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak, juga telah dibentuk kelembagaan yang berada di bawah Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
PROBLEM YANG DIHADAPI
Bagi Indonesia, penting kiranya mempelajari model penerapan jaring pengaman sosial dengan negara lain yang sukses menekan angka kemiskinan. Jika mencermati realitas kemiskinan di Indonesia, tak berlebihan jika upaya mengentaskan kemiskinan dengan segala bentuk program yang sudah dilakukan belum maksimal menekan angka kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang masih dihadapi bangsa Indonesia hingga kini.
Hal itu dapat dilihat dari tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2009 lalu, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan periode yang sama di tahun 2008, angka kemiskinan memang menunjukan penurunan. Pada Maret 2008 lalu, BPS mengumumkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta atau 15 persen dari total penduduk Indonesia. Angka kemiskinan di tahun 2008 itu juga lebih rendah atau turun 2,21 juta jiwa dibandingkan tahun 2007 yang mencapai 37,17 juta warga miskin di seluruh Indonesia.
Meski menunjukan angka penurunan, bukan berarti upaya mengentaskan kemiskinan yang dilakukan pemerintah sudah berhasil secara maksimal karena angka kemiskinan sering bergerak secara fluktuatif dari tahun ke tahun. Data pada periode 1996-1999 menunjukan jika jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta. Krisis ekonomi mengakibatkan angka kemiskinan meningkat tajam, dari 34,01 juta jiwa orang miskin di tahun 1996 meningkat menjadi 47,97 juta jiwa pada tahun 1999. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta jiwa pada Februari tahun 2005. Namun pada Maret tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu mencapai 39,30 juta jiwa.
Tingginya angka kemiskinan menunjukan program-program sosial yang dilaksanakan pemerintah belum mampu menjawab permasalahan sosial. Program pengentasan kemiskinan pada dasarnya merupakan program jangka panjang yang harus dilakukan lewat perencanaan komprehensif dan lintas sektoral. Model pendekatan pengentasan kemiskinan juga harus diarahkan lewat pemberdayaan agar individu maupun masyarakat kelak dapat mandiri dalam menjalani kehidupan.
PNPM Mandiri
Program PNPM Mandiri sebenarnya merupakan hasil evaluasi dari kelanjutan berbagai program sebelumnya. PNPM Mandiri merupakan program yang disusun dari hasil evaluasi kendala sejumlah program pemberdayaan masyarakat lainnya, sekaligus sebagai upaya sinkronisasi semua program yang masih berjalan.
Sasaran dari pemanfaatan langsung PNPM Mandiri adalah kelompok masyarakat miskin, kelompok pengangguran dan pencari kerja dan kelembagaan masyarakat. PNPM diarahkan pada perluasan kesempatan kerja melalui upaya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandiriannnya dalam tujuan peningkatan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menjalankan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan didukung oleh berbagai kalangan atau pemangku kepentingan lainnya.
Pelaku di dukung oleh berbagai kalangan atau pemangku kepentingan lainnya. Pelaku utama pembangunan adalah masyarakat sendiri. Sementara pemeritnah mendorong pelaksanaan PNPM melalu pengembangan sistem dan disain program, penyediaan pendampingan serta pendanaan stimulan dalam wadah PNPM Mandiri yang akan mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam menjalankan upaya penanggulanangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja secara berkelanjutan.
PNPM Mandiri juga merupakan instrumen program untuk percepatan pencapaian Millenium Development Goals hingga tahun 2015. Pada tahun 2007. PNPM Mandiri dimulai dengan mengabungkan program program PPK dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan di 1993 Kecamatan di perdesaan dan 834 kecamatan di perkotaan. Mulai tahun 2008, seluruh program penanggulangan kemiskinan berbasis pemebrdayaan masyarakat dan lembaga digabungkan ke dalam PNPM Mandiri.
Tujuan umum PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan miskin dan meningkatkan kesempatan kerja. Tujuan khusus yang akan dicapai adalah
• Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok yang belum dilibatkan secara optimal dalam proses pembangunan.
• Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel
• Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro poor budgeting)
• Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok swasta, media, LSM dan sebagainya untuk lebih mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan
• Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta pemerintah daerah serta kelompok penduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya
(Tim Pengendali PNPM Mandiri, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahtaraan Rakyat, 2007).
Jika mencermati realisasinya, PNPM selama ini masih berorientasi pada pembangunan fisik, belum diarahkan pada pemberdayaan masyarakat. Padahal, program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah harusnya mampu memberdayakan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. PNPM Mandiri masih mengacu pada alokasi dana untuk menutupi kekurangan angaran pada rumah tangga, pendidikan dan kesehatan, kurang pada usaha memberdayakan masyarakat agar lebih produktif.
Realisasi PNPM Mandiri juga didominasi pemerintah pusat, mulai dari alokasi dana, mengirim fasilitator, hingga mengerjakan kegiatan di perdesaan. Tulang punggung mengatasi kemiskinan adalah mengarahkan si miskin agar memiliki kemampuan dalam perlindungan sosial sehingga mampu mempertahankan diri dari ancaman kemiskinan. Kemampuan masyarakat melindungi dirinya dari kemiskinan sangat penting karena kemiskinan adalah realitas yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu.
Pemerintah juga seakan kurang menyadari bahwa pengalokasian anggaran dengan jumlah yang besar untuk Program PNPM Mandiri tidak dapat terus menerus dilakukan. Untuk itu, ke depannya perlu dipikirkan realisasi sebuah program yang sumber pendanaan tidak lagi bergantung pada anggaran yang disediakan pemerintah. Pemerintah perlu memikirkan cara agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengembangkan serta memiliki skema pendanaan yang efektif.
Semisal dengan dikembangkan skema pengembangan Lembaga pengemban Dana Amanah/LPDAM (Community Trust Fund). LPDA dibentuk sebagai model penyaluran dana dalam mendukung skema pendanaan yang berkelanjutan bagi program penanggulangan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja berdasar pada kebutuhan masyarakat/kelompok pemanfaat. Pelaksanaan lembaga dana amanah masyarakat sebenarnya sudah banyak dijalankan di berbagai daerah.
Di Kota Palu misalnya, masyarakat di sana sangat antusias mengembangkan program ini dan menjalankannya dengan baik. LPDA yang ada tersebut pada awalnya dimulai dengan memberikan dana stimulan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp50 juta dan mampu menghimpun dana dari Pemerintah Daerah dan masyarakat hingga mencapai 600 juta rupiah. (Sujana Royat, PNPM dan Program Percepatan Pengentasan Kemiskinan, Majalah Komite, Edisi November 2006).
Dalam konteks ini, ada baiknya pemerintah belajar dari pengalaman model pemberdayaan masyarakat yang pernah sukses diterapkan Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 yang sukses melepaskan ribuan rakyat Banglades dari belengu kemiskinan. Yunus meraih penghargaan maha tinggi lewat Grameen Bank, sebuah bank yang berhasil menggerakkan ekonomi rakyat miskin. Grameen Bank sebagai karya monumental karena menggabungkan kapitalisme dan tanggung jawab sosial, khususnya bagi rakyat miskin.
Yunus rela mengucurkan sebagian besar kekayaannya untuk membantu permodalan bagi rakyat miskin lewat Grameen Bank miliknya. Sejak tahun 1976, Gremeen Bank telah beroperasi untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin di Bangladesh, khususnya perempuan, tanpa jaminan. Usaha tersebut berhasil. Yunus pun mendapat gelar Banker of The Poor (bankir untuk kaum miskin). Indonesia patut menerapkan model pengentasan kemiskinan yang diterapkan Yunus untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di daerah.
Problem di Indonesia adalah minimnya respon perbankan untuk mengucurkan modal kepada masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya. Di Indonesia memang ada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Namun, BRI baru memiliki sekitar 5.000 kantor cabang di seluruh Indonesia. Sementara yang dibutuhkan untuk merambah ke seluruh wilayah Indonesia ada 25 ribu kantor cabang. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan membutuhkan peran pemerintah untuk mendorong para bankir dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pengembangan mikro kredit agar memberikan akses permodalan kepada masyarakat miskin agar mereka dapat mengembangkan usahanya. Model pembangunan Yunus pada dasarnya menitiberatkan pentingnya upaya pemerintah memperluas sistem kredit keuangan secara kesuluruhan supaya dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Dana kredit itu diarahkan pada upaya micro enterprises bagi kelas kecil dan menengah. Untuk menerapkan pola hubungan bank dengan masyarakat, pemerintah harus lebih mengoptimalkan peran perbankan dan LSM dalam mengoptimalkan rencana secara nasional model pembangunan berbasis kelompok UKM di perdesaan seluruh Indonesia. Pemerintah dapat mengeluarkan suatu kebijakan yaitu menetapkan 20 persen dari portofolio kredit disalurkan untuk micro financing program, yang kemudian dikontrol ketat lewat pendampingan terencana yang dilakukan oleh LSM yang fokus pada pengembangan UKM.
Secara konseptual, PNPM Mandiri memang sangat ideal. Namun, bukan berarti tidak memiliki celah masalah dalam pelaksanaan program tersebut. Jika mencermati konsepnya, program PNPM Mandiri didesain sebagai program jangka pendek. Padahal, program pengentasan kemiskinan pada dasarnya merupakan program jangka panjang yang harus dilakukan lewat perencanaan komprehensif dan lintas sektoral, dan menekankan pentingnya evaluasi guna memastikan program tersebut on the track dengan tujuan ideal yang telah ditetapkan. PNPM Mandiri rencananya akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015.
Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan MDGs. Dalam rentan waktu yang singkat, agak sulit memastikan pengentasan kemiskinan lewat program PNPM Mandiri dapat berhasil optimal. Sebagai program pembangunan sosial, PNPM Mandiri harus didesain lewat perencanaan jangka panjang, yang prosesnya berlangsung secara terus menerus, bukan sekedar dikerjakan sekali saja.
Dalam setiap tahap pelaksanaannya, perlu juga dilakukan evaluasi dan pengawasan (monitoring). Monitoring adalah proses pengumpulan dan analisis informasi (berdasarkan indikator yang ditetapkan) secara sistematis dan kontinue tentang kegiatan program sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi untuk penyempurnaan program itu selanjutnya. Sementara evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja program untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja program. (Hikmat:2010). Untuk itu, perlu mengidentifikasi apa saja masalah yang kerap dijumpai dalam setiap tahap pelaksanaan program PNPM.
Faktor penting lainnya dalam mendorong efektifitas model imperatif adalah koordinasi antarinstitusi. Di Indonesia, persoalan ego sektoral antarinstitusi pemerintah masih tinggi. Hal itu bisa dilihat dari masing-masing departemen atau instansi yang menerapkan model dan program yang berbeda meski sebenarnya tujuannya sama.
Pembangunan sosial yang berskala makro membutuhkan aksi kolektif dari di lingkungan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan publik yang memang mutlak memerlukan integrasi. Setiap institusi harus dapat semaksimal mungkin mengurangi kepentingannya masing-masing, namun lebih pada pendistribusian peran dan fungsi dan kerjasama antar institusi dalam merealisasikan program pembangunan.
Dalam program penanggulangan kemiskinan, masing-masing institusi berorientasi pada pencapaian programnya sendiri-sendiri. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang dilaksanakan Departemen (Kementerian) Pertanian, Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dilaksanakan Kementerian Sosial , Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa (TPSPKUD) oleh Kementerian Koperasi, Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri, dan program lainnya yang dilaksanakan kementerian lainnya.
Variasi program tersebut menunjukan pemerintah belum memiliki skema makro yang dapat memastikan penyelenggaran pembangunan nasional secara kolektif, terorganisir dan berkesinambungan. Akibatnya, kurang efektifnya kinerja kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan tesebut. Pelaksanaan program perlindungan sosial di Indonesia juga masih bersifat parsial, residual, terkotak-kota dan tidak terkoordinasi dengan baik. Persoalan juga terkait dengan dana masing-masing departemen yang menangani masalah kemiskinan. Akibatnya seringkali misalnya Departemen Sosial yang memiliki anggaran kecil hanya mampu menyelenggarakan program-program kesejahteraan yang bersifat belas kasian bergaya sinterklas atau Robinhood.
Asuransi Sosial
Pemerintah juga mengembangkan program asuransi sosial yang didesain untuk memberikan manfaat kepada seseorang yang pendapatannya terputus karena kondisi sosial dan ekonomi atau karena ketidakmampuan mengendalikan solusi secara individu. Pelayanan asuransi sosial ditegaskan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jenis Asuransi Sosial di Indonesia berupa asuransi sosial tenaga kerja, asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan.
Namun, sistem jaminan sosial di Indonesia saat ini masih fragmentatif karena dikelola oleh beragam perseroan terbatas dan belum mencakup penduduk secara luas dan merata. Pendekatan jaminan sosial bersifat residual yang parsial. Di AS dan beberapa negara Eropa, seperti Perancis, jaminan sosial umumnya menyangkut asuransi sosial (social insurance), yakni tunjangan uang yang diberikan kepada seseorang sesuai kontribusinya yang biasanya berupa pembayaran premi. Asuransi kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, dan kematian adalah beberapa contoh asuransi sosial. Di negara lainnya, jaminan sosial mencakup bantuan sosial (social assistance), yakni bantuan uang atau barang yang biasanya diberikan kepada kelompok miskin tanpa mempertimbangkan kontribusinya. Anak telantar, jompo telantar, penyandang cacat yang tidak mampu bekerja biasanya merupakan sasaran utama bantuan sosial (Suharto:2007).
Jaminan sosial adalah sistem penyimpanan dan pengelolaan dana negara yang dipakai untuk membiayai berbagai layanan sosial publik. Dana didapat dari perpajakan (pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bisnis), pungutan bukan pajak (potongan gaji untuk asuransi.
Pelayanan jaminan sosial sangat penting untuk:
1. Menjawab kebutuhan finansial terhadap kejadian yang tidak dapat diduga seperti meningggalnya pekerja, berhenti bekerja atau kecelakaan kerja.
2. Menjawab kebutuhan yang masih dibutuhkan yang berhubungan dengan cacat atau perawatan, tunjangan cacat berat.
3. Untuk mendukung keluarga sebagai unit sosial. Biasanya dikaitkan dengan keluarga inti, tetapi harus mengalami perkembangannya, termasuk layanan khusus seperti tunjangan anak, atau tunjangan orang tua tunggal.
4. Mencegah kemiskinan. Jaminan sosial diusahakan menjangkau individu atau keluarga yang tidak mempunyai nafkah yang jelas karena kondisi sosial ekonomi mereka yang parah. Namun, jaminan sosial dialokasi secara efektif lewat pendampingan sosial agar individu tidak terus menerus tergantung dari dana jaminan sosial
5. Menjadi instrumen redistribusi. Pengumpulan pajak dari setiap golongan masyarakat, harus diarahkan ke mereka yang memang layak dan membutuhkannya. (Paramadina, Tim Riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, 2008:70)
Evaluasi
Evaluasi merupakan instrumen penting guna memastikan arah pembangunan kedepan tetap on the track. Evaluasi menuntut penyusunan kebijakan terus menerus belajar mencermati realitas sosial. Tatkala ditemukan banyak problem dalam implementasi, maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan maupun program yang pro poor (berpihak pada rakyat miskin).
Evaluasi merupakan suatu metode objektif dan sistematis untuk melihat keberadaan suatu program pembangunan. Masih tingginya angka kemiskinan menunjukan jika sejumlah program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum berhasil secara maksimal. Evaluasi program pengentasan kemiskinan menjadi penting karena persoalan kemiskinan merupakan masalah sosial yang selalu berkembang dinamis. Evaluasi tidak hanya dilakukan setelah program dilaksanakan. Evaluasi dilakukan setiap tahap pelaksanaan program guna memastikan arah program berjalan sesuai rencana.
Evaluasi ditujukan untuk mengukur hasil yang dicapai, baik keberhasil maupun kegagalan. Metode evaluasi harus bersifat obyektif dan sistematik untuk melihat keberadaan suatu program pembangunan serta mengukur kemampuan untuk berkembang lebih baik.
Evaluasi mencakup seluruh proses suatu program pembangunan, mulai dari awal program (meneliti kebutuhan mendesak, memfokuskan perencanaan), rencana program (prioritas), pelaksanaan program (formatif) dan hasil program summatif. Dari evaluasi maka akan melahirkan beberapa kesimpulan yakni:
1. Meneruskan atau menghentikan program
2. Memperbaiki pelaksanaan dan prosedurnya
3. Menambah atau mengurangi strategi dan teknik tertentu dari program
4. Melembagakan program yang sama ditempat lain
5. Mengalokasikan sumber-sumber di antara program-program yg bersaing
6. Menerima atau menolak suatu pendekatan atau teori untuk pelaksanaan program
7. Menetapkan kebutuhan (need assessment) untuk menetapkan prioritas
Brigman dan Davis dalam (Suharto, 2008:41) menjelaskan sedikitnya adalah epat model evaluasi yang bisa diterapkan, yakni
1. Evaluasi Ketetapatan (Appropriatness Evaluation)
Dilakukan untuk membantu pembuat kebijakan dalam menentukan, apakah suatu program yang baru perlu dibuat, atau apakah program yang ada masih harus dipertahankan.
2. Evaluasi Efisiensi (Efficiency Evaluation)
Menghitung seberapa besar barang dan jasa mampu menghasilkan sesuai dengan sumberdaya yang dikeluarkan
3. Evaluasi efektifitas (Efectiveness Evaluation)
Mengindentifikasi apakah sebuah program menghasilkan dampak yang bermanfaat bagi publik
4. Evaluasi meta (meta evaluation).
Mengevaluasi proses evaluasi itu sendiri. Apakah lembaga-lembaga yang melakukan evaluasi menerapkan model dan metode evaluasi yang profesional, prosedur evaluasinya sesuai dengan langkah-langkah evaluasi yang tepat, dan apa kriteria evaluasi sesuai dengan variabel-variabel yang diukur.
Hikmat menekankan sebuah program sosial diharapkan mempunyai beberapa ciri sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan.
Dalam arti akan mencapai suatu keadaan di masa depan yang diinginkan. Kondisi di masa yang akan datang ini adalah terpecahkannya masalah dalam sistem klien.
2. Adanya rancangan tentang beberapa program intervensi.
Setelah tujuan ditetapkan, maka dirancang beberapa program yang dapat mencapai tujuan, artinya tidak terkonsentrasi kepada salah satu program dulu. Suatu pendekatan yang sistemik, dengan cara pandang yang holistik, sehingga program tersebut telah dikaji secara komprehensif diharapkan dapat dilaksanakan, merupakan upaya untuk memecahkan masalah dalam sistem klien.
3. Pernyataan tentang pilihan.
Dalam rumusan pengertian tentang perencanaan tersebut, dengan jelas dikemukakan adanya pemilihan. Dari beberapa program yang masing-masing dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, lalu dipilih salah satu program untuk dilaksanakan. Adanya rancangan beberapa program, juga pilihan salah satu program terkait dengan pelaksana program itu sendiri, artinya dapat saja seluruh program tersebut dilaksanakan, tetapi pelaksana program disesuaikan dengan Departemen/Instansi /Organisasi yang terkait
4. Berorientasi pada perubahan.
Dalam pencapaian tujuan terkandung pengertian bahwa keadaan di masa depan yang akan dicapai berbeda dari keadaan sekarang. Dengan demikian perencanaan sosial bermaksud mengadakan perubahan.
5. Rasional.
Perencanaan sosial dikatakan rasional karena pilihan-pilihan yang dilaksanakan didasarkan atas kriteria tertentu yang telah diharapkan. Sejauh mana pilihan-pilihan dilakukan atas dasar kriteria yang sudah ditetapkan menunjukkan tingkat kerasionalannya.
6. Kolektif. Perencanaan sosial dikatakan kolektif karena tidak dilakukan untuk dan oleh satu orang, satu instansi, satu departemen atau satu lembaga saja.
7. Perencanaan sosial merupakan proses yang kontinue.
Di sini maksudnya adalah bahwa rencana yang sudah dibuat akan selalu ditinjau dan diperbaiki kalau dalam pelaksanaan ternyata tidak sesuai lagi dengan keadaan yang berubah.
8. Tidak dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan.
Untuk dapat diterima dan dilaksanakan, maka perencanaan sosial harus mempunyai kekuatan yang dimiliki oleh pengambil keputusan, sehingga untuk dapat dilaksanakan maka pengambil keputusan harus menetapkan agar rencana yang telah disusun harus dilaksanakan.
AKIBAT PEMBANGUNAN YANG TERDISTORSI
Jaring pengaman sosial atau program antikemiskinan lainnya dilaksanakan sejumlah negara setelah dihadapi kegagalan pembangunan di era globalisasi dewasa ini. Sejumlah ilmuan sosial menilai globalisasi membawa dampak multiplier effect yang luar biasa terhadap kehidupan manusia. Midgley (1995:5) memandang realitas kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan implikasi proses pembangunan mengalami distorsi (distorted development). Ia mengkritik pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial (social development). Pandangan tersebut mengacu pada prespektif struktural dengan mengamati masalah kemiskinan akibat dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk teknologi modern. Penetrasi kapital telah mengakibatkan proses pembangunan mengarusutamakan pada pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemertaan (equity) hasil pembangunan.
Midgley mencontohkan problem distribusi pendapatan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di negara-negara kawasan Amerika Latin. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin mengalami pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri yang signifikan. Namun, upaya memperbaiki kualitas hidup penduduknya sangat minim. Realitas serupa juga ditemukan di beberapa negara kawasan Asia dan Afrika.
Di Indonesia, momentum pertumbuhan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir (1998-2008) menunjukan angka kenaikan nyatanya belum maksimal membebaskan warganya dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 minus 13,1 persen. Di tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5,1 persen. Cadangan devisa yang semula US$33,8 miliar, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang menembus angka 6,1 persen belum memicu pemerataan pembangunan sehingga kemiskinan tetap langgeng di negara ini. Klaim pemerintah yang menyatakan telah terjadi pertumbuhan ekonomi makro nyatanya belum dinikmati masyarakat di level menengah ke bawah. Pertumbuhan ekonomi makro belum menjadi stimulus yang mampu menggerakan ekonomi mikro atau sektor riil yang bersentuhan langsung dalam aktivitas masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Selain itu, Fukuyama (2005:305) mengkritik lebih tajam. Pembangunan berkiblat pada ideologi kapitalisme dan modernitas dinilainya lebih banyak menguras modal sosial daripada menghasilkannya. Gejala itu dilihat dari menyempitnya radius kepercayaan, kejahatan merajalela, ikatan keluarga makin longgar dan munculnya kerisauan sosial. Fukuyama menilai negara-negara maju yang menjadi kiblat kapitalisme hanya menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing, tetapi tidak mampu membangunnya kembali. Kapitalisme seakan menjadi takdir bagi masyarakat kaya untuk lebih kaya, tetapi miskin moral seiring perjalan waktu.
Sementara Gidden (2004:231) menilai, globalisasi adalah konsekwensi fundamentalis modernitas. Institusi barat melakukan disfusi untuk menghancurkan budaya lain. Proses perkembangannya yang tidak seimbang memperkenalkan bentuk baru yaitu ketergantungan dunia. Fakih (2005:62) menilai, globalisasi dengan jargon pembangunanisme dan pertumbuhan (growth) terbukti tak hanya melanggengkan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial, namun telah mengantarkan sebagian besar negara Dunia Ketiga menuju kehancuran peradaban.
Model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan diperkenalkan Adam Smith. Dalam karyanya An Inquiry into the Nature And Causes of the Wealth of Nations, Smith menyakini mekanisme pasar bebas dapat mendorong efisiensi kegiatan perekonomian. Smith dalam Sukirno (2005:448) menentang intervensi negara atau pemerintah dalam kegiatan perekonomian, termasuk penyediaan barang dan jasa. Smith juga menekankan pentingnya perluasan pasar yang memicu industri melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk menjual kepada masyarakat. Smith menekankan pentingnya pasar bebas yang bergerak menurut mekanisme pasar yang dianggapnya secara otomatis bisa memproduksi barang dan jasa yang disenangi dan diperlukan konsumen. Semakin luas pasar, makin tinggi tingkat produksi.
Smith juga menekankan pentingnya spesialisasi dan kemajuan teknologi yang akan meningkatkan produktifitas sehingga menaikkan pendapatan pekerja (Sukirno, 2005: 448). Smith meletakan pasar bebas sebagai prinsip universal. Setiap manusia memiliki keinginan untuk memajukan kehidupannya sendiri menjadi lebih baik (the universal desire to better his own condition). Bagi Smith, self interest (kepentingan pribadi) merupakan motivasi utama yang mendorong manusia untuk mengadakan aktivitas ekonomi. Tanpa self interest, aktivitas ekonomi tidak pernah akan terjadi.
Pandangan Smith pada dasarnya memposisikan setiap orang cenderung mencari keuntungan untuk dirinya, tetapi dia dituntun oleh tangan gaib untuk mencapai tujuan akhir yang bukan menjadi bagian keinginannya. Dengan jalan mengejar kepentingan dirinya sendiri dia sering memajukan masyarakat lebih efektif dibanding bilamana dia betul-betul bermaksud memajukannya.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI
Makro Ekonomi Klasik
Perkembangan globalisasi tidak terlepas dari pengaruh pemikiran ahli-ahli ekonomi klasik seperti Adam Smith (1776). Smith menekankan pentingnya peranan sistem pasar bebas sebagai pengatur kegiatan ekonomi yang efisien. Smith memperkenalkan konsep invisble hand atau tangan gaib yang mampu mengatur kegaiatan-kegiatan suatu perekonomian secara efisien. Invisble hand adalah sistem pasar, di mana penjual dan pembeli berinteraksi dalam menentukan barang dan jasa yang perlu diproduksi dalam masyarakat.
Dalam interaksi itu, para pembeli akan berusaha mencapai kepuasan maksimum dalam dalam menggunakan pendapatan yang diterimanya. Sementara penjual akan berusaha berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia. Smith yakin sistem pasar bebas akan dapat menciptakan efisiensi yang maksimal dalam setiap kegiatan ekonomi. Smith berkeyakinan dalam perekonomian akan selalu tercapai keadaan kesempatan kerja penuh atau full employment. Ini tidak berarti bahwa pengangguran tidak akan pernah terjadi. Namun, sifatnya sementara karena akan berlaku penyesuaian-penyesuaian yang akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja penuh akan tercapai kembali.
Penyesuaian-penyesuain di pasaran finansial akan menyebabkan setiap kegiatan perekonomian tidak akan menghadapi masalah kekurangan permintaan agregat. Semua barang dan jasa yang diproduksi akan dapat dijual (supply creates its demand). Pandangan ini didasari kepada keyakinan mengenai faktor-faktor yang menentukan suku bunga yang ditentukan oleh:
1. Penawaran tabungan oleh masyarakat
2. Permintaan dana oleh pengusaha-pengusaha untuk membiayai investasi.
Fleksibilitas di pasar finasial akan menyebabkan pada kesempatan kerja penuh, nilai
tabungan adalah dengan nilai investasi. Kesamaan ini menyebabkan permintaan agregat pada kesempatan kerja penuh akan selalu sama dengan pengawaran agregat (produksi di keseluruhan perekonomian). Dalam analisis makro ekonomi klasik, tingkat upah ditentukan oleh permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja akan menurunkan upah dan kekurangan tenaga kerja akan meningkatkan upah.
Fleksibilitas ini menyebabkan pada suatu tingkat upah, penawaran tenaga kerja akan selalu sama dengan dengan permintaan tenaga kerja. Pasaran tenaga kerja juga akan melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan. Ini misalnya berlaku suatu perubahan dalam kegiatan ekonomi yang menyebabkan berlakunya pengangguran. Berarti penawaran tenaga kerja melebihi permintaan. Penyesuaian itu akan terus berlanjut hingga terjadi kembali keseimbangan permintaan dan pengawaran tenaga kerja.
Makro Ekonomi Keynesian
Di tahun 1929-1932, ekonomi dunia menghadapi depresi serius. Tingkat produksi nasional di negara-negara maju merosot. Sebanyak 20-30 persen tenaga kerja di negara-negara maju menganggur. Kondisi itu yang mendorong Jhon Maynard Keynes menciptakan teori ekonomi baru di suatu negara untuk menyesuaikan teori ekonomi yang sudah ada. Keynes menjelaskan dalam Sukirno (2005), sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan tingkat kesempatan kerja penuh. Keadaan ini disebabkan investasi biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian pada tingkat kesempatan kerja penuh.
Keynes menilai sistem pasar bebas dan fleksibilitas suku bunga tidak akan mewujudkan keadaan di mana investasi adalah sama dengan tabungan yang akan diwujudkan pada kesempatan kerja penuh. Keynes berpendapat suku bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Terkait dengan masalah pengangguran, Keynes menilai, lebih karang wujud dalam perekonomian didasarkan pula kepada keadaan di pasaran tenaga kerja. Tingkat upah ada rigid, yaitu tidak mudah berubah dan sukar diturunkan ke bawah.
Dengan kata lain, apabila berlaku keadaan di mana penagwaran tenaga kerja melebihi permintaan sehingga pengangguran berlaku, tingkat upah tidak akan mengalami penurunan sehingga pengawaran dan permintaan tenaga kerja akan seimbangkan kembali. Oleh karena upah sukar untuk diturunkan, kelebihan penawaran tenaga kerja akan terus berlaku dengan sistem pasar bebas tidak akan dapat mengatasi masalah pengangguran. Karena itu, Keynes memandang perlu kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menstabilkan tingkat harga dan mencegah inflasi, mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan sektor luar negeri.
Ada tiga bentuk kebijakan pemerintah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan makroekonomi yang dinyatakan Keynes, yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal dijalankan oleh Departemen Keuangan melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah (perpajakan). Dalam masa inflasi, kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya, apabila pengangguran serius, pemerintah perlu berusaha menambah pengeluaran dan mengurangi pajak.
Sementara kebijakan moneter dijalankan oleh bank sentral. Alat kebijakan yang digunakan adalah mempengaruhi penawaran uang dan suku bunga. Pemerintah juga dapat melakukan pengawasan langsung (direct controls), yaitu dengan membuat peraturan-peraturan. Contoh dari kebiajakan seperti ini adalah mengawasi kenaikan upah pekerja agar tidak menyebabkan inflasi dan menetapkan beberapa harga bahan-bahan tertentu yang juga bertujuan menghindari inflasi.
Teori Keynes tersebut mendapatkan dukungan ahli ekonomi lainnya. Bahkan muncul mazhab Keynesian yang dikembangkan ekonom seperti Paul Samuelson, James Tobon dan Franco Modgiliani. Bahkan, beberapa ahli ekonomi seperti Roy Harrod dan Evsey Domar, mengembangkan teori yang bertujuan melengkapi teori Keynes.
Penentang dan Pendukung Keynes
Dalam perkembangannya, ada juga sejumlah ekonom yang menentang mazhab Keynesian seperti Milton Friedman dan Robert Lucas. Pandangan golongan monetaris yang dikembangkan Friedman pada 1976, lebih mendukung pemikiran Smith. Friedman juga mengkritik tentang kebijakan fiskal yang menjadi pemikiran Keynes. Menurut Friedman, kebijakan fiskal akan menimbulkan crowding out yaitu akan menyedot dana dari masyarakat dan mengurangi kegairahan pihak swasta melakukan investasi karena suku bunga yang meningkat.
Keynes memandang perlu pembatasan peran negara dalam kegiatan perekonomian. Namun, dalam menjalankan kebijakan fiskal, pemerintah perlu menjamin agar anggaran belanja pemerintah agar tetap seimbang. Friedman juga menekankan perlunya monetary role dalam melaksanakan kebijakan moneter, yaitu menambah penawaran uang pada suatu tingkat tertentu yang sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul golongan klasik baru yang mendukung pemikiran ekonom klasik yang dipelopori Robert Lucas di tahun 1970-an. Ekonom lainnya yang tergabung dalam golongan ekonomi klasik adalah Roberto Barro, Edward Prescott dan Neil Wallace. Mereka menyakini jika pelaku ekonomi bersifat rasional dalam membuat ramalan mengenai keadaan di masa depan.
Pemikiran mereka sama dengan Smith yang menyatakan bahwa setiap pelaku ekonomi akan memaksimumkan hal-hal yang akan dicapainya. Sebagai pengusaha, mereka akan berusaha memaksimumkan keuntungan dan sebagai konsumen, mereka akan berusaha memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya. Mereka juga menentang keras intervensi negara. Tanpa kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengintervensi sistem pasar, maka akan mampu mewujudkan tingkat kesempatan penuh dan keadilan.
Kemudian pada tahun 1980-an, berkembang lagi generasi pendukung Keynes (Keynesian Baru). Mereka adalah Gregory Mankiw dan Lawrence Summers dari Harvard dan Olivier Blanchard, Paul Krugman, Rudiger Dornbusch dan Stanley Fischer dari MIT dan David Rowner dari University of Calipornia di Berkeley. Mereka menilai, pasar tenaga kerja tidak selalu seimbang. Pada waktu terjadi pengangguran, yang berarti penawaran buruh melebihi permintaan, terdapat berbagai kekakuan (rigidity) dalam pasar yang menyebabkan pengangguran akan terus berlaku. Dalam kondisi ini, pemerintah mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah tersebut.
KRITIK PEMBANGUNAN BERBASIS PERTUMBUHAN

Realitas kemiskinan yang membelengu dunia kemudian menuai kritis sejumlah ilmuan sosial. Fukuyama (2005:305) mengkritik model pembangunan berbasis kapitalisme dan modernitas, lebih banyak menguras modal sosial daripada menghasilkannya. Gejala itu dilihat dari menyempitnya radius kepercayaan, kejahatan merajalela, ikatan keluarga makin longgar dan munculnya kerisauan sosial. Fukuyama menilai negara-negara maju yang menjadi kiblat kapitalisme hanya menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing, tetapi tidak mampu membangunnya kembali. Kapitalisme seakan menjadi takdir bagi masyarakat kaya untuk lebih kaya, tetapi miskin moral seiring perjalan waktu.
Sementara Gidden (2004:231) menilai, globalisasi adalah konsekwensi fundamentalis modernitas. Institusi barat melakukan disfusi untuk menghancurkan budaya lain. Proses perkembangannya yang tidak seimbang memperkenalkan bentuk baru yaitu ketergantungan dunia. Fakih (2005:62) menilai, globalisasi dengan jargon pembangunanisme dan pertumbuhan (growth) terbukti tak hanya melanggengkan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial, namun telah mengantarkan sebagian besar negara Dunia Ketiga menuju kehancuran peradaban.
Model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan diperkenalkan Adam Smith. Dalam karyanya An Inquiry into the Nature And Causes of the Wealth of Nations, Smith menyakini mekanisme pasar bebas dapat mendorong efisiensi kegiatan perekonomian. Smith dalam Sukirno (2005:448) menentang intervensi negara atau pemerintah dalam kegiatan perekonomian, termasuk penyediaan barang dan jasa. Smith juga menekankan pentingnya perluasan pasar yang memicu industri melakukan kegiatan produksi dengan tujuan untuk menjual kepada masyarakat. Smith menekankan pentingnya pasar bebas yang bergerak menurut mekanisme pasar yang dianggapnya secara otomatis bisa memproduksi barang dan jasa yang disenangi dan diperlukan konsumen. Semakin luas pasar, makin tinggi tingkat produksi.
Smith juga menekankan pentingnya spesialisasi dan kemajuan teknologi yang akan meningkatkan produktifitas sehingga menaikkan pendapatan pekerja (Sukirno, 2005: 448). Smith meletakan pasar bebas sebagai prinsip universal. Setiap manusia memiliki keinginan untuk memajukan kehidupannya sendiri menjadi lebih baik (the universal desire to better his own condition). Bagi Smith, self interest (kepentingan pribadi) merupakan motivasi utama yang mendorong manusia untuk mengadakan aktivitas ekonomi. Tanpa self interest, aktivitas ekonomi tidak pernah akan terjadi.
Pandangan Smith pada dasarnya memosisikan setiap orang cenderung mencari keuntungan untuk dirinya, tetapi dia dituntun oleh tangan gaib untuk mencapai tujuan akhir yang bukan menjadi bagian keinginannya. Dengan jalan mengejar kepentingan dirinya sendiri dia sering memajukan masyarakat lebih efektif dibanding bilamana dia betul-betul bermaksud memajukannya.
IMPLIKASI ETIS PASAR BEBAS
Analis Smith mengenai pasar bebas tentang peranan sistem pasaran bebas sebagai pengatur kegiatan ekonomi yang efisien nyatanya tidak terbukti. Paradigma pembangunan ekonomi yang mengacu pada pasar bebas dan pertumbuhan justru memunculkan dominasi kepentingan pribadi di arena kegiatan perekonomian—yang pada akhirnya mendegradasikan eksistensi nilai-nilai kemanusian.
Nilai tidak hanya merangkum objek-objek seni, barang-barang berharga atau pribadi yang langka, terbatas atau hanya berkaitan dengan agama maupun kebudayaan yang tresendatal. Thomas Aquinas yang menggunakan term Aristoteles yang dikutip Sutrisno (2004:26) mengartikan nilai sebagai suatu yang baik. Artinya, nilai dapat dikonstruksikan ke berbagai macam objek. Ada empat unsur penyusunan dasar nilai (unsur konstruktif yang membuat sesuatu itu bernilai). Dua unsur berasal dari objek, yaitu unsur kegunaan atau manfaat (utility) dan unsur kepentingan (importance). Sementara dua unsur lainnya berasal dari subjek yaitu unsur kebutuhan (need) dan unsur penilaian, penafsiran dan penghargaan (estimasi).
Sementara Bertens (2007:140) menjelaskan, pembicaraan mengenai nilai terkait dengan sesuatu yang tengah berlangsung, berlaku dan memikat manusia. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah dengan membandingkannya dengan fakta. Max Scheler, filsuf Jerman yang banyak mendalami nilai, membagi nilai-nilai ke dalam empat kelompok, yakni: nilai-nilai yang menyangkut kesenangan, rohani, vital dan religius. Nilai juga kadang dikaitkan dengan moral atau nilai moral yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai lainnya. Setiap nilai memiliki bobot moral. Dalam konteks tingkah laku, nilai moral terkait dengan kejujuran, kesetiaan, kasih sayang dan sebagainya. Nilai moral juga menekankan pribadi manusia yang bertanggungjawab. Manusia atau individu yang mengaktualisasikan nilai moral lewat perilakunya. Nilai juga berkaitan dengan hati nurani. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan tuntutan imbauan hati nurani. Konsep dasar mengenai nilai juga diatur dalam agama.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang mengandung banyak arti antara lain: kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Etika kemudian didefinisikan sebagai sebuah teori atau skematika yang bersifat rasional, logis, mengenai apa yang baik dan apa yang buruk tingkah laku manusia, yang apabila dilanggar akan dinilai.
Dalam kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Dalam konteks pembangunan, Kung (2002:357) menilai, pembangunan tidak boleh melebihi tuntutan fundamental dari alasan etis yang meletakan setiap individu atau kelompok secara manusiawi. Tanggungjawab etis itu harus dilakukan semua pelaku ekonomi dalam sebuah negara yang demokratis, tak boleh diingkari atas nama kebebasan ekonomi. Kegiatan ekonomi diadakan untuk kepentingan manusia sehingga institusi maupun aktivitas ekonomi tidak dapat dibenarkan jika semata-mata untuk kekuasaan, tetapi harus berbuat adil bagi martabat manusia. Signifikasi prinsip etika harus bisa dirumuskan dan dilaksanakan dalam pembangunan baik pada level makro (negara), meso (pasar), atau mikro (individu).
Kung menekankan pentingnya mengarahkan pembangunan ekonomi global yang secara politis diwajibkan demi tujuan sosial dan kemanusiaan yang berlaku adil pada kebutuhan dan resiko di masa depan, dengan mempertimbangkan fondasi kehidupan natural. Dimensi etis juga menjadi sangat penting untuk mengantisipasi ketegangan-ketegangan yang terus meningkat di semua wilayah negara. Tanpa etika dan kemimpinan yang kuat dan berani, maka strategi atau rancangan terbaik pun akan gagal.
Dalam praktiknya, pendekatan ekonomi yang berorientasi pada sistem pasar bebas nyatanya hanya menguntungkan segelitir pihak. Beberapa orang menguasai sarana-sarana produksi dengan menggunakannya untuk memperbesar keuntungan sendiri, dengan membuat orang lain menjadi miskin dalam proses tersebut. Orang-orang miskin tidak dapat mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengarui mereka dan masyarakat. Egoisme dan keinginan mampunyai barang jasmani, untuk suka-suka saja, ataupun sebagai simbol status, merupakan penyebab terjadinya ketidakadilan distribusi kekayaan yang dihasilkan dan eksploitasi terhadap orang-orang miskin. Ideologi kapitalis, dengan sistem dan nilainya, pada akhirnya mendapat dukungan dari struktur-struktur politik yang tak adil (Amaladoss, 2001:286).
Smith sendiri menolak pandangan yang menegaskan bahwa kebaikan hati merupakan sikap etis yang utama dalam bisnis. Kebaikan hati memang merupakan keutamaan moral umum yang harus diperhatikan semua orang, tetapi dalam bidang ekonomi, hal itu kurang memiliki relevansi. Sikap etis dalam konteks ekonomi adalah hubungan timbal balik, kerjasama dan terutama keadilan. Etika bisnis mengajar agar pengusaha tidak boleh merugikan mitra dagangnya dan harus memperlakukan mitranya dengan cara yang jujur (fair). Dalam sistem pasar bebas yang dikembangnya, Smith memegang prinsip, “Give me that which I want, and you shall have this which you want.” Prinsip itu diyakini dapat memberikan keuntungan kedua belah pihak.
Pandangan Smith kontradiktif dengan pesan moral Plato dalam Michael (2008:17). Plato memandang perlunya mengaktualisasikan proses pembangunan yang menjadikan manusia sebagai subyek. Menurut Plato, negara yang baik dapat dicapai jika setiap orang memberi sumbangan berdasarkan bakat alamiahnya bagi kebaikan masyarakatnya. Dengan demikian, kegiatan ekonomi merupakan kegiatan produktif yang seharusnya dapat dilakukan oleh setiap orang berdasarkan bakat, pengetahuan dan keterampilan sebagai sumbangan kesejahteraan bersama.
Kegiatan produktif itu tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya memiliki arti jika mampu memberi sumbangan berarti bagi kepentingan negara. Manusia memang harus menjadi subyek setiap hak, harus menjadi tujuan, tidak boleh dijadikan alat semata, tidak boleh menjadi objek komersialisasi dan industrialisasi ekonomi maupun politik. Ketika humanisasi diganti politisasi yang berkolusi dengan kapitalisasi di sana yang berdaulat dan berkuasa bukan lagi rakyat, tetapi mereka yang berkapital dan bersenjata. Ketika humanisasi direduksi menjadi materalisasi oleh komoditisasi, maka apa saja selalu dibendakan, termasuk wacana pemerdekaan (Sutrisno, 2004: 122).
EKONOMI KESEJAHTERAAN
Adalah Jhon A Hobson (1859-1942) yang dikutip Michael (2008), salah satu ekonom yang menekankan pentingnya kegiatan perekonomian yang mendorong kesejahteraan manusia. Menurut dia, kepuasan dan bisnis harus diukur dengan standar yang lebih manusiawi. Dalam ekonomi pasar, uang sering dipakai sebagai indikator kesejahteraan sosial. Tetapi persoalannya adalah uang tidak mampu menjelaskan kualitas hidup. Bisa jadi suatu negara dapat memiliki pendapatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya, tetapi apalah artinya hal itu jika peningkatan pendapatan itu ditentukan oleh perdagangan yang merusak tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan manusiawi.
Hobson juga menilai standar kepuasan diukur menurut standar yang lebih manusiawi, standar tersebut harus bisa menjelaskan kebaikan riil hidup manusia sebagai keseluruhan. Dengan asumsi dasar ini, Hobson mengatakan, bahwa ekonomi sebagai ilmu harus tunduk pada nilai atau etika. Ekonomi sebagai nilai tidak pernah bebas nilai. Ilmu ekonomi adalah ilmu sosial, di mana setiap pengetahuan tentang fakta berarti sesuatu pengetahuan tentang dimensi etis dari fakta tersebut. Esensi etika dan moral juga ditekankan oleh ekonom terkenal lainnya seperti E.F Schumacer (1911-1977). Ia menyatakan ekonomi pada dasarnya memiliki dimensi moral, dalam arti memungkinkan kebutuhan dasar, menghormati martabat manusia dan keadilan sosial.
Mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta juga menekankan esensi etika dan moral dalam ekonomi. Hatta menilai perlunya pembinaan kelembagaan ekonomi yang bisa mewadahi kegiatan ekonomi lapisan bawah. Koperasi adalah wadah yang dipandang cocok untuk menciptakan, sekaligus menjamin kesimbangan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan tuntutan keadilan sosial.
Sementara Sosiolog terkenal, Max Weber dalam Economy and Society (1992) yang dikutip Damsar (1997:19) menilai tindakan ekonomi adalah tindakan sosial, melibatkan makna dan selalu memperhatikan kekuasaan. Dalam karyanya berjudul:The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber menyatakan, untuk mencapai keberhasilan seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi, yang dilandasi disiplin dan bersahaja, yang didorong ajaran keagamaan. Weber mengkritik etika kerja dari Calvinisme yang mengadopsi dengan semangat kapitalisme yang kemudian membawa masyarakat barat kepada perkembangan masyarakat yang kapitalis dan modern.
Analisis Smith mengenai tenaga kerja dan upah juga dikritik oleh Karl Marx (1981:223). Ia mempersoalkan dominasi pengusaha dalam menentukan hak-hak pekerja. Menurut Marx, seorang pengusaha (kapitalis) akan berusaha agar seorang karyawan dengan jumlah gaji yang sama, bekerja lebih lama dari waktu yang ditentukan. Tingkat eksploitasi kerja, penguasaan kerja surplus dan nilai lebih, dapat ditingkatkan dengan memperpanjang hari kerja dan membuatnya bekerja lebih itensif.
Terdapat banyak asepk pada intensifikasi kerja yang menyangkut suatu pertumbuhan dalam kapital yaut seorang pekerja tunggal mesti mengawasi sejumlah mesin yang lebih banyak. Sama halnya laju mesin yang dipercepat untuk memproduksi barang, yang akan menghabiskan bahan mentan dalam ruang waktu yang sama, namun sejauh yang berkenan dengan kapital tetap. Kenyataan ini menguaskan mesin-mesin secepat itu sama sekali tidak mempengarui rasio nilai mereka dengan harga kerja yang menggerakannya.
Namun, adalah kekhususan perpanjangan hari kerja, penemuan industri modern ini yang meningkatkan jumlah kerja surplus yang dikuasai tanpa secara mendasar mengubah rasio dari tenga kerja yang digunakan. Pemikiran Marx pada dasarnya mengkritik kapitalis yang menginginkan agar pekerja lebih lama dari waktu yang ditentukan berdsarkan standar the necessary working time. Semakin lama karyawan bekerja, semakin besar nilai suatu produk dan semakin besar pula penghasilan yang diperoleh seorang pengusaha.
Dalam kegiatan industri, seorang pengusaha memiliki kebebasan yang penuh untuk menentukan kebijakan. Pengusaha yang menentukan bagaimana menggunakan mesin, bahan mentah, tenaga listrik dan tenaga manusia. Ia akan berusaha meminimalkan biaya pengeluaran dan memaksimalkan keuntungan penjualan, yang didorong oleh rasionalitas untung rugi. Dengan kewenangan itu, pengusaha dapat menggunakan sarana produksi dan tenaga manusia untuk mencapai surplus nilai. Sementara logika pengusaha umumnya menilai suplus value merupakan nilai jam kerja setiap pekerja yang tidak dibayar oleh pengusaha kepada karyawan. Logika tersebut yang menjadi titik tolak Marx untuk mengungkap kelemahan kapitalisme yang menekankan pada implikasi dari konsentrasi, dominasi, dan akumulasi modal.
DIMENSI PEMBANGUNAN SOSIAL
MEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN
Midgley (1995:5) memandang realitas kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan implikasi proses pembangunan mengalami distorsi (distorted development). Ia mengkritik pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial (social development). Pandangan tersebut mengacu pada prespektif struktural dengan mengamati masalah kemiskinan akibat dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk teknologi modern. Penetrasi kapital telah mengakibatkan proses pembangunan mengarusutamakan pada pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemertaan (equity) hasil pembangunan.
Midgley mencontohkan problem distribusi pendapatan dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di negara-negara kawasan Amerika Latin. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin mengalami pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri yang signifikan. Namun, upaya memperbaiki kualitas hidup penduduknya sangat minim. Realitas serupa juga ditemukan di beberapa negara kawasan Asia dan Afrika.
Di Indonesia, momentum pertumbuhan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir (1998-2008) menunjukan angka kenaikan nyatanya belum maksimal membebaskan warganya dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 minus 13,1 persen. Di tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5,1 persen. Cadangan devisa yang semula US$33,8 miliar, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang menembus angka 6,1 persen belum memicu pemerataan pembangunan sehingga kemiskinan tetap langgeng di negara ini. Klaim pemerintah yang menyatakan telah terjadi pertumbuhan ekonomi makro nyatanya belum dinikmati masyarakat di level menengah ke bawah. Pertumbuhan ekonomi makro belum menjadi stimulus yang mampu menggerakan ekonomi mikro atau sektor riil yang bersentuhan langsung dalam aktivitas masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Midgley mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan itu dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, Midgley menawarkan keseimbangan pembangunan.
Dalam sejarahnya, pembangunan sosial mulai diaktualisasikan di tahun 1961 oleh Presiden Amerika Serikat Jhon F Kennedy. Dia merintis sebuah gagasan Rationality in Government dengan mengerahkan dan memfasilitasi para ilmuan dari berbagai bidang untuk mengatasi berbagai masalah sosial. Langkah Kennedy kemudian dilanjutkan oleh Lyndon B. Johnson pada tahun 1964. Johnson mengukuhkan jargon Perang melawan Kemiskinan (unconditional War on Poverty) untuk mewujudkan Great Society.
Kemudian, tahun 1968 Richard Nixon menilai War on Poverty bukan saja gagal tetapi ternyata membuat masalah menjadi lebih rumit, maka dia mencanangkan The War on Welfare. Pada tahun 1994, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton lebih tegas dengan mencanangkan Ending Welfare As We Know It. Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law (Undang-Undang Kemiskinan) yang hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin.
Dalam perkembangan selanjutnya, pembangunan sosial makin mendapatkan perhatian dunia. Salah satu bentuk perhatian tersebut adalah digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit on Social Development), di Kopenhagen, Denmark, pada tanggal 6-12 Maret 1995. KTT itu dihadiri perwakilan 135 negara yang melibatkan tidak kurang dari 90 Kepala Negara/Pemerintahan, 5 Wakil Presiden, 40 Perdana Menteri, serta perwakilan organisasi internasional dan LSM.
Dari pertemuan tersebut, melahirkan deklarasi dan program aksi yang memuat komitmen mengenai perlunya penanganan segera penyebab utama dan penyebab struktural terjadinya masalah sosial yang dikemas dalam tiga agenda besar yakni:
1. Pengentasan kemiskinan
2. Perluasan kerja produktif dan pengurangan pengangguran
3. Peningkatan integrasi nasional
Namun sebenarnya, menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (Suharto, 2008:56), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18, ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menjamin the greatest happiness (atau walfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebagian sebanyak mungkin orang. Bentham dikenal sebagai Bapak Negara Kesejahteraan (father of welfare states).
Pada dasarnya, pembangunan sosial direalisasikan di sejumlah negara karena menganggap keberhasilan pembangunan tidak sebatas diukur dari keberhasilan pembangunan ekonomi. Apalagi, realitas menunjukan jika pembangunan sebagai salah satu paradigma perubahan sosial berada pada masa krisis dan mengalami kegagalan penerapannya di negara-negara Dunia Ketiga.
Karena itu, sebagai besar negara mulai menerapkan sejumlah model kebijakan sosial sebagai suatu perangkat, mekanisme dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan arah pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi pada pencapaian tujuan nasional yang diarahkan untuk memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial. Orientasi memecahkan masalah sosial diarahkan untuk mengadakan perbaikan dari suatu keadaan yang tidak diharapkan seperti masalah kemiskinan atau kejadian yang destruktif yang dapat merusak tatanan kehidupan.
Sementara tujuan pemenuhan kebutuhan sosial mengandung arti yakni menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik karena ada masalah maupun tidak ada masalah. Dengan demikian, pembangunan sosial pada dasarnya menekankan peran negara dalam mendorong kesejahteraan sosial lewat pelayanan sosial yang mencakup pendidikan, kesehatan, perumahan dan program nutrisi dan sebagai. Program pelayanan sosial itu diarahkan untuk perbaikan standar hidup masyarakat.
Sukses atau tidaknya pembangunan sosial, salah satunya amat tergantung desain kebijakan sosial di negara tersebut. Pembangunan sosial juga harus disertai dengan political will, kapasitas dan komitmen pemerintah dalam mendesain perencanaan sosial (social planning) maupun kebijakan sosial (social policy) yang benar-benar diarahkan sejalan dengan kebutuhan, potensi dan orientasi masyarakat.
Dasar filosofis yang harus dipegang dalam penyusunan kebijakan sosial adalah menghilangkan diskriminasi, mendorong pemerataan akses masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak. Dengan pola penyusunan yang bersifat bottom up sehingga dapat mendorong partisipasi masyarakat sebagai investasi sosial yang sangat berpengaruh dalam merealisasikan tujuan pembangunan.
Paradigma pembangunan sosial pada dasarnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan (walfare state) yaitu sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.
Esping-Anderson dalam Suharto (2008:57) menjelaskan, negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang reponsif dalam mengelola dan mengorganisir perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Konsep negara kesejahteraan diaktualisasikan sejumlah negara setelah mekanisme pasar yang menjadi acuan pembangunan bercorak kapitalis gagal mewujudkan kesejahteraan.
Negara kesejahteraan menekankan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak dan kewajiban negara (state obligation) di pihak lain. Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan sosial bagi seluruh penduduk semaksimal dan sebaik mungkin.
Para pendiri bangsa sejak awal mempunyai cita-cita memperjuangkan bangsa ini agar dapat hidup berkembang dan maju, setara derajatnya dengan bangsa lain. Cita-cita itu mereka tegaskan dalam UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan negara memberikan perlindungan bagi seluruh warga negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Subtansi konstitusi memosisikan bangsa ini menganut paham negara kesejahteraan (welfare state).
Untuk merealisasikan amanat konstitusi itu, di era pemerintahan Orde Baru, sejak tahun 1970-an, desain pembangunan dirancang dan diimplementasikan sesuai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang terdiri dari perencanaan jangka pendek (tahunan), perencanaan pembangunan jangka menengah (siklus lima tahunan) dan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang 25 tahunan (PJP). PJP Pertama telah dilaksanakan sejak Repelita I sampai Repelita V, dari tahun 1969/1970 sampai 1993/1994, dilanjutkan dengan pelaksanaan PJP II, meliputi Repelita VI sampai X, dimulai tahun 1994/1995 – 2018/2019. Di tahun ketiga Repelita VI, yaitu tahun 1997, terjadi krisis berkepanjangan yang membuyarkan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang II, sehingga Pelita VI dan VII tidak bisa dilanjutkan. Kemudian, perencanaan pembangunan mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional.
Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi dalam dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah lima tahunan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional I Tahun 2005-2009, RPJM Nasional II tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019 dan RPJM Nasional IV Tahun 2020-2024. Kemudian di era reformasi, terjadi perubahan desain perencanaan pembangunan. Pemerintah dan DPR kemudian mengesahkan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025 yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Secara konseptual, perencanaan pembangunan yang dirancang pemerintah sangat ideal. Perencanaan pembangunan diarahkan pada upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan merealisasikan sejumlah program antikemiskinan. Namun, cita-cita mewujudkan pembangunan yang sejalan arah dan prioritas yang telah dirancang menghadapi persoalan antara das sollen dan das sein—antara yang diidealkan, berbeda dengan kenyataan di lapangan. Buktinya, kemiskinan masih terus membelengu bangsa ini. Meski pemerintah mengklaim ekonomi tumbuh, namun distribusi hasil pembagunan tidak merata. Akibatnya, kemiskinan masih merajalela.
Menurut Suharto (2007), ada tiga roadmap yang dapat ditempuh dalam mewujudkan kebijakan perlindungan sosial, yakni:
1. Pelembagaan sistem negara kesejahteraan pada tingkat nasional
Kebijakan perlindungan sosial akan berdiri tegak jika ditopang oleh sistem negara kesejahteraan, sehingga perlu kekuataan ideologi dan konsepsi yang tepat mengenai negara kesejahteraan. Kebijakan perlindungan sosial memerlukan political will dari pemerintah, DPR dan lembaga hukum yang kuat mengenai perlunya keberpihakan negara dalam melindungi warganya. Negara harus mendesain dan mengimplementasikan sistem jaminan sosial yang melembaga yang mengintegrasikan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan sosial.

2. Pelembagaan sistem negara kesejahteraan pada tingkat pemerintah daerah
Model indikatif pembangunan sosial yang dilakukan pemerintah daerah juga belum mampu menekan angka kemiskinan, pengangguran dan penciptaan lapangan pekerjaan. Jika mencermati proses pembangunan di era otonomi dewasa ini, paradigma pembangunan yang diterapkan pemerintah daerah masih berorientasi pada pembangunan ekonomi baru kemudian pembangunan kesejahteraan sosial. Desentralisasi yang mendelegasikan kewenangan pembangunan dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-institusi sosial. Pemerintah daerah berdalih, pembangunan kesejahteraan hanya pemborosan sehingga perlu terlebih dulu memfokuskan pada pembangunan ekonomi.
3. Promosi perlindungan sosial dari bawah melalui inisiatif masyarakat lokal
Kelompok-kelompok swadaya masyarakat dapat menyelenggarakan skema-skema perlindungan sosoal yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan wilayahnya. Model penerapannya bersifat informal dan terbatas pada perlindungan komunitas setempat. Sistem kekerabatan, persaudaran, ikatan kesukuan, keagamaan biasanya menjadi motif sistem perlindungan sosial ini. 

DAFTAR PUSTAKA
Alejandro Foxley, Sustaining Social Safety Nets: Critical for Economic Recovery, Carnegie Endowment for International Peace, 2010
Antony Gidden, Konsekwensi-konsekwensi Modernitas, PT Gramedia Pustaka Ilmu, 2004.
Bappenas, Penyebab dan Dampak Krisis Keuangan Global, 2008
Bertens, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2007
Damsar, Sosiologi Ekonomi, Rajawali Press, 1997
Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, 2008
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Alfabeta, 2008
Edi Suharto, Makalah berjudul: Meretas Kebijakan Pro Poor, Menggagas Pelayanan Sosial yang Berkeadilan, 2007
Fernando F Padro, Statistical Handbook on the Social Safety Net, Greenwood Press. 2004
Gumilar Rusliwa Sumantri, makalah berujudul: JPS dan Model Pengembangan
Masyarakat Bercir Community Development, yang disampaikan pada seminar nasional Jaring Pengaman Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi, Forum Ekonomi Rakyat, 1999.
Hans Kung, Etika Ekonomi Politik Global, Qalam, 2002
Harry Hikmat, Prespektif Dasar, Metode dan Teknik Perencanaan, 2009
James Midgley, Social Development, The Developmental Prespective in Social Welfare, Sage Publication, 1995.
Jim Ife dan Frank Tesoriero, Communty Development, Pustaka Pelajar, 2009
Karl Marx, Das Kapital, Buku III, 1981
Martha R. Burt & Demetra Smith Nightingale, Repairing the U.S. Social Safety Net, The Urban Institute Press, Washington, 2001).
Micheal Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar, 2001
Miftachul Huda, Pekerja Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pelajar, 2009
Mashour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, 2005
Mikheal Dua, Filsafat Ekonomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, 2008
Mudji Sutrisno, Ide-ide Pencerahan, Yayasan Obor, 2004
Prancis Fukuyama, Goncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Social Baru, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Modern, Dari Klasik Hingga Keynesian Baru, PT Raja Grafindo, 2005
Tim Pengendali PNPM Mandiri, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahtaraan Rakyat, 2007.
Tim PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, Paramadina, 2007
Bappenas, UU No 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, tahun 2007
United Nations, Social Safety Nets for Women, 2003
World Bank, Globalization, Growth and Poverty, 2002
Sumber : Majalah Komite Eds Nopember 2010