Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) tahun ini mengusung tema “Bangun Karakter Pemuda Demi Bangsa Indonesia Yang Maju dan Bermartabat”.
Topik tersebut relevan dengan kondisi saat ini. Berbagai kritik tentang
kondisi kepemudaan saat ini tak terlepas dari isu karakter itu.
Beberapa
kalangan menganggap pemuda saat ini bermental pragmatis. Ada pula yang
menyebut makin terkikisnya spirit nasionalisme, anak muda cenderung
cuek, apatis dan senang mencari jalan pintas (instan). Mereka
saat ini dianggap lemah, kurang gigih dan kehilangan identitas diri.
Belum lagi jika harus dirunut masalah lain seperti kasus tawuran,
konflik, pergaulan bebas, pengguna narkoba, lemahnya daya saing hingga angka pengangguran yang cukup besar.
Kritik
diatas sesungguhnya memang wajar. Hal itu diperlukan agar menjadi
pemacu bagi kaum muda saat ini untuk bangkit. Tengoklah sejarah dan
bandingkan dengan torehan tinta emas generasi tempo dulu. 82 tahun lalu,
pemuda Indonesia berikrar dalam sebuah sumpah yang begitu mempesona.
Lantas
pertanyaannya, dimana pemuda hari ini? disaat bangsa menghadapi
kepungan masalah. Masih pantaskah pemuda menjadi harapan bangsa?
Bagaimana nasib bangsa dimasa depan?
Sebenarnya
ada poin progresif dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2009 tentang
Kepemudaan. Pasal 1 menyebutkan pemuda adalah warga negara Indonesia
yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia
16 sampai 30 tahun. Hal ini menegaskan adanya spirit yang kuat perlunya
akselerasi, kaderisasi dan regenerasi.
Namun sayangnya, substansi UU diatas belum tersosialisasi secara baik di semua stakeholders yang terkait kepemudaan. Hal itu terbukti masih banyak organisasi kepemudaan yang pengurusnya berumur lebih dari 30 tahun.
Dari
sisi jumlah, generasi sesuai kriteria umur diatas sekira 62 juta jiwa
(BPS, 2009). Jumlah itu berarti sekira 27 % dari jumlah penduduk. Hal
itu berarti strategi pembangunan pemuda memiliki arti penting bagi masa
depan bangsa. Pembangunan pemuda harus dibangun secara menyeluruh baik
dari aspek potensi, tanggungjawab, aktualisasi diri dan cita-cita
pemuda. Hal itu diperlukan dalam rangka menyiapkan calon-calon pemimpin
bangsa dimasa depan.
Dalam
konteks UU diatas, terdapat 3 isu strategis dalam pembangunan pemuda
yaitu program penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan pemuda. Penyadaran pemuda adalah kegiatan yang diarahkan untuk memahami dan menyikapi perkembangan dan perubahan lingkungan. Pemberdayaan pemuda adalah kegiatan membangkitkan potensi dan peran aktif pemuda. Sedangkan pengembangan pemuda diprioritas melalui pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan.
Tantangan masa depan
Tantangan
dimasa depan jelas akan makin kompleks dan berat. Pemuda harus siap
mengantisipasi perubahan-perubahan yang berlangsung begitu cepat di era
globalisasi ini. Pemuda saat ini berarti gambaran bangsa dimasa depan.
Menurut hemat penulis ada beberapa agenda yang penting dijadikan bahan
perenungan bersama;
Pertama,
pembangunan karakter pemuda harus dijadikan prioritas. Sesuai Pasal 3
UU Kepemudaan diatas, tujuan pembangunan pemuda adalah untuk mewujudkan pemuda
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung
jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan.
Dalam aspek ini jelas pendidikan, penanaman nilai-nilai moral dan
agama, jiwa sosial, apresiasi budaya, penanaman kearifan lokal dan
lain-lain memegang peran penting.
Kedua,
perlunya perubahan dan pendekatan baru dalam program kepemudaan. Dalam
konteks manajemen perubahan (Berger, 1994) diperlukan penyelarasan dalam
4 faktor penting yaitu strategi, implementasi/operasi (operations), budaya dan sistem imbalan (reward system).
Barangkali diperlukan strategi kepemudaan yang baru dan lebih segar.
Strategi itu perlu direalisasikan melalui pendekatan yang lebih menarik.
Perubahan
budaya juga diperlukan untuk mewujudkan tujuan diatas. Pragmatisme dan
budaya senang mencari jalan pintas misalnya, harus diubah menjadi budaya
kerja keras, jujur, ulet dan pantang menyerah. Budaya ini terkait
sekali dengan apresiasi dan penghargaan. Dalam program kepemudaan
mestinya banyak digelar ajang kompetisi yang dapat menggali potensi
pemuda, baik di bidang sains, teknologi, budaya, maupun olahraga. Perlu
dibangun budaya merit system.
Sayangnya,
saat ini yang lebih tampil ke permukaan adalah ajang kompetisi di
bidang hiburan. Acara audisi yang digelar oleh beberapa stasiun TV
swasta selalu diminati ribuan bahkan jutaan anak muda. Apresiasi yang
muncul cukup tingi. Padahal mestinya negeri ini juga harus memberi
apresiasi yang tinggi bagi para pemenang lomba di bidang akademik, para
penulis, juara olimpiade, atlet yang berprestasi serta seniman muda yang
berjasa mengawal nilai-nilai moral dan etika.
Oleh M. Hariman Bahtiar
Penulis
adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional UI/Kepemimpinan
Angkatan IV (beasiswa Kementerian Pemuda & Olahraga)
Sumber: Opini Pikiran Rakyat, 28 Oktober 2010