ADZAN : panggilan untuk kita atau bukan?

Jangan marah dulu dengan judul tulisan ini. Sungguh saya hanyalah sekedar menarik perhatian pembaca budiman agar bersama-sama kita menekuri maksud adzan ini.

Perkenankan saya bercerita sedikit, ketika saat itu waktu zuhur tiba. Adzan berkumandang dari speaker mesjid yang juga tidak terlalu besar. Saya kebetulan memang berniat shalat zuhur di mesjid itu.

Masalahnya, ketika berjalan menuju mesjid saya melewati pinggir jalan raya yang cukup ramai. Tiba-tiba saja saya merasa sangat-sangat bersyukur betapa dari begitu banyak pengendara (mobil-motor,dll) dan pejalan kaki yang lalu lalang, saya ini termasuk yang pergi untuk shalat zuhur di masjid.

Entah kenapa ini kenyataan ini mengagetkan saya. Lalu, ketika saya sampai di masjid, berwudhu dan shalat sunnah serta akhirnya shalat zuhur, saya justru makin kaget. Ternyata yang datang untuk shalat zuhur kebanyakan adalah orang yang “itu-itu” juga.

Pembaca budiman, sekarang saya cerita hal lain lagi yang ukan kejadian sesungguhnya. Saya bayangkan diri saya yang sama sekali tidak terkenal ini tiba-tiba mendapat undangan dinner party dari bapak Presiden RI. Bayangkan, sebuah undangan formal dengan amplop harum besar gagah dari presiden RI untuk diajak dinner party yang tentu saja tidak semua orang boleh ikut. Bisa anda bayangkan apa yang akan saya lakukan.

Tentu saja saya akan memakai baju saya terbaik, parfum terbaik dan saya pastikan satu jam sebelumnya sudah siap dengan segalanya. Saya pastikan saya akan menjaga perilaku, tidak berdehem apa lagi menguap di depan yang mulia bapak presiden RI.

Perhatikan saat adzan subuh tiba. Coba sesekali ikuti “undangan” itu. Anda akan dapati umumnya jamaah yang hadir adalah “itu-itu” juga.

Tentu saja, adzan adalah panggilan untuk shalat berjamaah di masjid. Perhatikan yang bercetak miring tebal. Jadi bukan undangan untuk shalat sendiri-sendiri atau berkelompok di tempat yang bukan mesjid (misalnya di ruang meeting).

Adzan adalah undangan yang sifatnya terbatas. Kita semua yang memiliki telinga sehat boleh saja mendengar, tapi hanya “yang diundang saja” yang boleh hadir dalam acara shalat jamaah tersebut. Silahkan perhatikan di saat-saat adzan tiba di masjid dekat anda. Menakjubkan bukan?

Perhatikan lagi sifat orang-orang saat mendengar panggilan adzan. Caranya? Coba lihat ketika shalat jumat tiba. Setelah selesai adzan cukup banyak yang angkat tangan untuk berdoa setelah adzan. Bandingkan dengan shalat-shalat biasa selain jumat. Menakjubkan bukan betapa sifat manusia…

Kini coba perhatikan bagaimana seharusnya kita menjawab adzan. Jika kalimat “Allahu Akbar” x2 maka kita menjawab dengan kalimat yang sama. Namun pada saat kalimat “hayya ‘ala sholah” (ayo dirikan shalat) maka kita jawab dengan “laa haula walaa kuwwata illaa billaah” (tiada daya upaya kecuali dengan izin Allah)

Sungguh mengenaskan…

Apakah mereka yang mengikuti panggilan adzan dan shalat jamaah di masjid lantas menjadi “undangan pilihan”? menurut saya : iya. Tapi apakah itu jaminan kebaikan? Saya tidak tahu.

Lebih menarik untuk membahas mereka yang tidak diundang. Apakah lalu mereka adalah bisu, tuli sehingga tidak mampu lagi mendengar dan mengikuti panggilan Ilahi? Ataukah mereka termasuk kaum yang “tidak/belum mendapatkan izin”?

Mereka atau kita??

Yang pasti bagi saya, ini membuktikan satu hal : surga memang tidak murah dan yang kedua, memang sulit untuk memiliki hati yang bening

Salam,

Penulis