Tampilkan postingan dengan label KELUARGA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KELUARGA. Tampilkan semua postingan

Mendidik Anak Cepat Pintar

Mau Pintar..? Perhatikan Guru Mengajar..!
Untuk menguasai pelajaran yang ada di sekolah sebenarnya tidaklah sesulit yang kamu pikirkan. Kamu tidak perlu terlalu banyak belajar, ataupun sering-sering mengulang dan mengulang apa yang bapak/ibu guru ajarkan. Kamu tidak perlu terkurung oleh “jam belajar” ataupun kegiatan-kegiatan yang justru akan membuat kamu tidak nyaman.

KELUARGA SAKINAH

Satu-satunya cara mengawali pembentukan rumah tangga sakinah yang berdasarkan pada syariat Islam adalah dengan pernikahan yang syah. Islam memandang pernikahan adalah bagian dari ibadah, bukan pemuasan seksual. Pelaksanaannya tidak dipersulit, bahkan dimudahkan sesuai tuntunan syariat sehingga terkondisi dalam masyarakat kehidupan luhur, kesucian dan keterpeliharaan harga diri manusia.

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK MENURUT PSIKOLOGI dan AJARAN RASULLULAH

Dalam sebuah keluarga orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Keutamaan yang ada pada dirinya bukan saja karena sebagai petunjuk jalan dan bimbingan kepada anak tetapi juga karena mereka adalah contoh bagi anak-anaknya. Dengan demikian orang tua dituntut untuk mengarahkan, menuntut/membimbing anak karena anak pada kenyataannya bukanlah orang dewasa yang berbentuk kecil.

KONSEP ISLAM MEMAHAPI PENDIDIKAN KELUARGA

Assalamu'alaikum Wr Wb,
Berbahagialah saudaraku yang telah berkeluarga maupun yang akan berkeluarga.
Keluarga didefinisikan sebagai unit masyarakat terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Setiap komponen dalam keluarga memiliki peranan penting. Dalam ajaran agama Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu adalah menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Allah memerintahkan :

Rumah Tangga Sakinah

Rumah tangga sakinah adalah rumah tangga yang taat beribadah kepada Allah SWT, memenuhi kewajiban pasangan dan menjaga hak-haknya berdasarkan nilai-nilai agama dan dilakukan secara ikhlas dan berkesinambungan.

Kedahsyatan Memelihara Anak Yatim

Pembicara lainnya pada MaBIT kali ini adalah Bapak Houtman Zainal Arifin dan Bayu Gawtama. Dalam pengantarnya Pak Houtman mengungkapkan pentingnya perhatian dan kasih sayang dalam mendidik anak. “Saat ini banyak anak yang menjadi yatim (sebelum masanya) karena tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya,” ujar ex Vice President Citibank ini. Karena kasih sayangnya itulah, ia rela menjadi pemulung selama dua puluh tahun lebih.

PENTINGNYA DIALOG DALAM KELUARGA/ORGANISASI

Dalam sebuah buku “Menggagas Pendidikan Rakyat” yg diberi pengantar oleh Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc. Ed dan Dadang S. Anshori sebagai Kompilator/Editor, saya membaca sebuah bahasan dengan judul “Dialog dan Potret Kebudayaan Kita” (Eros Djarot), dalam bahasan itu terdapat sebuah cuplikan illustrator seperti berikut:

Pada perayaan ulang tahun ke-17 seorang anak ditanya oleh bapaknya, “Mau hadiah apa untuk ulang tahunmu, Nak?”. Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, “Kali ini, saya minta hadiah dialog saja”. Mendengar jawaban sang anak, sang bapak terperanjat “Lho, ko dialog. Mbok ya sepatu, baju, atau apalah.”

Sang anak menjawab : Sepatu, Baju, dan yang lainnya sudah banyak pak, yang saya belum punya hanyalah dialog.” Dengan permintaan serius dari anaknya ini, membuat bapaknya menjadi bingung, dan menjawab dengan nada ketus “Minta ko yang aneh-aneh!.” Melihat bapaknya kebingungan, sang anak hanya bisa memandang wajah bapaknya dengan heran dan terkesima, dia tak habis pikir, mengapa permintaan yang baginya begitu sederhana telah membuat bapaknya tergagap-gagap. Sementara itu, sang bapak memandangi wajah anaknya dengan penuh tanya dalam hatinya, “Dialog? Dimana harus membelinya?”…

Penyimpangan Sosial: Apa Tugas Orang Tua Dihadapan Anak-Anaknya

By.Muhammad Efendi Bustani, S.Sos.I
Wahai saudaraku, anak adalah harta yang paling berharga yang dititipkan oleh Allah  SWT kepada kita, untuk dimanfaatkan dengan baik, untuk dijaga dan dididik dengan baik penuh dengan tanggungjawab dab syukur.
Firman Allah: Peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka...!!!

Peran lingkungan keluarga dalam membentuk kepribadian anak

Lingkungan memiliki peran penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Khususnya lingkungan keluarga. Kedua orang tua adalah pemain peran ini. Peran lingkungan dalam mewujudkan kepribadian seseorang, baik lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran adalah masalah yang tidak bisa dipungkiri khususnya lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah sebuah basis awal kehidupan bagi setiap manusia. 

Mengugah Batin Pemuda

SUASANA batin yang menghinggapi kaum muda pada tahun 1928 silam adalah suasana batin rakyat. Ketertindasan akibat kekuasaan kolonial ketika itu begitu menyengsarakan penduduk di negeri ini. Banyak rakyat menderita, tak kuasa sekadar mendapatkan ruang hidup sebagai manusia yang merdeka. Atas kenyataan yang terjadi, kaum muda tak tinggal diam dan berusaha merefleksikan perjuangan sebelumnya. Suasana batin rakyat adalah suasana batin kaum muda sehingga muncullah inisiatif menggelar Kongres Pemuda II di Jakarta, 27-28 Oktober 1928.

Sebelum Kongres Pemuda II, kaum muda pun sudah bertekad untuk mencari jalan keluar dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme penjajah lewat Kongres Pemuda I pada 20 April-2 Mei 1926. Namun, takdir sejarah menghendaki tahun 1928 sebagai momentum lahirnya wajah Indonesia secara lebih nyata. Refleksi atas perjuangan mengusir penjajah yang terkotak-kotak sebelumnya menyadarkan kaum muda untuk menyatukan batin antarberbagai pergerakan dari barat hingga timur Indonesia . Batin kaum muda yang merupakan representasi dari kondisi batin rakyat akhirnya menjadi kekuatan dahsyat dengan sumpah setianya; satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia .

Sebentar lagi peristiwa bersejarah itu akan menginjak usia yang ke-80 tahun. Sumpah Pemuda yang terus diperingati tentu harapannya tak sekadar membangkitkan romantisme semata. Dalam hal ini, seperti dahulu kaum muda berhimpun ingin menciptakan Indonesia yang bangun jiwanya dan bangun badannya, kini pun kaum muda perlu memiliki ruh yang sama. Jika dahulu keterikatan kaum muda bertujuan mengenyahkan kolonialisme penjajah dari tanah persada, kaum muda juga dituntut serupa berperan sesuai konteks zamannya.

Tentu saja pentingnya kesadaran kaum muda sebagai pilar kebangunan bangsa perlu ditumbuhkan. Kesadaran bahwa kaum muda saat ini akan menentukan wajah Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda. Dengan kata lain, bagaimana Indonesia di masa depan adalah bagaimana kaum muda berpikir saat ini (Fahri Hamzah, 2007). Kaum muda memang dituntut menyadari peran dan tanggung jawabnya memajukan negeri yang dipijaknya.

Kaum muda yang menggagas Sumpah Pemuda 1928 lalu pastinya merupakan kaum intelektual yang termasuk kelas menengah. Sebagai kaum terdidik, mereka merasa terpanggil nurani dan jiwanya terhadap kenyataan negeri yang kian mencekam akibat penjajahan. Suasana batin mereka menyatu dengan suasana batin rakyat yang tertindas. Pendidikan kaum muda ketika itu tak terlepas dari kebijakan Politik Etis Hindia Belanda meskipun secara tak kasat mata juga dimaksudkan untuk mendukung eksitensi kekuasaan penjajah. Namun, kaum muda intelektual saat itu tak begitu saja mudah disetir sesuai selera Belanda. Di antara mereka ada yang masih peduli dan merasa sebagai bagian dari “nyawa” Indonesia dan menjadi kaum intelektual organik—meminjam istilah Gramschi. Konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial. "Traktat" Batavia 28 Oktober 1928, cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa (Safari Daud, 2006).

Tentu saja sebagian di antara kaum muda terdidik saat itu tak semuanya mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa. Ada di antara mereka yang justru menjadi bagian dari kekuasaan penjajah. Suasana batin rakyat yang penuh penderitaan tidak menjadi suasana batin mereka. Mereka menjadi priyayi-priyayi baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ, proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial (Ismatillah A Nu’ad, 2008).

Karena itu, mengaktualisasikan spirit Sumpah Pemuda di era kini, kaum muda perlu terpanggil melakukan pengabdian dan menjadi agen transformasi sosial. Tampilnya kaum muda yang menyemarakkan kontestasi pemilihan presiden ataupun menjadi anggota legislatif 2009 setidaknya layak diapresiasi. Paling tidak, fakta itu menunjukkan bahwa regenerasi kepemimpinan di negeri ini tidaklah macet sama sekali. Di tengah dominasi kaum tua, kaum muda ternyata masih bisa menunjukkan taringnya. Namun demikian, tujuan kaum muda itu selayaknya perlu menjadi perenungan. Jikasanya tampilnya kaum muda sekadar meraih kekuasaan, maka harapan perubahan di republik ini sekadar impian di negeri dongeng. Memang pilihan ada di tangan kaum muda, apakah menjadikan kekuasaan sebagai—meminjam Alfan Alfian—tujuan utama (ultimate goal) ataukah tujuan antara (intermediate goal). Apakah majunya kaum muda itu merefleksikan suasana batin rakyat saat ini?

Harapannya, kaum muda menjadikan kekuasaan sebagai intermediate goal; tujuan utama kaum muda lebih jauh lagi adalah menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan bangsa dan negara. Atau sebagaimana amanat konstitusi, kekuasaan digunakan untuk mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, kaum muda saat ini perlu menyatupadu dalam batin rakyat yang masih kekurangan dan hidup dalam keterhimpitan. Kolonialisme penjajah sudah berlalu di negeri ini, tapi kemiskinan adalah musuh bersama yang mesti dienyahkan. Keterbelakangan dan kebodohan harus segera diatasi demi terwujudnya Indonesia yang bermartabat. Kondisi batin rakyat yang terpuruk dalam ketidakberdayaan selayaknya menjadi batin kaum muda untuk kemudian bergerak menuntaskan perubahan. Pertanyaannya, apakah suasana batin kaum muda seperti suasana batin dirasakan rakyat? Jika tidak, kaum muda belum saatnya untuk memimpin! Wallahu a’lam.

Sumpah Pemuda dan Pendidikan

Pada tahun ini kita memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan ikrar para pemuda untuk menyatukan gerak langkah dalam satu semangat melawan dan mengusir kolonialisme dan imperialisme dari bumi Nusantara. Kondisi ketercekaman akibat penindasan kaum penjajah menyadarkan para pemuda untuk bertindak segera. Penjajahan Belanda ketika itu tidak bisa ditolerir karena menyebabkan jutaan rakyat menjerit pilu. Untuk itu, kelompok pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul bersama merumuskan konsep menuju kemerdekaan Indonesia dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 2008 di Jakarta . Kongres Pemuda II itu ditulis dalam salah satu artikel bertajuk “Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia ” di surat kabar Pemoeda Indonesia (PI) No. 8 Tahun 1928.

Keluarga dan Pendidikan Anak

Persoalan anak-anak pada zaman kini lebih kompleks ketimbang di zaman lampau. Kemajuan dan perkembangan teknologi informasi memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak. Anak tidak sekadar menjadikan guru di kelas sebagai sumber belajar, tapi juga setiap teknologi informasi menjadi sumber belajar yang sering kali lebih efektif daripada sumber belajar berupa manusia (orang tua/guru). Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif ataupun negatif yang tentu saja mampu membentuk sikap dan perilaku anak.

Tentu saja, imbas positif dari teknologi informasi menjadi harapan segenap pihak. Namun, adanya perilaku negatif yang dilakukan anak sudah tidak dimungkiri lagi, bahkan perilaku itu memprihatinkan. Kita sering kali menyaksikan berita kriminal yang justru dilakukan anak-anak seusia sekolah, seperti pencurian, pemerkosaan, dan lainnya. Kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak sekolah tidak sulit lagi dicari di era kini. Ada anak yang belajar kekerasan dari televisi sehingga kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. Dari tontonan, ada anak laki-laki seusia SD-SMP berani melakukan pencabulan terhadap anak perempuan yang masih balita. Begitu pun perilaku seks bebas dilakukan anak-anak usia sekolah, tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa. Pastinya, perilaku kurang mulia lainnya masih cukup banyak yang dilakukan anak-anak.

Menyaksikan fenomena tersebut sering kali yang menjadi kambing hitam adalah pihak sekolah. Sekolah dikatakan tidak mampu mendidik siswa-siswanya secara baik. Anggapan seperti itu ada benarnya meskipun tidak sepenuhnya tepat. Artinya, pihak keluarga selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Pasalnya, pendidikan anak tidak mutlak berada di tangan sekolah, tapi juga keluarga. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa abai terhadap kondisi anak.

Pihak keluarga jelas merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Selain pendidikan formal, ada pendidikan yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi, sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau dimana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan. Pendidikan anak memang menjadi sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral.

Disadari atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah justru telah menggejala dewasa ini. Lemahnya peran keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, kata Deni Al-Asy’ari (2007), tidak terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata. Orang tua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai anak-anaknya menempuh bangku sekolah, orang tua sudah merasa bangga dan tugasnya selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tidak bisa mengembangkan kualitas anak seutuhnya tanpa kerja sama dari pihak keluarga. Harus jujur diakui jika tuntutan kurikulum yang harus diselesaikan setiap semester membuat guru lebih menonjolkan pengembangan kecerdasan kognisi. Itu artinya pengembangan kecerdasan emosi, sosial, dan moral anak di bangku sekolah sedikit didapatkan.

Pentingnya pendidikan dalam keluarga ini seyogianya menyadarkan orang tua untuk dapat menjalin komunikasi seintensif mungkin. Perilaku kurang mulia anak sering kali diakibatkan kondisi kehidupan keluarganya yang tidak stabil. Di era kini, orang tua sering kali lebih disibukkan urusan mencari uang sehingga melupakan jalinan emosi dan komunikasi dengan anak-anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orang tua yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Keluarga sudah saatnya menjadi tempat keluh kesah bagi anak ketika menghadapi permasalahan di dunia luar.

Pungkasnya sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Bagaimana pun, tak bisa dimungkiri jika inti dari proses pendidikan adalah menggarap individu manusia. Pendidikan adalah seni membentuk manusia, kata Anis Matta yang merangkum seluruh definisi pendidikan. Membentuk individu manusia tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi juga pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga perlu ditanamkan nilai-nilai agar mampu menghadapi realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam kehidupan keluarga merupakan amanah yang memang harus dipelihara dan dijaga agar memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Meminjam Socrates, pihak keluarga perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Wallahu a’lam. Endy Tungkal