Demokrasi

PENDAHULUAN
Berbicara tentang Demokrasi dalam politik cukup problematis. Apalagi kalau yang mau di bicarakan bukan prinsip-prinsip abstrak seperti Demokrasi dan hak-hak asasi manusia, melainkan moralitas para politisi. Tema moralitas politik di satu pihak di tertawakan di antara para ahli dan di lain pihak telah dikorupsikan oleh para politisi sendiri.
Sejak Karl Mark meletakkan moralitas manusia kedalam bangunan atas Ideologis yang hanya berfungsi Melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan bahwa perbaikan moralitas para polotisi akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat di anggap naif, kolot, tidak realis, bahkan dicurigai sebagai ideologi sendiri.

D E M O K R A S I

Politik sering dianggap “ Bisnis “ yang kotor. Mencari yang sungguh-sungguh jujur dan “ sepi ing pamrih “ dianggap sama dengan mau mencari perawan dilokasi pelacuran. Itulah pendapat sinisme pragmatis. Sedangkan strukturalisme ekstrim berpendapat bahwa moralitas pribadi para politisi tidak relevan. Berlawanan dengan dua pendapat ini saya ingin menunjukkan dalam karangan ini, bahwa sebuah bangsa hanya dapat maju kalau para politisi yang memimpinnya memiliki integritas dan kejujuran pribadi.

Di lain pihak para politisi, pejabat dan para pemimpin masyarakat terus mengkhotbahi masyarakat mengenai manusia utuh dan nilai-nilai bangsa, kerelaan untuk berkorban dan pengendalian diri, kekeluargaan, kewajiban dan tanggung jawab, tentang perlu adanya etos macam-macam, tentang kritik yang harus membangun dan lain sebagainya. Inflasi moralisme dari atas ditandingi dari arah yang sama pula, oleh inflasi penyelewengan, korupsi, penyalahan gunaan kekuasaan, kecongkakakn, kemunafikan dan ketak pedulian terhadap nasib masyarakat yang disuruh berkorabn itu. kita menjad malu masuk kedalam paduan suara mereka.

Tetapi apakah masuk akal untuk menuntut kejujuran dalam bidang berpolitik ? bukankah berpolitik itu sama dengan main kotor ? pra anggapan inilah yang akan dibahas lebih dulu, kemudian kita dapat melihat bahwa tanpa kejujuran para politisi negara semakin impoten, selanjutnya kita akan mendiskusikan apa yang sekiranya benar dan apa yang tidak dalam pendekatan struktural.

1. Berpolitik : Main Kotor ?

Apa yang dimaksud dengan tuduhan bahwa politik itu kotor ? kiranya pertama-tama bahwa berpolitik berarti mencari dan mempertahankan kekuasaan. Dan kekuasaan itu kotor. Itu katanya. Untuk memperebutkannya orang harus berlaku cerdik, keras, licik, pintar main bujuk, ataupun memeras sekalipun. Lawan harus dipukul tanpa ampun dan sahabat yang menjadi terlalu kuat harus dijegal sebelum menjadi ancaman. Demi untuk mempertahankan kekuasaan, kawan yang paling dekatpun harus dikhianati dan cita-cita paling luhur dikesampingkan.

Menurut pandangan ini jangan kita mengandaikan kesetiaan dan jangan percaya pada cita-cita para politisi : yang mereka cari hanyalah kekuasaan dan demi kekuiasaan itu segala nilai lain harus dikorbankan. Cita-cita luhur dan tujuan=tujuan terpuji para politisi tidak lebih dari sekedar kamuflase belaka bagi kepentingan meeka yang sebenarnya : kekuasaan.

Akan tetapi pada zaman sekarang dan dalam beberapa negara, tuduhan kekotoran politik sudah memuat insinuasi yang lebih buruk : yaitu bahwa para politisi dan pimpinan masyarakat secara pribadipun tidak jujur, bahwa mereka secara pribadi juga korup.

Pernyataan ini menjegal semua politisi atau calon politisi yang mau tetap jujur yang sungguh percaya pada cita-cita mereka (dan cita-cita golongan mereka dipanggung politik). Minimal mereka akan dianggap naif dan oleh karena itu bodoh, dan dengan demikian tidak pada tempatnya dalam bidang politik. Maksimal mereka langsung akan dicurigai sebagai munafik, pengakuan mereka terhadap cita-cita luhur tertentu akan dicap sebagai bohong, tipu muslihat, atau ideologis. Kalau politik memang kotor, orang jujur tidak pada tempatnya didalamnya. Pepatah tentang kekotoran politik berfungsi untuk menyingkir orang jujur dari bidang politik.

Dengan demikian pernyatan itu sekaligus berfungsi sebagai pembenaran atau legitimasi ketidak jujuran dalam bidang politik. Kalau berpolitk dengan sendirinya berarti main kotor dan curang, dengan sendirinya tidak ada alasan untuk menuduh seorang politisi secara pribadi sebagai curang dan bermoral bejad. Jadi tanggung jawab individual atas kecurangan dan korupsi yang dilakukan dengan menyalah gunakan fasilitas kekuasaan dengan demikian dihindari. “ kan semua berbuat begitu “, kan semua orang sudah tahu sama tahu “ kan begituan sudah biasa dong !”.

Jadi pepatah itu disatu pihak mengungkapkan pendapat sinis bahwa nilai-nilai bangsa yang sering diomongkan sebenar tanpa relevansi bagi kehidupan politik nyata, dan bahwa hukum yang sebenarnya berlaku adalah hukum rimba, hukum bahwa “ yang lebih kuat, dialah yang menentukan “. Dan dilain pihak orang yang tidak mau menerima bahaw penggunaan kekuasaan negara diluar batas hukum adalah sesuatu yang lumrah, dicap sebagai bodoh dan naif.

Pernyataan tentang kekotoran hakiki “ bisnis politik “ ternyata bukan sebiah deskripsi, melainkan bersifat ideologis. Fungsinya ialah melicinkan jalan bagi mereka yang memang bersedia main kotor demi kepentingan mereka sendiri. Pernyataan itu kedengaran nya rendah hati dan realistis. Tetapi kerendahan hati yang palsu dan realisme yang bohong. Pernyataan itu selfserving dan selffulfilling . apakah berpoltik itu kotor atau tidak tergantung dari mereka yang melakukannya.

2. Kejujuran Dalam Pollitik

Apakah realistik menuntut kejujuran dalam politik, terlalu sering argumentasi yang mengiyakan pertanyaan ini, artinya, tuntutan ini di ajukan berdasarkan Norma moral umum bahwa manusia hendaknya bersikap jujur, tetapi yang kita cari bukan sekadar penilaian, kita mencari perubahan kehidupan politik yang nyata bukan sekedar Konseptual semata. Bahwasanya kejujuran bukan sekedar tuntutan Etika, melainkan tuntutan rasionalitas politik, kejujuran merupakan pra syarat agar kegiatan dalam politik mencapai tujuan nya.

Di sini dapat dibedakan dua macam ketidakjujuran, pertama, anggapan bahwa demi mencapai dan mempertahankan kekuasaan – yang merupakan pra syarat agar kita dapat merealisasikan tujuan-tujuan politik kita- pertimbangan-pertimbangan seperti kesetiaan, kejjuran dan fairnes harus di kesampingkan, kedua, kenyataan bahwa plitisi memakai kekuasaan yang di percayakan kepada mereka demi kepentingan masyarakat- demi kepentingan dan pamrih mereka sendiri, ketidakjujuran inilah yang di korupsi.

3. Korupsi Dan Nilai Budaya

Di sini perlu ada sebuah catatan tentang pendapat bahwa sebab-sebab korupsi terutama harus dicari dalam sistem nilai-nilai budaya masyarakat yang masih tradisional. Menurut pandangan ini korupsi dapat dikembalikan pada dua faktor: pertama, pada pola moralitas masyrakat yang masih bersifat personalistik dan kekeluargaan; moralitas semacam itu belum memuat suatu kesadaran tajam tentang kewajiban-kewajiban terhadap satuan-satuan sosial Non personal seperti sebuah peusahaan, organisasi besart atau negara- , kedua, pada pruvilese-privilese tradisional kelas atas feodal.

Meskipun dua faktor ini tidak dapat di sangkal, relevansinya terbatas, korupsi merajalela dalam semua Negara, meski dengan nilai-nilai budaya yang sangat berbeda, dimana kekuasaan tidak dikontrol oleh masyarakat; Kalau kita mau mendukung kejujuran, kita harus memperketat kontrol terhadap para pejabat, kita harus mengefektifkan mekanisme-mekanisme demokratis sehingga masyarakat betul-betuldapat menentukan siapa yang memerintah, badan perwakilan betul-betul mewakili rakyat dan bukanya penguasa, kebebasan dan keterbukaan kritik harus di tegakkan.

Di Negara yang demokratis, dimana dengan demokratisasinya stabilitas Nasional akan terwujud bila ada kejujuran yang di perjuangkan, Pra syarat dari struktural bagi kejujuran para pejabat dan politisi adalah kontrol terhadap kekuasaan mereka, korupsi dan ketidak jujuran merupakan akibat dari kekuasaan yang tak terkontrol, sesuai dengan ucapan terkenal Lord Acton bahwa “ Power Corrupts And Absolute Power Corrupts Absolulely.

Bila kontrol terhadap kekuasaan dapat ditegakkan, maka dalam negara yang demokratis korupsi menjadi tindakan yang sedemikian riskan hingga orang berfikir dua kali sebelum ia akan berani untuk melakukan penyelewengan. Kehidupan politik berada dibawah kontrol demokratis dan sorotan berbagai pihak dengan ketat, maka bagi mereka yang mempunyai ambisi politik kejujuran merupakan alternatif yang lebih rasional daripaa penyelewengan, struktur demokratis semacam itu merupakan dukungan struktural kuat bagi kejujuran para politisi.

Kalau dalam negara-negara demokrasi yang matang, korupsi tidak sampai out of control, alasannya tidak terletak dalam suatu faktor kebudayaan, melainkan dalam adaanya institusi-institusi yang memastikan bahwa korupsi tidak bisa untuk selamanya disembunyika, suatu sistem auditing yang efektif, kontrol para oposisi yang dengan tujuan mencari segala efidensi adanya penyelewengan, dan fublicity bidang politik – artinya bahwa segala kegiatan politik terjadi dihadapan sorotan terus menerus media massa yang hanya menunggu untuk menyeret apa saja yang tidak beres kedepan pandangan seluruh masyarakat – membuat percobaan korupsi, apalagi yang besar-besaran menjadi suatu kebodohan luar biasa yang akan mengancam karir seorang politisi puluhan tahun kedepan. Ia seakan-akan terus menerus harus khawatir jangan-jangan almarinya akhirnya akan dibuka juga oleh orang lain dan mayat yang disimpan disitu akan ditemukan. Dalam situasi semacam itu bagi mereka yang berambisi politik, kejujuran merupakan alternatif yang lebih rasional daripada penyelewengan dilihat semata-mata dari kepentingan sendiri, tanpa mengandalkan kesadaran yang lebih mendalam. Jadi, insentif untuk menyeleweng semakin kecil, oleh karena itu, demi peningkatan kualitas kegiatan dalam bidang politik, dan dengan demikian demi pemantapan efektifitas negara penciptaan lembaga-lembaga kontrol, mekanisme Chek and balance demokratis dan adanya media massa yang kritis sangat diperlukan.

Jadi, memang perlu menciptakan struktur-stuktur yang menunjang kejujuran para pejabat dan politisi. Dalam rangka ini pertimbangan kedua pendapat relevansinya sebagai jawaban terhadap para strukuturalis : bahwa tuntutan kejujuran itu sendiri mempunyai dampak struktural.

Perlu diciptakan suasana dimana korupsi dan ketidak jujuran tidak diterima lagi. Harus menjadi kesdaran umum bahwa hanya orang-orang yang jujur yang pantas untuk memimpin bangsa dan negara. Jadi korupsi dan penyelewengan jangan didiamkan, orang harus dibuat merasa malu kalau namanya dihubungkan dengan ketidakjujuran. Kesdaran itu menimbulkan tekanan legitimasi tambahan terhadap para penguasa. Dengan demikian seorang politisi berada dibawah tekanan untuk membuktikan diri jujur. Sebagai akibatnya usaha untuk mempertahankan kejujuran menjadi lebih mudah dan sebaliknya resiko korupsi bertambah besar. Khotbah-khotbah para pejabat tentang nilai-nilai bangsa yang luhur, yang perlu dilestarikan, akan disambut lebih kritis, dan kejujuran yang nyata semakin dituntut.