Oleh M. Efendi : Al Qanun 11 al-Tibb yang di Barat dikenal dengan Canons, boleh dikata merupakan ‘kitab suci’ ilmu kesehatan pada masanya.
Tanpa merujuk ke buku tersebut, ilmu obat-obatan dan farmakologi
dirasakan tidak akan sempurna. Tidak heran bila Ibnu Sina, pengarang
buku tersebut begitu dihargai kejeniusan dan kontribusinya dalam ilmu kedokteran,
sampai sekarang. Bahkan potret Ibnu Sina, hingga kini menjadi salah
satu pajangan dinding besar gedung Fakultas Kedokteran Universitas
Paris.
Ibnun Sina yang memiliki nama
lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara
(Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah
menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu
logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar
pada masa itu. Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang
sangat beragam.
Kemampuannya dalam
bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang masih belia.
Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil
menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para
pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun yang mampu
mengatasi penyakit sang raja.
Atas
jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina
justru lebih memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan
perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang
unik.
Setelah ayahnya meninggal, Ibnu
Sina merantau ke Jurjan, dan bertemu dengan Abu Raihan al-Biruni, yang
kala itu sangat termashur. Setelah itu dia pindah ke Rayy, dan
melanjutkan perjalanan ke Hamadan, tempat yang memberinya inspirasi
untuk bukunya yang terkenal, Al Qanun 11 al-Tibb.
Di
Hamadan dia juga menyembuhkan sang penguasa, Syams al-Daulah, dari
penyakit perut yang akut, sebelum melanjutkan lagi perjalanannya menuju
Isfahan (kini Iran) untuk menyelesaikan karya-karyanya yang
monumental.
Al Qanun fi al-Jibb
Al
Qanun fi al-Tibb atau Norma-norma Kedokteran adalah sumbangan terbesar
Ibnu Sina yang di Barat dikenal dengan Avicenna, terhadap ilmu
pengetahuan. Karya yang matnpu bertahan selama enam abad ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard
dari Cremena pada abad ke-12. Sejak saat itu Qanun menjadi buku wajib
di sekolah-sekolah medis di Eropa. Pada abad ke-15 buku ini mengalami
cetak ulang sebanyak enam belas kali. Lima belas cetakan dalam bahasa
Latin, satu cetakan dalam bahasa Yahudi. Sedangkan pada abad
berikutnya, Qanun mengalami cetak ulang sebanyak dua puluh kali.
Cameron Gruner pada tahun 1930 menerjemahkan sebagian isi buku itu ke bahasa Inggris dengan judul Risalah atas Norma Medis Avicenna. Dan selama lebih dari lima abad, Qanun menjadi pemandu bagi ilmu kedokteran
di Barat. Tidak heran bila Dr. William Osier, penulis buku Evolution
of Modern Science, mengatakan bahwa Qanun telah menjadi semacam ‘kitab
suci’ kesehatan yang bertahan lebih lama dibanding karya mana pun.
Qanun
boleh dikata merupakan Ensiklopedi Pengobatan yang sangat lengkap.
Buku ini menelaah ulang pengetahuan kedokteran, baik dari sumber Islam
maupun sumber-sumber kuna. Ibnu Sina tidak hanya menggabungkan
pengetahuan yang telah ada tapi juga menciptakan karya-karya orisinal
yang meliputi beberapa pengobatan umum, obat-obatan (760 macam),
penyakit-penyakit mulai dari kepala hingga kakl, khususnya Patologi
(ilmu tentang penyakit) dan Farmakopeia (Farmakope).
Di
antara beberapa kontribusinya yang merupakan pengembangan besar adalah
identifikasinya terhadap sifat-sifat penyakit menular seperti Pththsis
dan Tuberculosis (TBC), penyebaran penyakit melalui air dan tanah, dan
interaksi antara ilmu psikologi dan kedokteran. Ibnu Sina pula yang
pertama kali menjelaskan tentang Meningitis (radang selaput otak) serta
memberi penjelasan yang padat tentang anatomi, ginekologi, kesehatan
anak, serta menemukan perawatan untuk Lachrymal Fistula, disusul dengan
penyelidikan medis terhadap saluran pembuluh darah.
Hingga
kini Qanun masih menjadi acuan para pakar untuk penyelidikan anatomi,
karena buku ini mampu menjelaskan deskripsi secara gratis maupun
penjelasan rinci mengenai Sclera, Kornea, Koroid, Iris, Retina, Lensa,
Urat syaraf, juga Optic Chiasma. Dalam mendalami anatomi, Ibnu Sina
menentang sikap praduga atau prakiraan. Dia mengimbau para pakar ilmu
fisik dan ilmu bedah untuk kembali mendasarkan pengetahuannya pada
studi tentang tubuh manusia. Dia mengamati bahwa Aorta sebenarnya
terdiri dari tiga saluran yang terbuka saat darah mengalir dari dan di
dalam jantung selama kontraksi, dan tertutup selama relaksasi, sehingga tidak akan terjadi luapan aliran darah ke dalam jantung.
Dia juga menegaskan bahwa otot dapat digerakkan karena adanya syaraf yang terdapat di dalamnya.
Demikian pula rasa sakit yang dirasakan pada bagian otot, juga
disebabkan adanya urat syaraf yang menerima rangsangan rasa sakit
tersebut.
Lebih jauh dia mengadakan
observasi dan menemukan bahwa ternyata di dalam organ hati, limpa dan
ginjal, tidak ditemukan urat syaraf. Sebab urat syaraf justru tertanam
pada lapisan luar organ-organ itu.
Karya-karya Lainnya
Selain
ilmu pengobatan dan kesehatan, Ibnu Sina juga menyumbangkan
pemikirannya pada ilmu matematika, fisika, musik, dan bidang-bidang
lain. Penyelidikannya dalam bidang astronomi membuatnya berhasil
merancang perangkat semacam Vernier yang meningkatkan ketepatan
pengukuran suatu alat. Di bidang fisika, sumbangan pemikirannya
mengenai bermacam bentuk energi, kalori, cahaya, mekanika, konsep gaya,
ruang hampa udara, dan bilangan tak terhingga.
Dalam
bidang kimia, Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak orang
yang tidak percaya pada transmutasi kimia logam. Pandangan ini
ditentang secara radikal pada masa itu. Risalahnya mgngenai mineral
merupakan salah satu sumber utama geologi yang digunakan oleh para
ensiklopedis Kristen pada abad ke-13.
Penemuannya
di bidang musik merupakan perbaikan dari karya Farabi (al-Pharabius),
yakni dengan menemukan suatu rumus bahwa jika serangkaian konsonan
dirumuskan (n + 1) / n, maka telinga tidak dapat membedakan konsonan
tersebut pada n – 45. Lebih jauh dia mengatakan, penggandaan terhadap
satuan seperempat dan seperlima pada konsep ini merupakan langkah benar
menuju sistem harmonisasi.
Karya
Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat,
dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan
ensiklopedi filosofis. Di dalamnya
berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga ilmu
pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi
Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam.
Ibnu
Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar,
yakni: pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pengetahuan
teoritis meliputi fisika, matematika, dan metafisika, sedangkan
pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Jenius
yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik
maupun secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap
segala hal, serta untuk dapat belajar, belajar, dan belajar. Karena
terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak politik pada
masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037 dia
kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana. (amanah)
IBNU SINA : “Bapak Kedokteran Dunia”
Abu
Ali al Husain ibn Abdallah ibn Sina adalah nama lengkap Ibnu Sina,
yang lebih dikenal sebagai “Aviciena” oleh masyarakat barat. Dia adalah
salah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman, seorang jenius yang
mahir dalam berbagai cabang ilmu. Dia lah pembuat ensiklopedi terkemuka
dan pakar dalam bidang Kedokteran, Filsafat, Logika, Matematika,
Astronomi, musik, dan puisi.
Ibnu
Sina dilahirkan pada tahun 980 M / 370 H di Afshinah, sebuah desa kecil
tempat asal ibunya, di dekat Bukhara. Ayahnya, Abdullah, adalah
seorang Gubernur Samanite yang kemudian ditugaskan di Bukhara. Sejak
kecil ia telah memperlihatkan intelegensianya yang cemerlang dan
kemajuan yang luar biasa dalam menerima pendidikan, ia telah hafal
al-Qur’an pada usia 10 tahun.
Nama
Ibnu Sina semakin melejit tatkala ia mampu menyembuhkan penyakit raja
Bukhara, Nooh ibnu Mansoor. Saat itu ia baru berusia 17 tahun. Sebagai
penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, setidaknya
sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Namun Ibnu Sina
menolaknya dengan halus. Sebagai imbalan ia hanya meminta izin untuk
menggunakan perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Tujuannya adalah
mencari berbagai referensi dasar untuk menambah ilmunya agar lebih luas
dan berkembang. Kemampuan ibnu Sina yang cepat menyerap berbagai
cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai macam materi
intelektual dari perpustakaan Kerajaan pada usia 21.
Setelah
ayahnya wafat, ia meninggalkan Bukhara karena gangguan politik dan
pergi ke kota Gorgan, yang tekenal dengan kebudayaannya yang tinggi.
Dia diundang dengan tulus oleh Raja Khawarizm, pelindung besar
kebudayaan dan pendidikan. Di Gorgan ia membuka praktek dokter,
bergerak dalam bidang pendidikan, dan menulis buku. Setelah itu, Ibnu
Sina melanjutkan lagi perjalannya, antara lain ke Kota Ravy dan Kota
Hamadan.
Sampai kini ilmunya yang ditulis dalam buku “Al Qanun Fi al-Tib” tetap menjadi dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan dunia. Karena itu Ibnu Sina menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran dunia. Bukunya “Al Qanun” “diterjemahkan”
menjadi “The Cannon” oleh pihak Barat, yang kemudian menjadi rujukan
banyak ilmuwan abad pertengahan. Buku itu diantaranya berisi
eksiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan
obat-obatan. Bahkan diperkenalkan penyembuhan secara sistematis dan
dijadikan rujukan selama tujuh abad kemudian (sampai abad ke-17).
Ibnu
Sina meninggal pada tahun 1073, saat kembali di kota yang disukainya,
Hamadan. Walau ia sudah meninggal, namun berbagai ilmunya sangat
berguna dan digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang kini
diderita umat manusia. (An)